Profil Pangersa Abah Sepuh
Syekh Haji Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad atau yang biasa di panggil Abah Sepuh, lahir tahun 1836 di kampung Cicalung Kecamatan Tarikolot Kabupaten Sumedang (sekarang, Kp Cicalung Desa Tanjungsari Kecamatan Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya) dari pasangan Raden Nura Pradja (Eyang Upas, yang kemudian bernama Nur Muhammad) dengan Ibu Emah. Ia dibesarkan oleh Uwaknya yang dikenal sebagai Kyai Jangkung.
Sejak kecil Abah Sepuh sudah gemar mengaji atau mesantren dan membantu orang tua dan keluarga, serta suka memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Setelah menyelesaikan pendidikan agama dalam bidang akidah, fiqih, dan lain-lain di tempat orang tuanya. Di Pesantren Sukamiskin, Bandung, ia mendalami fiqih, nahwu, dan sorof. Ia kemudian mendarma baktikan ilmunya di tengah-tengah masyarakat dengan mendirikan pengajian di daerahnya di Tundagan, Tasikmalaya.
Walaupun Abah Sepuh telah menjadi pimpinan dan mengasuh sebuah pengajian pada tahun 1890 di Tundagan, Tasikmalaya, ia masih terus belajar dan mendalami ilmu Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah kepada Mama Guru Agung Syaikh Tolhah bin Talabudin di daerah Trusmi dan Kalisapu Cirebon. Setelah sekian lamanya pulang-pergi antara Tasikmalaya – Cirebon untuk memperdalam ilmu tarekat, akhirnya ia memperoleh kepercayaan dan diangkat menjadi Wakil Talqin pada tahun 1908. Kemudian dalam usia 72 tahun ia diangkat secara resmi (khirqoh) sebagai guru dan pemimpin Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah oleh Syaikh Tolhah. Ia juga memperoleh bimbingan spritual dari Syaikh Kholil Bangkalan Madura, dan bahkan memperoleh ijazah khusus Shalawat Bani Hasyim.
Pesantren yang didirikan di Tundagan dan ajaran TQN yang dikembangkan Abah Sepuh ternyata dinilai oleh beberapa ulama di sekitar Tundangan sebagai ajaran yang menyimpang dari agama dan berbahaya, sehingga hal ini membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda mengetahui bahwa tarekat yang dipelajari dan diamalkan oleh Abah Sepuh adalah tarekat yang mensponsori pemberontakan Cilegon Banten tahun 1888 sehingga harus dicegah penyebarannya.
Akibat dari situasi ini di Tundangan sudah semakin rawan dan kurang menguntungkan bagi penyebaran TQN, maka Abah Sepuh mulai mencari tempat baru yang lebih aman dan jauh dari pengamatan aparat keamanan Belanda.
Berdasarkan berbagai pertimbangan maka Abah Sepuh memindahkan pesantrennya beserta keluarganya ke kampung Cisero, 26 km jaraknya dari Tundangan atau sekitar 2,5 km jaraknya ke Suryalaya. Kampung Cisero ini adalah kampung orang tua Abah Sepuh yaitu Raden Nur Muhammad yang bertugas sebagai Upas Kecamatan Tarikolot.
Di Cisero tidak cukup lama karena tingkat gangguan dari mereka yang belum memahami tarekat ternayata cukup besar, di samping lokasinya kurang sesuai untuk tempat pendidikan dan mudah terlihat oleh aparat pemerintah Hindia Belanda. Dari Cisero, kemudian pindah lagi ke kampung Godebag, 2,5 km ke arah timur Cisero, sekitar tahun 1904. Di kampung Godebag, Desa Tanjungkerta, Abah Sepuh segera membangun mesjid dan rumah-rumah untuk tempat tinggal keluarga dan santri yang mondok.
Perpindahan dari Cisero ke Godebag ini tentunya atas ijin gurunya, yaitu Syekh Tholhah (w. 1935 M) yang kemudian ketika Beliau berkunjung ke Godebag beliau kemudian mengganti nama Pesantren Godebag menjadi Pesantren Suryalaya hingga kini. Hal ini mungkin karena penglihatan batin sang guru bahwa kelak tarekat Qodiriyyah Naqsyabandiyyah akan bersinar dari Godebag. Namun perjuangan panjang dalam menyebarkan TQN, yang terus berpindah-pindah karena gangguan keamanan, sehingga SAbah Sepuh memohon sekali lagi kepada gurunya agar pesantren yang dipimpinnya dipindah lagi ke tempat yang lebih aman, namun sang guru menolak permintaan beliau karena sang guru sudah mengetahui bahwa masa depan TQN akan berada di Suryalaya.
Dengan kemampuan dan ilmu yang sangat tinggi, sang guru mampu memperlihatkan kepada muridnya, Abah Sepuh akan masa depan Suryalaya, bahwa Suryalaya dikemudian hari akan sangat ramai dikunjungi oleh orang-orang yang jumlahnya sangat banyak, yang datang dari berbagai tempat, baik dekat maupun yang jauh, dan akan dikunjungi oleh pejabat-pejabat tinggi pemerintahan yang cukup banyak jumlahnya dan terus menerus tiada putus-putusnya. Mesjid dan gedung-gedung yang bagus-bagus dalam jumlah yang cukup banyak akan berdiri menyemarakkan pesantren. Di malam hari terang benderang. Suara orang berzikir akan menggema setiap waktu.
Setelah kunjungan Syekh Tholhah (w. 1935 M) ke Suryalaya, perlahan-lahan gangguan kemanan dan juga hambatan-hambatan yang tergolong berat yang sebelumnya sangat banyak dan memprihatinkan menjadi mereda. Kunjungan sang guru ke Suryalaya itu disebabkan karena adanya peristiwa yang sangat berat menimpa Abah Sepuh tetapi akhirnya punya hikmah besar.
Sebelum Syekh Tholhah (w. 1935 m) berkunjung ke Suryalaya, Abah Sepuh ditangkap oleh aparat keamanan pemerintah kolonial Hindia Belanda atas laporan masyarakat bahwa ada seorang guru tarekat yang datang dari Cirebon. Dalam pemeriksaan di Tasikmalaya, Abah Sepuh dituduh melakukan pelanggaran hukum diantaranya bahwa Abah Sepuh mendirikan pesantren tanpa izin Bupati Tasikmalaya, kemudian tuduhan lainnya yang lebih berat adalah mengganggu dan meresahkan masyarakat sekitarnya dengan mengajarkan ajaran yang menyimpang dari agama Islam dan mengajarkan ilmu sihir serta membangkitkan rasa benci dan permusuhan kepada Belanda. Tuduhan itu sebenarnya hasil rekayasa, agar tujuan Belanda membasmi tarekat dapat terlaksana, sehingga Abah Sepuh ditahan untuk sementara di penjara Tasikmalaya.
Di dalam penjara Abah Sepuh mengajarkan TQN kepada tahanan lainnya sampai terbentuk kelompok zikir yang dipimpin oleh Beliau. Setiap kali Syekh Abdullah Mubarak berzikir bersama jamaah TQN lainnya, yang membuat barang-barang di rumah Asisten Residen bergoyang, mungkin akibat kekuatan zikir tarekat kiyai Godebag, kemudian Bupati memerintahkan kepada Asisten Residen untuk membebaskan Syekh Abdullah Mubarak dan disetujui oleh Asisten Residen, maka goyangan-goyangan di rumah Asisten Residen itu tidak ada lagi, maka yakinlah Bupati bahwa ilmu tarekat Ajengan Godebag itu sangatlah tinggi, yang membuat Bupati Tasikmalaya Raden Adipati Adiningrat (1907) secara diam-diam belajar ke Syekh Abdullah Mubarak tentang ajaran TQN, sekaligus bersedia menjadi pelindung serta mau melakukan tindakan yang diperlukan terhadap siapapun yang bermaksud menganggu Syekh Abdulllah Mubarak di Godebag.
Setelah sang Bupati menjadi murid TQN, maka terbukalah peluang bagi Syekh Abdullah Mubarak untuk menyebarkan TQN dengan lebih gencar lagi sehingga murid-murid beliau semakin bertambah banyak dan semakin banyak pejabat pemerintahan pada masa itu belajar TQN termasuk Bupati Ciamis yang kemudian meminta beliau menjadi penasehat keagamaan dan menjadi pelindungnya.
Karena kehebatan Syekh Abdullah Mubarak yang sudah semakin tersohor sehingga membuat Bupati lainnya seperti Bupati Bandung juga mendatangi Beliau untuk belajar ajaran TQN, yang kemudian disusul dengan pejabat-pejabat lainnya. Sepertinya, apa yang telah digambarkan Guru beliau bahwa kelak Suryalaya akan ramai dikunjungi oleh banyak orang, kini mulai menjadi kenyataan, hampir setiap hari, pesantren Suryalaya selalu ramai didatangi orang-orang yang ingin belajar zikir TQN, baik itu dari kalangan masyarakat biasa, pejabat pemerintahan, dan ulama-ulama pada masa itu.
Sejak Republik Indonesia memproklamirkan kemerdekannya pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga tahun 1956, Syekh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad atau Ajengan Godebag atau Abah Sepuh sangatlah terkenal bukan hanya sebagai khalifah dan guru mursyid TQN tetapi juga terkenal sebagai pejuang kemerdekaan karena punya andil besar dalam mengusahakan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 pada masa RIS tahun 1950 dengan nasehat-nasehatnya kepada pimpinan negara Pasundan agar bersedia menyerahkan kekuasaan kepada pimpinan Republik Indonesia dan segera membubarkan negara Pasundan bikinan Belanda itu. Nasehat-nasehat Syekh Abdulllah Mubarak akhirnya dipatuhi oleh Wali Negara Pasundan kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada Gubernur Jawa Barat, karena beliau melihat tanda-tanda akan ada pertumpahan darah yang akan mempertahankan Negara Pasundan oleh segelintir tokoh mantan aparatur kolonial Belanda.
Pada masa pemberontakan DI TII dengan Tentara Islam Indonesia (TII) sebagai kekuatan tempurnya di Jawa Barat, selama 13 tahun (1949-1962) Syekh Abdullah Mubarak dinyatakan sebagai musuh besar yang harus dilenyapkan. Hal itu disebabkan oleh sikap tegas Syekh Abdullah Mubarak yang sejak awal menganggap DI/TII itu mengkhianati Republik Indonesia yang berdasarkan UUD Dasar 1945 yang dibangun oleh semua umat Islam melalui perjuangan yang amat panjang dan berat, yang telah dapat mempersatukan bangsa Indonesia. Selain itu Syekh Abdullah Mubarak yakin bahwa DI/TII itu lahir bukan dari aspirasi umat Islam, melainkan lahir dari segelintir tokoh yang menginginkan kekuasaan, yang hanya akan menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan besar bagi umat Islam.
Sebagai akibatnya Pesantren Suryalaya dimana Syekh Abdullah Mubarak berada, menjadi sasaran teror oleh DI/TII. Sekalipun demikian dari beberapa kali serangan, tidak sekalipun berhasil. Upaya DI/TII menghancurkan Pesantren Suryalaya tetap tegak dan utuh, tidak satu bangunan pun yang terbakar.
Setelah menjalani masa yang cukup panjang, Syekh Abdullah Mubarak sebagai khalifa dan Guru mursyid TQN Pesantren Suryalaya, 3 tahun sebelum beliau wafat, beliau sudah menunjuk puteranya Syekh Ahmad Shohibul Wafa’ Tajul Arifin (Abah Anom) (w. 2011 M) untuk mewakili beliau pada setiap undangan-undangan penting, dan sebagai penggantinya kelak apabila Beliau berpulang ke rahmatullah. Dengan segala keberhasilan yang telah dicapai, maka pada tanggal 25 Januari 1956 Allah SWT memanggilnya kembali berada disisi-Nya. Syekh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad wafat dengan tenang pada usia 120 tahun.
Ila hadrati Syekh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad ra al-fatihah…………
disari dari www.suryalaya.org dan berbagai sumber…
Oleh: Kukuh Laksana Dwikora dan Asriadi Rauf