Ada beberapa pelajaran tasawuf dari mankobah ke 31 yang biasa dibaca dalam khidmat Amaliyah Manakib TQN Pondok Pesantren Suryalaya.
Berziarah ke makam orang-orang mulia.
Berziarah secara bahasa berarti berkunjung. Berkunjung kepada orang yang masih hidup biasanya disebut shilaturahim. Dan berkunjung kepada orang yang sudah meninggal dunia disebut ziarah. Ada beberapa tujuan ziarah, yaitu: mengingatkan kita pada kematian, mengambil pelajaran dari orang-orang shaleh, mendoakan ruh orang-orang yang mendahului kita dan tabarruk (dari kata berkah, yakni efek positif dari kebaikan).
Di samping itu, ada alasan lain, yaitu: saat kita berdzikir di makam wali Allah (kekasih Allah), maka wali Allah yang kita ziarahi ikut berdzikir bersama kita. Demikian diuraikan Imam Asy-Sya’rani dalam Al-Anwar Al-Qudsiyah. Hal ini bisa terjadi, karena Wali Allah diberi karomah (the miracle, keajaiban, sesuatu di luar kebiasaan) oleh Allah. Ibnu Qayyim dalam Ar-Ruh menyatakan bahwa ruh orang yang hidup dapat berinteraksi dengan ruh orang yang sudah meninggal dunia (Lihat juga buku Studi Kitab dan Amaliah Tasawuf, hlm. 59-65).
Ada dalil yang menunjukkan bahwa orang yang telah wafat dapat melakukan perbuatan yang luar biasa (karomah) berkat kekuasaan Allah. Diriwayatkan setelah terbunuhnya Ja’far, Rasulullah Saw bersabda,”Aku mengetahui Ja’far sedang bersama malaikat yang sedang memberi kabar gembira pada penduduk Bisyrah (satu wilayah di Yaman) akan turunnya hujan.” (HR. Ibnu ‘Adi).
Dalam Tarekat Qodiriyyah wan Naqsyabandiyah (TQN) Pondok Pesantren Suryalaya ada tradisi ziarah wali songo. Ziarah walisongo artinya berziarah kepada 9 wali Allah yang masyhur menyebarkan Islam di tanah Jawa pada abad ke-14, yaitu: Sunan Gunung Djati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim.
Saat berziarah dapat diisi dengan bermunajat mengharap rahmat Allah dan bermuhasabah.
Munajat artinya berbisik dengan Allah. Man dzakara rabbahu faqad ihtada wa man naajahu fama taradda (Siapa yang berdzikir, menyebut nama Allah, maka sungguh akan mendapat petunjuk dan siapa yang bermunajat, maka tidak akan ditolak). Munajat ialah mengadu akan ketidakberdayaan kita, dan memohon pertolongan-Nya.
Rahmat Allah menurut Tafsir Al-Kabir wa Mafatih Al-Ghaib berisi dua hal, yaitu: terkabulnya yang diharapkan dan dihindarkan dari bencana. Kita bermunajat kepada Allah mengharapkan rahmat Allah, kasih sayang dan ampunan-Nya. Juga berharap agar hajat yang mashlahat untuk dunia dan akhirat dikabulkan oleh Allah, serta dijauhkan dari segala bencana. Dalam khotaman ada bacaan, Allahumma ya mujibad da’awaat (Wahai Allah yang mengabulkan segala doa) dan Allahumma ya dafi’al baliyyat (Wahai Allah yang menolak segala bencana)
Adapun muhasabah ialah introspeksi diri, melakukan evaluasi diri. Muhasabah terdiri atas evaluasi diri terhadap kewajiban, larangan dan kelalaian. Kewajiban yang perlu dievaluasi, baik berupa kewajiban kepada Allah seperti shalat lima waktu, beribadah dan berdoa kepada-Nya, maupun kewajiban kepada sesama manusia, seperti menghormati guru, berbakti kepada orang tua, mendidik anak, menyantuni anak yatim, membantu orang yang membutuhkan, dll. Larangan Allah yang perlu dievaluasi terutama ialah dosa-dosa besar seperti menyekutukan Allah, memakan harta haram, berzina, dll. Walau demikian dosa-dosa kecil juga bila dirutinkan akan menjadi besar. Adapun kelalaian yang perlu dievaluasi ialah pemanfaatan waktu. Betapa sering waktu berlalu dengan kesia-siaan. Padahal waktu itu tidak pernah kembali.
Dalam manqobah ini, Al-Ghaouts al-‘adzam Syekh Abdul Qodir Jailani qs yang ahli ibadah merendah di hadapan Allah dengan mengatakan bahwa kelalaiannya sangatlah banyak, lebih banyak daripada ombak di lautan. Beliau seorang Wali Allah yang besar. Baginya dosa kecilpun terasa seperti gunung yang tinggi menjulang. Namun, dibandingkan dengan kedermawanan dan kemuliaan Allah, maka kelalaian tersebut sedikit dan kecil, lebih kecil daripada satu sayap nyamuk.
Hendaknya kita bersikap seimbang antara khauf (takut) dan roja (berharap).
Kita takut siksa Allah karena banyaknya dosa yang kita lakukan, namun kita juga berharap dengan ampunan, kasih sayang dan rahmat-Nya. Takut dan harap hendaknya seimbang ibarat sepasang sayap yang dapat mengantarkan seseorang untuk terbang ke angkasa.
Khauf menurut Hasan Bashri ialah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Khauf dapat bersumber dari dua hal, yaitu: khauf karena siksa (dosa) dan khauf karena cinta. Ada ungkapan yang cukup menarik tentang khauf, yaitu: “Siapa yang takut kepada Allah, maka ditakuti makhluk. Sebaliknya, siapa yang tidak takut kepada Allah, maka akan takut kepada segala sesuatu.”
Manfaat khauf (takut) ialah agar terhindar dari maksiat dan agar tidak ‘ujub (bangga diri) dengan amal. Misalkan, seseorang akan melakukan dosa dan maksiat, maka ia takut bagaimana jika saat sedang melakukan dosa dan maksiat meninggal dunia, bukankah artinya su’ul khotimah? Maka iapun berpaling dan tidak jadi melakukan dosa. Orang yang beriman terhadap sesuatu yang sia-sia dan tidak bermanfaatpun berpaling, apalagi terhadap dosa. Di dalam hadits disebutkan ada 7 golongan yang diberi naungan oleh Allah pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya. Salah satunya ialah seseorang yang digoda perempuan yang mempunyai kedudukan dan cantik, namun menjawab,”Sesungguhnya aku takut kepada Allah.”
Khauf juga agar tidak bangga diri. Misalkan seseorang banyak beribadah, maka ia takut jika ibadahnya dilakukan dengan tidak ikhlas sehingga ditolak oleh Allah. Jadi di satu sisi terus berupaya meningkatkan ibadah, namun di sisi lain merasa biasa saja. Karena bukankah dapat melakukan ibadah juga merupakan anugerah dari Allah? Bukankah sehat sehingga kita dapat beribadah adalah karunia dari Allah?
Adapun roja’ ialah suatu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hamba-Nya yang saleh. Manfaat roja’ (berharap kepada Allah) ialah agar semangat melakukan ketaatan dan agar terasa ringan menanggung rasa kesulitan dan kesusahan. Menurut Al-Ghazali, roja’ itu ada tiga tingkat, yaitu: harapan orang awam, yaitu mendapatkan sebaik-baik tempat kembali dan sebanyak-banyak pahala; harapan orang khusus, yaitu harapan memperoleh ridha dan selalu dekat dengan Allah Swt; dan harapan orang yang istimewa, yaitu harapan kemungkinan untuk syuhud (menyaksikan dan meningkatkan pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Allah).