Jejak Tertulis di Suryalaya: Warisan Abah Sepuh dan Abah Anom
Siapa pun yang datang ke Pondok Pesantren Suryalaya akan merasakan suasana yang berbeda. Bahkan sejak di gerbang, mata kita sudah disambut oleh sebuah tulisan: “Suryalaya Kajembaran Rahmaniah.” Kalimat singkat ini menyimpan pesan besar: bahwa Suryalaya adalah tempat keluasan kasih sayang Allah dipancarkan. Dari pintu gerbang saja, kita sudah diajak masuk ke jalan cinta dan rahmat.
Tidak berhenti di situ. Di depan madrasah, terpampang kalimat berbahasa Arab: “Hadzihil madrasah al-Islamiyah maftahu thariqah Qodiriyah Naqsyabandiyah.”
Artinya, “Madrasah ini adalah tempat orang bertanya tentang Thariqah Qodiriyah Naqsyabandiyah (TQN).”
Tulisan ini menegaskan bahwa Suryalaya bukan sekadar pesantren, melainkan pusat pengajaran TQN. Dari sinilah warisan Abah Sepuh diteruskan oleh Abah Anom, bukan hanya melalui pengajaran lisan, tetapi juga melalui simbol-simbol yang tertanam dalam ruang-ruang pesantren.
Saat melangkah ke masjid, kita kembali diingatkan pada pesan yang lebih dalam. Pada pintu masjid tertulis hadits Nabi SAW: “Afdhalu dzikri fa’lam annahu laa ilaaha illallaah.” (“Dzikir yang paling utama adalah Laa ilaaha illallaah).” Inilah inti ajaran TQN: dzikir jahar yang dilafalkan keras, dan dzikir khafi yang diingatkan dalam hati. Dzikir yang bukan sekadar ritual, melainkan jalan membersihkan hati, menenangkan jiwa, dan menghubungkan hamba dengan Sang Pencipta.
Di sampingnya, ada hadits lain yang cukup menggetarkan: “Aku berlindung dari khusyu’-nya orang-orang munafiq.”
Ketika ditanya maksudnya, Rasulullah menjawab: “Badannya khusyu’, tapi hatinya lupa kepada Allah.” Pesan ini sangat jelas: ibadah sejati bukan soal tampilan lahiriah, melainkan soal hati yang hidup bersama Allah.
Memasuki Masjid Nurul Asror, kita disuguhi banyak ayat Al-Qur’an yang terpampang indah, semuanya mengingatkan pentingnya dzikrullah. Salah satunya Surat Ali Imran (3) ayat 191:
ٱلَّذِينَ يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَـٰمًۭا وَقُعُودًۭا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَـٰذَا بَـٰطِلًۭا سُبْحَـٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ
Artinya: (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Ayat ini menegaskan bahwa dzikir sejati adalah dzikir yang hidup dalam setiap keadaan—berdiri, duduk, atau berbaring—disertai kesadaran mendalam atas ciptaan Allah.
Ayat lain yang juga terpampang adalah Surat Al-Munafiqun ayat 9:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُلْهِكُمْ اَمْوَالُكُمْ وَلَآ اَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu membuatmu lalai dari mengingat Allah. Siapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang merugi.”
Ayat ini memberi peringatan keras agar dunia tidak melalaikan kita dari dzikrullah. Harta dan keluarga adalah amanah, tetapi jika sampai membuat lupa kepada Allah, maka hidup justru jatuh dalam kerugian.
Kohesi Warisan Abah Sepuh dan Abah Anom
Kalau kita perhatikan, semua artepak tertulis ini saling melengkapi: Dari gerbang, kita belajar cinta dan rahmat. Dari madrasah, kita diajak menuntut ilmu dan memahami thariqah. Dari masjid, kita diteguhkan dengan dzikrullah melalui hadits dan ayat-ayat Al-Qur’an. Keseluruhannya membentuk satu kesatuan: jalan spiritual yang lengkap—cinta, ilmu, dan dzikir. Inilah kohesi warisan Abah Sepuh dan Abah Anom yang terus hidup hingga kini.
Kini, ketika Pondok Pesantren Suryalaya memasuki usia 120 tahun, warisan ini menjadi cermin dan tuntunan. Generasi muda dituntut untuk tidak sekadar membaca tulisan-tulisan itu, tetapi menghidupkannya dalam keseharian. Dunia boleh berubah, teknologi boleh maju, tapi dzikrullah tetap menjadi kunci agar hidup tidak kehilangan arah. Warisan Abah Sepuh dan Abah Anom adalah warisan yang hidup—sebuah cahaya yang terus menyala, menuntun siapa saja yang mau menapaki jalan dzikir dan kasih sayang menuju Allah SWT.
Warisan Abah Sepuh dan Abah Anom bukan sekadar kenangan, tapi jalan hidup. Suryalaya sudah menyiapkan cahaya itu, tinggal kita memilih: mau berjalan di dalamnya, atau melewatinya begitu saja.




