Cara Mursyid mendidik muridnya: “Asal ulah katempo ku Abah”
Ada seorang ikhwan dari Jakarta melaporkan diri kepada Pangersa Abah Anom tentang perkembangan akhlak pribadinya, katanya: “Abah, Alhamdulillah sekarang saya sudah tidak lagi main judi dan praktek-praktek kemaksiatan lainnya.” Jawab Abah “syukur atuh”.
Ikhwan itupun berkata lagi: “kecuali masih ada satu hal yang masih saya lakukan dan susah meninggalkannya, yaitu maen perempuan di hotel, bagaimana menurut Abah?”.
“keun bae, asal ulah katempo ku Abah! (biar saja asal jangan terlihat oleh Abah).“ jawab Abah.
“betul begitu. Abah? “, tanyanya lagi masih belum yakin walaupun ada rasa senang dalam hatinya.
Abah menjawab “enya, asal ulah kaciri ku Abah”.
Setelah diskusi dengan Abah Anom, sang ikhwan merasa lega karena dalam pikirannya: “saya masih bisa bermain-main dengan perempuan tanpa merasa takut menjadi dosa, yang penting tidak kelihatan oleh Abah”.
Menurut pikirannya, yang menjadi dosa itu kalau kelihatan oleh Abah. Jika tidak kelihatan oleh Abah tidak apa-apa, dan bagaimana mungkin Abah melihatnya kalau di Jakarta sedang Abah di Suryalaya?.
Dengan keyakinan tersebut dia merasa senang dan puas diberi solusi oleh Pangersa Abah, karena menurut hematnya dia tidak ada halangan untuk terus menyalurkan keinginan-keinginan bermain dengan perempuan.
Pada suatu malam sang ikhwan berencana untuk bermain perempuandi sebuah hotel berbintang. Dengan penuh gairah dia melaju diatas mobil menuju satu hotel, namun dia harus menghentikan mobilnya secara tiba-tiba, saat akan memasuki gerbang hotel. Pandangan matanya dikejutkan oleh kenyataan dimana di gerbang hotel justru terlihat seperti ada Abah Anom.
Antara percaya dan tidak, dia menggosok-gosok mata, berharap itu bukan Abah. Tapi justru semakin digosok semakin jelas bahwa itu benar-benar Abah Anom. Diapun semakin bingung antara dilanjutkan masuk dan kembali ke rumah. Jika dilanjutkan tentunya dia harus berhenti dan bersilaturahmi kepada Beliau, karena jika tidak berhenti maka termasuk seorang murid yang tidak berakhlak. Tetapi jika berhenti, Beliau pasti bertanya sedang apa disini.
Akhirnya keputusan jatuh pada pilihan ketiga yaitu mencari hotel lain. Namun malang tak dapat untung bagi nafsunya, karena ternyata di setiap hotel yang ingin dia singgahi selalu terlihat seakan ada Abah Anom di depannya, sehingga dibuatnya lelah untuk terus pergi dari suatu hotel ke hotel lainnya. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke rumah.
Pada malam-malam berikutnya diapun kembali mencoba menyusun rencana untuk bermain perempuanpilihan yang ditawarkan oleh pihak hotel, tetapi kembali seperti malam sebelumnya, Abah Anom selalu terlihat ada di gerbang hotel.
Hal ini berlanjut sampai beberapa malam selanjutnya pada setiap akan melaksanakan rencana tidak baiknya itu. Proses pengulangan pemandangan sama yang terjadi terus menerus ini membuatnya menjadikan bosan dan jenuh. Sehingga menurunkan gairah untuk bermain perempuan. Diapun berhenti dan bertaubat, sejak itulah selalu terhindar dari permainan zina yang melezatkan nafsu syahwatnya.
Kata sebagian sufi bahwa nafsu syahwat seorang manusia itu ibarat seorang bayi. Semakin diikuti semua keinginannya, akan semakin manja dibuatnya dan ingin selalu diikuti selamanya. Sebagai orang tua yang bijak, maka Guru Mursyid akan mengalihkan keinginan seorang bayi dengan penuh kasih sayang. Bila keinginan tersebut dianggap membahayakannya, maka dengan lemah lembut Sang Guru akan mengalihkan keinginan tersebut dengan cara yang seakan-akan mengabulkan keinginannya. Tetapi kenyataannya justru mengalihkan perhatian sang bayi itu, sehingga ia melupakan keinginan awalnya tanpa paksaan.
(Sumber Bpk. M.A. Aonillah Syarif oleh Aa Nuryanto dan Agus Sb).