Kisah

Abah Anom tahu yang terbersit di hati muridnya

Saya mengenal praktik bertarekat dari paman saya, KH. Mustofa (alm). Saat itu saya sedang nyantri di Pondok Pesantren daerah Cileunyi, Bandung. Saya minta paman saya mengantarkan saya ke Patapan Suryalaya untuk mengambil talqin dzikir kepada Abah Anom,” kata KH. Abdul Kohir mengawali kisah.

Ajengan Ohir pertama kali berjumpa dengan Pangersa Abah Anom di madrasah. “Abah, saya ingin ditalkin dzikir”. Abah yang telah mengetahui kisah Mang Haji Ali (alm) salah satu alumni dari Pesantren yang sama dengan Ajengan Ohir, yang mendapatkan perlakuan tidak nyaman dari sebagian keluarga mertuanya disebabkan  belajar tarekat, berkata, “ Bukankah Pamanmu pun mendapatkan perlakuan tak pantas dari mereka, dan bukankah itu menantang kesabarannya dan memerlukan kedewasaan bersikap? Baiknya untuk sementara ini kamu pulang kembali ke Pesantrenmu dan mintakan izin kepada Ajengan-mu untuk mengambil talkin dzikir di sini”.

Santri muda yang kelak dipanggil Abah Anom dengan sebutan “Tohir” itu pulang kembali tanpa memperoleh hal yang diinginkan. Dalam benaknya berkecamuk dua pikiran. Pikiran pertama yang mengarahkannya untuk melaksanakan apa permintaan Abah Anom dengan peluang besar mendapatkan penolakan dari Ajengan di Pesantrennya. Pikiran kedua adalah tidak melakukan apa tugas Abah Anom. Hingga lebih dari sebulan ayah dari 5 putri dan 2 putra ini berada dalam dilema dan tidak mampu mengambil keputusan.

Saat KH. Mustofa pergi ke Suryalaya, ia ikut serta. Ia ingin menemui Abah Anom di Madrasah, namun saat itu banyak tamu, sehingga ia memutuskan untuk duduk menunggu di Masjid Nurul Asror yang masih berdinding kayu. Ketika ia sedang asyik duduk merenung, Abah Anom datang menghampirinya, dan bertanya, “Hai, santri, Bagaimana? Apakah kau sudah memperoleh ijin dari Gurumu?”. Kala itu, dalam hati Tohir terlintas jawaban “Mana mungkin Ajengan di Pesantrenku mengijinkan aku mendapatkan Talkin Dzikir, sementara pamanku saja dulu mendapatkan perlakuan sengit”.

Baca Juga  Kisah Pangersa Abah menghormati tamu

Tohir mendadak terkesiap. Abah Anom mengusapkan telapak tangan kanannya ke pipi kirinya sambil berbisik lirih, “Tak baik murid berprasangka buruk kepada gurunya. Berprasangka baiklah kepada Gurumu”. Tohir terdiam, kepalanya makin menunduk, dan semakin merasa malu karena Abah Anom mampu mengetahui apa yang terbersit di dalam kalbunya. (Asep Haerul Gani)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button