Abah Anom, Mursyid yang rendah hati
Pada penghujung dekade 1980-an, seorang Guru Besar dari IAIN Syarief Hidayatullah Jakarta membawa putranya ke Pondok Pesantren Suryalaya.
KH Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin (Abah Anom) menyambutnya dengan penuh penghormatan. Abah Anom menyimak tujuan kedatangan sang professor. Ia memohon bantuan untuk membantunya membimbing puteranya agar akhlaknya membaik. Pangersa Abah menyanggupi keinginan Guru Besar keturunan Tapanuli itu.
Seperti yang lainnya, saat itu Abah Anom langsung membimbing putera sang Professor untuk belajar Dzikir Jahar dan Dzikir Khofi atau sering disebut talqin dzikir. Sementara saat itu Sang Professor hanya menjadi saksi atas berlangsungnya proses talqin dzikir. Ia tidak ikut serta dalam proses itu.
Usai mengamati dan mencermati proses talqin dzikir tersebut, ia menitipkan puteranya kepada Abah, lalu pulang ke Jakarta.
Abah Anom membimbing putera sang Professor dengan mengikutsertakannya dalam amalan-amalan riyadhoh Shufiyah seperti yang ditulis dalam buku IBADAH.
Hari demi hari terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik pada diri putera sang professor. Sampai pada suatu waktu Pangersa Abah kemudian membolehkan ia pulang ke rumahnya.
Selang berapa lama, Guru Besar yang banyak menulis buku ajar ini hadir kembali ke madrasah dan berjumpa dengan Abah.
“Abah, terima kasih. Anak saya mengalami banyak perubahan. Akhlaknya semakin baik. Ia menunjukkan perilaku yang semakin jujur dan amanah” katanya.
Pada kesempatan itu, Guru Besar yang sering dijuluki Neo Mu’tazilah itu bertanya,
“Abah, bolehkah saya mengamalkan apa yang Abah ajarkan kepada anak saya beberapa waktu lalu?”. ucap sang Proesor.
Dengan nada lembut Abah menjawab: “Professor, Abah pun masih dalam taraf belajar berdzikir. Mari bersama Abah, kita sama-sama belajar berdzikir”. tutupnya
Penulis: Asep Haerul Gani