Muslimah dan profesinya di Era Modern

Seiring berkembangnya kehidupan dan semakin banyak pula perempuan yang terlahir didunia. Menurut hadist riwayat Imam Bukhori (no.81), Imam Muslim (no.2671) dan Imam Tirmidzi (no.2205) bahwasannya suatu hari perempuan akan lebih banyak terlahir ketimbang laki-laki. Hal tersebut sekarang mulai terbukti. Maka tidak menutup kemungkinan untuk perempuan yang mendominasi lahan pekerjaan yang proesional. Nampak pada kehidupan nyata sehari-hari, perempuan lebih banyak yang bekerja ketimbang hanya diam dirumah sekedar menjadi Ibu rumah tangga. Hal ini yang menyebabkan tugas wanita menjadi ganda, tidak hanya untuk mendidik anak saja.
Jelas sekali bahwa fenomena tersebut menjadi tuntutan di era modern ini. Perempuan memiliki profesi bukanlah hal yang baru dalam kacamata kehidupan sekarang ini. Pertanyaan yang muncul yakni bagaimana persepsi tentang muslimah yang memiliki profesi di era modern ini? Apakah patut dipermasalahkan atau itu merupakan kelumrahan yang biarkan saja berjalan apa adanya? Permasalahan yang muncul disini tentu mengenai kualifikasi pekerjaan itu sendiri. Kendala perempuan bisa dikatakan cukup banyak dalam bekerja.
Kendala pertama, soal berhijab dalam Islam yang kerap bertentangan dengan syarat pekerjaan seperti dibeberapa intansi yang mungkin tidak memperkenankan penggunaan jilbab saat bekerja. Kemudian kendala selanjutnya dari suara perempuan itu sendiri yang bisa memicu hal yang tidak diinginkan. Lalu dari posisi pekerjaan itu sendiri apakah tugasnya harus dihadapkan dengan lawan jenis atau sesama perempuan serta kendala lainnya. Namun mau tidak mau hal tersebut harus diterobos mengingat kebutuhan.
Kata para ahli
Berdasarkan penjelasan Buku Perempuan karya Prof. Quraish Shihab bahwa perempuan diperkenankan bekerja ketika dihadapkan dengan dua pilihan. Pilihan pertama, karena pekerjaan itu membutuhkannya selagi tidak menyimpang dari ajaran Islam, contohnya ketika membutuhkan pekerjaan sebagai bidan untuk membantu perempuan lain melahirkan. Bisa juga pekerjaan lainnya seperti menjadi dokter kandungan yang khusus memeriksa pasien perempuan, menjadi staf pengajar bagi murid perempuan dan lain sebagainya. Pilihan kedua, karena ia membutuhkan pekerjaan, jelas untuk mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Selagi tidak bertentangan dengan syariat Islam maka tidak ada salahnya muslimah untuk memiliki profesi.
Dalam hal ini sebenarnya wanita sangat rentan berada diluar, sebab hakikatnya kedatangan Islam salah satunya bertujuan memuliakan wanita, eksistensi dan kedudukannya. Namun sering kali perempuan dijadikan sebagai destroyer istrumen (alat perusak) dan perangkap bagi muslim-muslim yang lain. Untuk itu perlu kehati-hatian dari wanita itu sendiri dalam memilah dan memilih pekerjaan yang layak bagi dirinya dan kehormatannya.
Adapun menurut Syekh Dr. Shaleh bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan dalam bukunya yang berjudul Sentuhan Nilai Kefiqihan Untuk Wanita Beriman dipaparkan beberapa ketentuan bagi perempuan yang bekerja. Sebenarnya tidak ada larangan bagi wanita untuk bekerja asalkan berpegang pada 4 ketentuan. Pertama, masyarakat membutuhkannya untuk bekerja dimana tidak aada laki-laki yang mampu menangani pekerjaan itu. Kedua, hendaknya wanita bekerja setelah menunaikan kewajibannya didalam rumah tangganya. Ketiga, pekerjaan itu masih ada dilingkungan para perempuan. Keempat, ketika wanita harus mentransfer ilmunya kepada orang lain.
Sejauh ini tidak ada larangan keras bagi wanita untuk berprofesi, apalagi di Indonesia. Namun tentunya bagi muslimah yang bekerja tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan dalam Islam. Kemudian pertanyaan selanjutnya, bagaimana bagi perempuan yang berpolitik dan menjadi pemimpin? Apakah diperbolehkan? Sebenarnya, sah-sah saja asalkan mampu dan tanpa melepaskan kewajibannya sebagai istri dan ibu dirumah. Serta wajib untuk mendapatkan ijin dari suaminya. Perempuan yang menjadi pemimpin haruslah adil dalam membagi waktu dan memposisikan diri. Akan tetapi, lebih ideal jika pria yang menjadi pemimpin. Meski tidak menutup kemungkinan wanita lebih mampu mengemban amanah tersebut. Hal ini bukan memicu terjadinya konflik dan perpecahan atas dasar diskriminasi. Sebagai manusia, hakikatnya laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama. Intinya bahwa perempuan diperkenankan untuk bekerja asalkan tidak keluar dari koridor ke-Islaman.
Sindy Puji Astari (Alumni IAILM Suryalaya)