Mi’raj Rawayan Kebudayaan
Salah satu makna Rajab adalah kehormatan. Bagi umat Islam Rajab menjadi bulan istimewa karena di dalamnya terdapat peristiwa bersejarah yang senantiasa diperingati: Isra Mi’raj. Orang Sunda menyebutnya rajaban. Minimal dengan ritus peringatan ini, memori kolektif kita diinsyafkan tentang pentingnya mengelola hidup tidak sekadar berhenti sebatas pemenuhan hajat kebendaan namun ada hal penting yang harus diperhatikan: haluan kebutuhan spiritual.
Isra Mi’raj pesan pokoknya adalah mengaktifkan ingatan-ingatan ini. Mengapa harus diperingati? Jawabannya sangat sederhana karena manusia adalah pelupa. Manusia hanya selalu ingat kepada hasrat yang bersifat bendawi dan berdimensi jangka pendek. Sementara aspek batinnya sering terabaikan seperti dengan bagus diilustrasikan filsuf Haji Hasan Mustapa:
Nyebut kalangkang ka raga
Nyebut raga ka rohani
Nu matak teu nelah-nelah
Nu matak teu ngarti-ngarti
Menjadi relevan dalam konteks ini apa yang ditulis sastrawan Milan Kendera bahwa perjuangan yang paling besar adalah upaya terus menerus melawan lupa. Melawan punahnya daya ingat agar nalar tetap waras. Upaya untuk tidak pernah berhenti insyaf :
Barang bray aing kumaki
Haneut moyan jeung peryoga
Tengah poe sur ser hatĕ
Lohor geusaneun dongdonan
Asar geus rumasaan
Tunggang gunung ngalanglayung
Sup surup kari carita (HHM)
Sebuah perjalanan
Kita sudah paham bahwa isra artinya adalah perjalanan tubuh dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa di Palestina yang sekarang menjadi simpul pusaran konflik karena hasrat kuasa Yahudi yang kelewat batas. Perjalanan fisik-ragawi (miraga). Mi’raj lebih bermuatan arti non fisik (mirasa), bagi kita sekarang: naik ke Langit untuk kemudian mencapai puncak pencerahan yang disimbolisasikan dalam ungkapan sidratul muntaha. Sidrah artinya pohon lotus (simpul pencerahan) dan muntaha adalah puncak. Puncak pencerahan yang diwujudkan dalam bentuk kesediaan hidup berjangkar pada etika. Pohon lotus dalam kultur masyarat Arab adalah simpul puncak pengalaman spiritual, metafora dari manusia yang telah mencapai kematangan spiritual.
Tentu saja perjalanan Mi’raj bukanlah sesuatu yang gampang. Ada banyak hambatan sepanjang perjalanan yang harus dihadapi sang Nabi sebelum meraih kemenangan. Selepas hambatan itu ditaklukan, maka menuai apa yang dicita-citakan tinggal persoalan waktu. Hal ini dengah sangat bagus digambarkan penyair-sufi terkemuka yang lahir 1117 M di Naysapur Iran, Fariduddin Attar, dalam kitab Manthiq ath-Thair (Musyawarah Burung).
Attar melukiskan Mi’raj ketiga puluh burung mencapai Simurgh dalam sebuah ungkapan memukau (sebagaimana di terjemahkan Abdul Hadi WM):
Mereka saksikan kehadiran tanpa nama dan kata
jauh dari jangkauan indra, pikiran dan pemahaman biasa
apabila kilatan cahaya terpencar daripadanya
maka seratus dunia pun hangus terbakar dalam sekejap
seratus ribu bulan dan bintang malahan lebih
mereka saksikan penuh takjub
seperti zarrah mereka datang dan menari mengitari-Nya.
Konteks kultural
Dalam konteks kultural ternyata untuk menghadirkan ruang hidup berkeadaban, mensyaratkan Mi’raj diposisikan sebagai kerja budaya aktif, bukan sebagai sesuatu yang pasif. Mi’raj sebagai kata kerja, bukan kata benda. Mi’raj bukan pilihan tapi keniscayaan. Ruang kebudayaan yang santun musti diupayakan, negara kesejahteraan wajib diikhtiarkan, wajib direbut tidak menunggu dengan berdiam diri tak ubahnya manusia yang digambarkan Kafka dalam The Trial-nya:
“Seseorang mendatangi pintu yang menuju surga dan minta izin untuk masuk kepada penjaga pintu. Penjaga pintu mengatakan bahwa dia tidak mengizinkan seseorang untuk masuk selama beberapa saat. Sementara pintu itu terbuka, lelaki itu memutuskan menunggu sampai penjaga pintu mengizinkannya masuk. Dia duduk berhari-hari bahkan bertahun-tahun. Berkali-kali ia menanyakan apakah sudah diizinkan masuk, tetapi selalu dijawab bahwa dia belum bisa mengizinkannya. Selama bertahun laki-laki itu tak henti-hentinya memperhatikan penjaga pintu itu sambil melepaskan kutu-kutu yang menempel di kerah bajunya yang menjamur. Sampai-sampai dia prustasi dan hampir mati. Untuk pertama kalinya ia menanyakan: “Bagaimana sampai terjadi bahwa sepanjang tahun ini tak ada seorang pun yang meminta izin masuk kecuali saya?” Penjaga pintu menjawab, “Tak seorang pun kecuali anda yang bersikeras meminta izin memasuki pintu ini, sepertinya pintu ini dimaksudkan untukmu. Sekarang saya mau menutupnya!”
Mi’raj kultural adalah sesuatu yang mengandaikan kerja kreatif: merancang pendidikan berkualitas, ekonomi terencana, kepemimpinan yang visioner dan terbebas dari segala bentuk kepentingan dangkal, keberagamaan inklusif yang selalu terbuka untuk didialogan, penghargaan manusia kepada pikiran bukan terhadap tubuh dan pencitraan yang acapkali menyesatkan.
Mi’raj kultural dalam konteks kebangsaan hari ini menjadi penting justru ketika hukum mewajahkan rupanya yang muram, korupsi sudah sangat tidak terkendali bahkan otonomi dulu yang diimpikan akan mampu menciptakan tatakelola negara yang lebih baik justru telah menciptakan raja-raja kecil yang korup terbukti dengan temuan terakhir lebih dari 150 orang bupati dan walikota terjerat kasus perampokan uang negara, anggaran negara menjadi bancakan para politisi kesurupan untuk menggerakkan mesin partai yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kesejahtraan publik, kejujuran nyaris punah bahkan di lembaga yang seharusnya menjadi penjaga moral bangsa seumpama kementrian pendidikan dan kementrian agama seperti dipertontonkan dengan harus terusirnya ibu Siami karena gara-gara membongkar kepalsuan Ujian Negara. Pendek kata diakui atau tidak kita tengah hampir masuk dalam kategori negara gagal, karena diantaranya telah terseret dalam sistem kleptokrasi: negara dikelola oleh para pencuri!
Melampaui metafora
Ada banyak keburukan sekaligus kebaikan yang digambarkan dalam warna metafora dalam peristiwa Mi’raj. Bahkan surga dan neraka dimunculkan: lagi-lagi agar kita tidak lupa terhadap kesadaran eskatologis. Kesadaran yang semestinya membuat kita dapat merayakan hidup penuh tanggungjawab.
Metafora yang sebenarnya bersifat universal. Atau mungkin tradisi dan literasi estetis di kemudian hari banyak mendulang ilham dari Isra Mi’raj. Literasi estetis memunculkan karya raksasa semacam Divine Commedia-nya Dante mengggambarkan irisan gagasan yang mempertemukannya dengan Mi’rajnya Nabi Saw. Dalam kebudayaan Sunda, pantun Mundinglaya Dikusumah dibangun dengan alur yang tidak jauh berbeda dengan Mi’raj itu.
Dalam Mundinglaya ada pertentangan antara yang memperalat kultur untuk kepentingan kuasa yang disimpulkan Sunten Jaya dengan Mundinglaya sendiri yang justru memposisikannya sebagai pintu masuk untuk meraih keadaban hidup, untuk melakukan ekspektasi nalar dan kejernihan akal budi agar hirup panggih jeung huripna.
Ditangan Mundinglaya kebudayaan dirumuskan tidak sekadar sisi ragawi saja namun juga aspek spiritualitasnya dalam bentuk kesigapannya menaklukan alam kamadatu (alam rohani yang masih diselimuti daging), alam rupadatu (alam ruhani yang masih terikat materi) dan alam arupadatu (alam yang telah bebas dari hasrat duniawi) dan Jonggrang Kalapetong (nafsu destruktip).
Selepas nafsu merusak itu tertaklukan, diri (dan masyarakat) dapat terbang ke Buana Nyungcung dan Padjajaran pun (baca: Indonesia) dapat menyambut terangnya fajar peradaban adi luhung. Semoga ***
Asep Salahudin