Meraih Kemenangan Hakiki, Menghindari Kebangkrutan Abadi

Ramadhan dan hari raya idul fitri meninggalkan kita. Di moment hari raya idul fitri kita selalu mengucapkan Minal ‘Aidin wal Faizin (مِنَ الْعَائِدِيْنَ وَالْفَائِزِيْنَ). Kalimat ini adalah sebuah frasa bahasa Arab yang sering diucapkan oleh umat Muslim, terutama di Indonesia, saat Hari Raya Idul Fitri.
Secara harfiah, frasa ini memiliki arti: Minal ‘Aidin (مِنَ الْعَائِدِيْنَ): Termasuk orang-orang yang kembali (kepada fitrah). Wal Faizin (وَالْفَائِزِيْنَ): Dan termasuk orang-orang yang meraih kemenangan. Kemenangan yang hakiki adalah diraihnya perdikat taqwa. Allah berfirman,
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan, (QS. An-Naba:31)
Secara umum, kemenangan berarti keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan yang diinginkan, setelah melalui perjuangan, usaha, atau persaingan. Namun, makna spesifiknya bisa sangat bergantung pada konteksnya.
Selepas puasa tentu kita berharap menjadi mansia yang meraih kemenangan dan keruntungan? Bukan masuk pada golongan orang yang rugi dan bangkrut.
Pernahkah kita membayangkan sebuah kebangkrutan yang sesungguhnya? Bukan sekadar kehilangan harta dunia yang fana, namun sebuah kebangkrutan yang dahsyat, yang terjadi di hari yang tidak ada lagi pertolongan kecuali dari rahmat Allah Azza wa Jalla. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan gambaran yang sangat jelas tentang hal ini dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
Lalu apa makna bangkrut dalam pandangan Islam? Mari kita temukan pada salah satu hadits nabi berikut ini. Pada suatu kesempatan Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat apakah disebut orang bangkrut?. Hal ini sebagaimana dikisahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radliyallahu ‘Anh sebagai berikut:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟
Artinya: Sesungguhnya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya: Tahukah kalian siapakah yang dinamakan orang bangkrut?
قَالُوْا: اَلْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ
Artinya: Mereka (para sahabat) menjawab: Orang bangkrut menurut pendapat kami ialah mereka yang tidak mempunyai uang dan tidak pula mempunyai harta benda.
Jawaban para shahabat itu ternyata bukan sebagaimana yang dimaksudkan Rasulullah. Nabi Muhammad tidak bertanya tentang ekonomi, melainkan ingin mengajak para sahabat mengetahui bahwa kebangkrutan bisa terjadi dalam bidang agama.
Dalam agama Islam juga ada perhitungan matematis terkait pahala dan dosa, seperti penambahan dan pengurangan di antara sesama manusia. Hal ini terjadi pada saat semua manusia berada di Padang Makhsyar untuk menjalani hisab yang akan menentukan apakah seseorang akan masuk surga atau neraka.
Dengan perhitungan seperti itu, dapat diketahui apakah seseorang akan termasuk orang beruntung atau justru orang bangkrut di akherat kelak. Adapaun yang dimaksud bangkrut dalam agama Islam adalah sebagaimana penjelasan Rasulullah dalam lanjutan hadits berikut:
فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي، يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هٰذَا وَقَذَفَ هٰذَا، وَأَكَلَ مَالَ هٰذَا، وَسَفَكَ دَمَ هٰذَا، وَضَرَبَ هٰذَا. فَيُعْطِى هٰذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهٰذَا مِنٰ حَسَنَاتِهِ. فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ، قَبْلَ أَنْ يَقْضَى مَا عَلَيْهِ، أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ. ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
Artinya: Nabi menjelaskan: Sesungguhnya orang bangkrut dari umatku ialah mereka yang datang pada hari kiamat dengan membawa amal kebaikan dari shalat, puasa, dan zakat. Tetapi mereka dahulu pernah mencaci maki orang lain, menuduh orang lain, memakan harta orang lain, menumpahkan darah orang lain dan memukul orang lain. Maka kepada orang yang mereka salahi itu diberikan pahala amal baik mereka; dan kepada orang yang lain lagi diberikan pula amal baik mereka. Apabila amal baik mereka telah habis sebelum hutangnya lunas, maka diambillah kesalahan orang yang disalahi itu dan diberikan kepada mereka; Sesudah itu, mereka akan dilemparkan ke dalam neraka.
Hadits ini sungguh mengguncang hati kita. Betapa mengerikannya jika amalan-amalan ibadah yang kita kerjakan dengan susah payah di dunia ini, ternyata menjadi sia-sia bahkan menjadi penyebab azab di akhirat kelak. Kebangkrutan yang sesungguhnya adalah ketika pahala shalat, puasa, dan zakat kita habis terkuras untuk membayar “hutang” kepada sesama manusia akibat lisan dan perbuatan buruk kita di dunia.
Setiap orang dari umat Rasulullah SAW. mendapatkan pahala dari ibadah-ibadah yang mereka lakukan semasa hidupnya seperti shalat, puasa, dan zakat. Namun pahala-pahala yang didapat dari ibadah-ibadah wajib itu akan dikonfrontir dengan dosa-dosa sosialnya akibat berbuat zalim kepada sesama manusia. Seperti mencaci maki, menuduh, memfitnah, memakan harta orang lain seperti mencuri atau korupsi, membunuh secara tidak sah, melukai atau menyakiti orang lain baik secara fisik maupun non-fisik, dan sebagainya.
Apabila besarnya dosa-dosa sosial akibat kezaliman tidak sebanding dengan kesalehan-kesalehan yang dilakukannya karena banyaknya orang yang dizalimi atau tingginya tingkat kezaliman kepada orang tertentu, maka dosa-dosa dari orang-orang yang dizalimi akan diberikan kepada orang yang menzalimi hingga mencapai titik impas. Apabila titik impas tidak tercapai, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan melemparkan orang yang menzalimi itu ke neraka. Orang seperti inilah yang disebut orang bangkrut dalam agama sebagaimana penjelasan Rasulullah dalam hadits di atas.
Kezaliman manusia terhadap manusia lainnya pada dasarnya merupakan urusan manusia karena termasuk wilayah muamalah. Namun demikian, Allah tidak membiarkannya hingga pihak yang melakukan kezaliman menyelesaikan masalahnya, misalnya dengan kompensasi tertentu dan/atau meminta maaf kepada pihak yang dizalimi semasa hidupnya. Apabila hal ini tidak dilakukan hingga masing-masing meninggal dunia, maka Allah akan memperhitungkannya di akhirat kelak.
Melakukan kezaliman terhadap sesama manusia bukanlah persoalan sepele karena urusannya bisa sampai ke akhirat. Allah memang memperhatikan dan memperhitungkan setiap kezaliman seperti itu sebagaimana juga disebutkan dalam sebuah hadits marfu’ yang diriwayatkan dari Anas bin Malik Radliyallahu ‘Anh sebagai berikut:
وَأَمَّا الظُّلْمُ الَّذِي لا يَتْرُكُهُ الله فَظُلْمُ الْعِبَادِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا حَتَّى يُدَبِّرُ لِبَعْضِهِمْ مِنْ بَعْضٍ
Artinya: Adapun kezaliman yang tidak akan dibiarkan oleh Allah adalah kezaliman manusia atas manusia lainnya hingga mereka menyelesaikan urusannya.
Oleh karena itu siapa pun hendaknya bersikap hati-hati kepada orang lain dengan menjaga lisan, tangan dan anggota badan lainnya agar terhindar dari dosa-dosa sosial akibat berbuat kezaliman kepada mereka.
Apabila kita benar-benar sayang pada diri sendiri, maka hal-hal yang harus kita lakukan dalam rangka mencegah kebangkrutan amal adalah menjaga agar pahala dari ibadah yang kita lakukan tidak habis oleh dosa-dosa sosial akibat kezaliman kepada orang lain. Pahala dari berbagai ibadah saja seperti shalat, puasa, haji dan bahkan zakat sekalipun belum cukup menjadi bekal kita di akhirat hingga ada kepastian bahwa orang-orang lain selamat dari lisan dan tangan kita melakukan kezaliman-kezaliman kepada mereka.
Lantas, bagaimana caranya agar kita terhindar dari kebangkrutan yang mengerikan ini? Kunci yang diajarkan kepada kita, khususnya dalam konteks TQN Suryalaya, adalah membasahi dan memenuhi hati dengan dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam ajaran TQN Suryalaya, kita mengenal dua amalan dzikir yang agung, yaitu dzikir jahar (dzikir dengan lisan) dan dzikir khofi (dzikir dengan hati). Kedua jenis dzikir ini memiliki peran yang sangat penting dalam membersihkan hati, mendekatkan diri kepada Allah, dan menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat menjerumuskan kita pada kebangkrutan di akhirat.
Dzikir jahar dengan melafadzkan kalimat-kalimat thayyibah seperti Laa Ilaaha Illallah secara berulang-ulang, membersihkan lisan dari perkataan yang sia-sia dan kotor, serta mengingatkan kita akan keagungan dan keesaan Allah SWT.
Dzikir khofi, yang merupakan inti dari amalan TQN, yaitu mengingat Allah di dalam hati dalam setiap keadaan. Dzikir ini menenangkan jiwa, menjernihkan pikiran, dan menumbuhkan rasa muraqabah, yaitu merasa selalu diawasi oleh Allah SWT. Dengan hati yang senantiasa berdzikir, kita akan lebih berhati-hati dalam bertindak dan berucap, sehingga terhindar dari menyakiti sesama.
Dalam kitab Sirrul Asror menjelaskan ciri-ciri orang yang beruntung, yang insya Allah akan menjauhkan kita dari kebangkrutan spiritual:
- Lunak hatinya: Hati yang lembut dan penuh kasih sayang akan mendorong kita untuk berbuat baik kepada sesama, memaafkan kesalahan orang lain, dan menghindari perbuatan yang menyakiti.
- Banyak menangis: Tangisan di sini bukanlah semata-mata karena kesedihan duniawi, tetapi lebih kepada tangisan penyesalan atas dosa-dosa, rasa takut kepada Allah, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya. Hati yang sering menangis adalah hati yang hidup dan peka terhadap kebesaran Allah.
- Zuhud dari harta: Zuhud bukan berarti tidak memiliki harta, tetapi tidak menjadikan harta sebagai tujuan utama dalam hidup. Harta hanyalah sarana untuk beribadah dan berbuat kebaikan. Orang yang zuhud tidak akan tamak dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta, sehingga terhindar dari memakan hak orang lain.
- Tidak banyak melamun: Melamun yang berlebihan dapat melalaikan kita dari mengingat Allah dan cenderung membawa kepada pikiran-pikiran negatif yang dapat mendorong kita pada perbuatan dosa. Orang yang beruntung senantiasa fokus pada ibadah dan hal-hal yang bermanfaat.
- Memiliki rasa malu yang tinggi: Rasa malu adalah benteng yang kokoh dari perbuatan maksiat dan akhlak yang buruk. Orang yang memiliki rasa malu akan menjaga lisannya dari perkataan kotor dan menyakitkan, serta menjaga perbuatannya dari hal-hal yang dilarang oleh agama.
Mari kita jadikan hadits tentang orang yang bangkrut ini sebagai cambuk bagi diri kita. Mari kita perbaiki hubungan kita dengan Allah SWT melalui dzikir yang khusyuk dan istiqamah. Mari kita perbaiki pula hubungan kita dengan sesama manusia dengan menjaga lisan dan perbuatan kita.
Sebagai ikhwan TQN Suryalaya, kita telah dibekali dengan amalan dzikir yang agung. Mari kita manfaatkan anugerah ini sebaik-baiknya. Basahi lisan kita dengan dzikir jahar dan penuhi hati kita dengan dzikir khofi dalam setiap hembusan nafas. Dengan demikian, insya Allah, hati kita akan menjadi lunak, air mata penyesalan akan sering membasahi pipi kita, kita akan semakin zuhud terhadap gemerlap dunia, kita akan terhindar dari lamunan yang sia-sia, dan rasa malu akan senantiasa menghiasi diri kita.
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita di jalan-Nya, mengampuni dosa-dosa kita, dan menyelamatkan kita dari kebangkrutan yang sesungguhnya di hari kiamat kelak. Aamiin yaa robbal ‘aalamiin.