Apakah tradisi Rebo Wekasan termasuk Khurafat?
Kegiatan pelaksanaan Shalat Daf’il bala di hari Rabu terakhir bulan Shafar (Rebo Wekasan) begitu memasyarakat, terutama di kalangan kaum Ahsluss-Sunnal wal Jama’ah Asy’ariyyah Ma’turidiyyah. Ini merupakan fakta yang telah berjalan selama ratusan tahun, dan tidak hanya di Indonesia. Sementara di sisi lain tidak sedikit ulama yang membantah tentang legalitas Hukum terhadap shalat yang telah membudaya tersebut sehingga memberikan cap bid’ah dan khurafat. Terutama dari saudara-saudara kita di kalangan Salafi-Wahabi (Sawah).
Mayoritas kaum muslimin yang menjadi pengamal amalan Rebo Wekasan ini tentu saja menggantungkan Hukum-hukum tersebut kepada para ulamanya. Artinya mereka lebih percaya kepada ulamanya daripada kepada ulama lain yang menentang ajaran ini. Nampaknya hal ini sedikit porno bagi sebagian pihak sehingga menuding Taklid Buta. Padahal tidak demikian menurut ulama ushul sebagaimana yang disebutkan dalam kitab ushul Fikih, Al-Lum’a, bahwa seseorang melaksanakan amalan/ Hukum tertentu tanpa mengetahui dalilnya secara langsung melainkan ia meyakini gurunya sangat mengetahui dalil-dalil tersebut, keadaan itu dibenarkan sepanjang para guru tersebut adalah orang-orang yang terpercaya di dalam ilmu dan amaliahnya.
Namun, meski demikian, bagi para pemikir, santri dan akademisi Islam, mengetahui permasalahan ini lebih dalam adalah hasrat dan keinginan yang tidak terbantahkan, selain tentunya menjadi kewajiban bagi advokasi Hukum keislaman.
Sebagian kaum muslimin mengatakan bahwa Rebo Wekasan ini khurafat. Secara bahasa khurafat adalah cerita bohong. Secara istilah diartikan sebagai kepercayaan khayali, artinya diluar kekuasaan Allah ada ragam kekuatan gaib yang menjadi sebab mutlak keselamatan dan kemadaratan bagi seseorang. Bagi yang mengetahui paham dinamisme dan animisme, itulah khurafat. Ma’ádzalláh, kita berlindung kepada Allah dari keyakinan dan sikap seperti itu.
Khurafat dipahami juga sebagai cerita-cerita penuh pesona dan sarat dengan kebohongan, atau cerita rekayasa khayali, ramalan, pantangan, ajaran-ajaran tertentu, adat-istiadat atau tradisi, dan pemujaan/ keyakinan yang menyimpang dari ajaran Islam. Dengan demikian khurafat adalah bid’ah menurut akidah, sebab adanya kepercayaan mutlak terhadap sesuatu diluar kekuasaan Allah Swt. Lalu apa benar Rebo wekasan seperti itu? Jika benar, berarti orang-orang yang diyakini kaum muslimin sebagai Rijalulloh itu para pemimpin khurafat yang terancam masuk neraka. Na’údzubillah dari dugaan tersebut.
Mayoritas ulama hadits memang menolak hadits-hadits tentang rebo wekasan ini. Sementara ulama tasawuf menerimanya dan mengamalkannya. Tentulah menjadi menarik untuk dipertanyakan kenapa bisa terjadi perbedaan pandangan begitu, padahal mereka sama-sama menggunakan al-Qur’an dan al-Hadits. Inilah yang perlu diketahui.
Karena dalam tulisan ini tidak ada maksud berpanjang-panjang berbicara, maka jawabannya singkat saja. Para “ulama hadits” tidak menerima sebab mereka mempertahankan basic keilmuannya, yakni Ilmu Riwáyah & Diráyah. Sementara ahli Tasawuf menggunakan pendekatan ilmu Kasysyaf (keterbukaan hijab penghalang antara dirinya dengan Allah) sehingga kemudian mereka mendapatkan ilmu Hudhúrí (ilmu yang langsung datang dari Allah atau ilmu Ladunni). Namun juga perlu diperhatikan, bahwa mayoritas para sufi itu adalah ahlul hadits atau muhaddits. Perhatikan biografi para sufi atau para Wali Allah semisal Syekh Abdul Qodir al-Jailani, Syekh Abu Hasan As-Syadzili, Syekh Pamijahan, Syekh Yusuf padani yang memiliki gelar musnid ad-Dunya dan Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dan sebagainya.
Maka perbedaan pendapat ini terletak dalam masalah metodologinya. Lebih jauhnya berbeda dalam epistimologinya. Epistimologi adalah satu cabang filsafat yang membicarakan bagaimana suatu ilmu bisa didapat. Dalam kajian sufistik, ada tiga sumber keilmuan; bayání, burhání dan irfání. Bayání adalah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Burhání adalah sesuatu yang memisahkan kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang benar dari yang salah melalui penjelasan. Alatnya adalah akal. Dan irfání adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui riyádhah. Alatnya adalah hati.
Bukan jadi rahasia lagi di kalangan sufi kalau mereka sering berkomunikasi langsung dengan Nabi Saw., dan bahkan dengan Allah Swt. Jika ingin mengetahui lebih lanjut, hal ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab tasawuf. Tinggal dicari saja.
Maka oleh karena itu, dalam kitab-kitabnya penjelasan tentang rebo wekasan ini selalu dikaitkan dengan para Ahli Ma’rifat, ahli Kasysyaf dan Tamkin. Dan mereka itu adalah tokoh semisal Syekh Abdul Qodir al-Jailani, Syekh Abul Hasan as-Syadzili, Syekh Ibnu ‘Arabi, para Wali Songo, Syekh Abdul Muhyi Pamijahan dan sebagainya.
Melihat tokoh-tokoh sekaliber beliau-beliau, memang sulit juga bagi kita yang masih kecil dan jauh dari kesempurnaan dalam hal keilmuan apalagi amal untuk menyalahkan pendapat mereka. Karena mereka orang-orang yang tsiqqoh dan dhóbith alias memiliki tingkat kepercayaan yang kuat dan kekuatan pikiran yang dahsyat bahkan kekuat jiwa yang sangat melekat kepada Allah Swt.
Dalam pandangan Sufi, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-Jawáhir al-Khamas yang bersumber dari Syekh Ali al-Buni dalam kitabnya Al-Firdaus, penyakit yang 320.000 itu diserahkan oleh Allah kepada seorang wali tingkat Quthbul Ghaots untuk disebarkan. Dan para wali, sangat familiar dengan Quthbul Ghaots ini sehingga melalui mukásyafah-nya mereka mengetahuinya sekaligus mengetahui cara mengatasinya. Sebagaimana suatu negara mengetahui siapa yang menyebarkan pertama kali penyakit AIDS sekaligus mengetahui caranya. Maka wajarlah jika pelaksanaan amaliyah Rebo wekasan ini beredar di kalangan para sufi yang diantaranya mentransformasikan diri pada ormas NU. Maka jika rebo wekasan itu khurafat, berarti karomah para wali itu?
Dalam al-‘Aqidah al-Wasithiyyah:
ومن أصول أهل السنة : التصديق بكرامات الأولياء وما يجري الله على أيديهم من خوارق العادات في أنواع العلوم والمكاشفات
“Di antara prinsip Ahlussunnah adalah mempercayai karomah para wali dan apa yang diakukan Allah melalui tangan-tangan mereka berupa perkara yang menyalahi adat dalam berbagai macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah.”
Lalu, apa kata Nabi Saw? Sabdanya:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي. (الإمام الحافظ جلال الدين السيوطي، الجامع الصغير في أحاديث البشير النذير، ١/٤، والحافظ أحمد بن الصديق الغماري، المداوي لعلل الجامع الصغير وشرحي المناوي، ١/۲٣).
“Dari Ibn Abbas RA, Nabi Saw bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya sial yang terus menerus.”
Para perawinya adalah Imam Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam al-Tafsirnya dan al-Khathib al-Baghdadi. Yang dikutip oleh Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab al-Jámi’ al-Shaghír juz I halaman 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari dalam kitab al-Mudáwí li’ilal al-Jámi’ al-Shaghír wa Syarhi al-Munáwí, juz 1 halaman 23.
Hadits di atas kedudukannya dha’if alias lemah. Tetapi meskipun demikian posisinya tidak dalam menjelaskan suatu hukum, melainkan berkaitan dengan bab targhíb dan tarhíb (anjuran dan peringatan) yang disepakati otoritasnya di kalangan ahli hadits sejak generasi salaf. Ingat, bahwa yang menolak otoritas hadits dha’if secara mutlak, bukan ulama ahli hadits, akan tetapi kaum Wahabi abad modern yang dipelopori oleh al-Albani.
Wallóhu a’lam
Penulis: Acep A. Rijalulloh (Divisi Litbang LDTQN Suryalaya)