Tabaruk Ramadhan
Oleh: Asep Salahudin (Rektor IAILM Suryalaya)
Grafik kebaikan biasanya semakin meninggi ketika berada di bulan Ramadan. Ramadan membawa atmosfer keberkahan. Berkah sebagai surplus keutamaan dan defisit perbuatan negatif. Berkah sebagai pantulan “kebaikan” dan “keuntungan” yang datang dari sisi ilahiah. Bisa singgah tidak terduga.
Tengok saja. Masjid lebih gegap gempita; malam-malam terasa hidup dengan orang tarawih dan yang beritikaf apalagi menjelang sepuluh hari terakhir yang ditenggarai Sang Nabi sebagai malam turunnya Lailatul Qadar, malam yang kemuliaannya melampaui seribu bulan; yang biasanya jarang bertadarus di bulan Ramadan seakan umat Islam diingatkan kembali untuk mengakrabi kitab sucinya; orang juga mendadak dermawan minimal bersedia mengambil giliran menyediakan tajil di masjid-masjid untuk mereka yang berbuka puasa.
Membawa “keberkahan” bukan hanya secara ritual, namun juga ekonomi. Perhatikan lipatan keuntungan yang diraup para pedagang —termasuk pedagang non muslim— di pasar tradisional dan swalayan. Bukan hanya kebutuhan makanan yang meningkat baik kualitas ataupun kuantitasnya, namun juga kebutuhan pakaian untuk menyambut 1 Syawal yang disebut-sebut sebagai hari lebaran penuh kemenangan.
Bahkan seringkali yang terjadi adalah sebuah paradoks: swalayan dan pasar akhirnya lebih sesak dan jauh lebih diminati ketimbang tepekur sunyi seorang diri di “rumah Tuhan”. Menawar pakaian biasanya lebih “fasih” dan berlama-lama walaupun dalam kondisi lapar ketimbang melantunkan ayat-ayat Tuhan dan tafakur dalam dzikir. Dengan khusu’ orang pulang pergi ke pasar membeli berbagai hal yang sejatinya tidak terlampau dibutuhkan, tapi dilakukan semata-mata untuk “mengisi” Ramadan.
Tradisi
Jauh sebelum Ramadan, dalam berbagai tradisi, orang sudah mempersiapkan diri menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Tidak hanya menebar permohonan maaf dengan yang masih hidup namun rela bersusah payah pulang kampung terlebih dahulu berziarah kepada leluhurnya. Sebelumnya dilakukan kegiatan membersihkan pekuburan gotong royong di antara warga masyarakat.
Kuburan dibersihkan lagi-lagi dalam rangkan menyongsong Ramadan. “Kuburan” menjadi semacam situs kebanggaan atas leluhur. Batu nisan menjadi alamat yang menghubungkan persoalan hari ini dengan masa silam yang dianggap penuh keramat.
Ziarah dalam perspektif lama dilakukan sebagai ‘jembatan ruhani’ yang menyatukan diri dengan para dewa yang ada di kahyangan memohon keselamatan dan kedamaian kampung halamannya. Kemudian ketika Islam datang tradisi ini diberi muatan baru dan tetap dilakukan menjelang Ramadan dan atau saat satu Syawal dalam suasana lebaran.
Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa (2002) mencatat bahwa tradisi mudik adalah fenomena unik yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia untuk menyambut Ramadan dan hari raya Idul Fithri. Tradisi ini sebagai wujud perpaduan agama dan budaya lokal. Agama yang tidak “memibid’ahkan” budaya, dan budaya yang tidak “mencurigai” agama. Agama sebagai lambang “langit” dan budaya sebagai simbol bumi. Langit bermakna sebagai atap, dan bumi sebagai tempat berpijak. Langit maskulinitas bersatu dalam bumi feminimitas yang kemudian melahirkan keberkahan demi keberkahan.
Agama tanpa budaya bukan saja akan menghilangkan roh dari agama itu sendiri, namun juga masyarakat beragama akan kehilangan akar kulturalnya, tempat di mana identitas dan identifikasi diri dilakukan dengan seksama.
Suasana Ramadan
Di beberapa daerah pra Ramadan biasa diadakan juga “hajat” saling kirim “rantang” atau melakukan “keramas”. “Munggahan” seakan menjadi sebuah keharusan sebagai ucapan kultural “selamat datang” kepada bulan puasa.
Lewat tradisi semacam ini nampak sekali masyarakat kita menyambut puasa dengan santai, riang dan penuh kegembiraan. Beragama menjadi nampak sangat alamiah. Berpuasa kelihatan tidak sekadar memenuhi syariat Tuhan, namun juga sudah menjadi kebutuhan diri dan direstui alam dan budaya.
Hal yang sama juga sebenarnya dilakukan Nabi Muhammad Saw, yang sengaja mengumpulkan para sahabatnya di penghujung Sya’ban untuk menyampaikan khutbah yang berisi uraian keutamaan-keutamaan Ramadan.
Undangan Allah Swt
Di bulan ini, Allah swt melalui surat al-Baqarah/2: 128, mengundang langsung kaum beriman untuk menunaikan ibadah puasa yang semata ditambatkan atas nama-Nya agar Dia mengklaim, “Puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya” seraya Tuhan memanggil para malaikat dan berseru, “Wahai para malaikat-Ku, kau melihat seorang hamba-Ku, dia telah mengekang nafsunya, menghentikan kesenangan-kesenangannya dan tidak makan ataupun minum, dia telah melakukan semua itu untukku” sekaligus mendudukkan manusia yang berpuasa setara dengan martabat para malaikat, “Sesungguhnya Allah akan menjadikan para malaikat berkedudukan sama dengan pemuda yang taat beribadah dengan mengatakan, “Wahai pemuda-pemnuda yang telah mengendalikan nafsu demi Aku dan telah menyerahkan masa gemilangnya bagi-Ku, engkau berada dalam pandangan-Ku seperti salah seorang di antara para malaikat-Ku”.
Di bulan Ramadan, Allah menyediakan satu malam yang kemuliaannya melampaui seribu bulan. Lailatul Qadar. “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan ijin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. al-Qadr/97: 3-5). Dalam sebuah hadis yang diceritakan oleh Anas, diriwayatkan bahwa Nabi telah bersabda, “Malam Lailatul Qadar dianugrahkan kepada umat ini dan bukan kepada umat-umat sebelumnya.” Dalam Hadis lain, Nabi menceritakan kepada para sahabat tentang orang yang paling saleh dari bangsa Israel yang menghabiskan 1000 bulan dalam beribadah. Saat mendengar ini, para sahabat iri karena mereka tidak mungkin mendapat pahala yang sama dikalkulasikan dengan rata-rata umur mereka yang tersedia, maka Tuhan menganugerahkan Lailatul Qadar.
Mengambil setting Ramadan, Allah menurunkan kitab suci al-Quran pertama kali. Lewat kitab suci inilah dunia terbebaskan dari cengkraman kebudayaan dungu dan primitif (jahiliah). Sebab al-Quran, peradaban dangkal, menghinakan akal sehat, a humanis, tercongkel dan serentak tergantikan peradaban Islam yang bertopang pada semangat yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan yang dijangkarkan pada habitat fathri: tauhid. Lantaran al-Quran diturunkan (nuzul al-Quran) kebenaran dan kesesatan, hak dan batil terpisahkan dengan jelas demi tegaknya bumi yang damai, santun dan beradab, “Bulan Ramadan, diturunkan didalamnya al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan terhadap petunjuk tersebut, dan pembeda…” (QS. 2, al-Baqarah; 183). Sebuah kitab yang terbebas dari intervensi manusia (QS. 75, al-Qiyamah: 16-17; 20, Thaha: 114) sekaligus otentisitasnya terjaga (QS. 15, Al-Hijr: 9; 87, al-A’laá: 6), dan dijaminkan sang nabi bagi siapa saja yang memegangnya dengan kokoh, “Tidakan akan tersesat dan mengalami jalan buntu”.
Ramadan juga menjadi momen-momen berharga bagi setiap kita bukan hanya untuk mensucikan jiwa melalui puasa, namun juga membersihkan harta lewat zakat fithrah, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (QS. 6, al-An’am: 141). Nabi saw mengutus Muadz ke Yaman kemudian beliau bersabda, “…Jika mereka menuruti perintahmu untuk itu —ketetapan atas mereka untuk mengeluarkan zakat— beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah Swt mewajibakan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan lagi kepada orang-orang fakir di antara mereka.” Dalam riwayat lain Nabi dengan sengit mengecam mereka yang enggan menunaikan zakat, “Barangsiapa dikarunia harta oleh Allah swt, kemudian tidak menunaikan zakatnya, dia diumpamakan sebagai seorang pemberani yang gundul. Dia memiliki dua buah anggur kering yang memberatinya pada hari kiamat. Dia akan mengambilnya dengan kedua tulang rahangnya. Kemudian anggur kering itu berkata, ‘Aku adalah hartamu, aku adalah simpananmu.” Lebih mengerikan lagi metafora sebagai sansi eskatologis yang dibuat Tuhan, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendaptkan) siksaan yang pedih di neraka jahanam. Dengannya dahi mereka di bakar. Kemudian kepada mereka dikatakan, ‘Inilah harta bendamu yang kalian simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan” (QS. 9, al-Taubah: 34-35).
Zakat merupakan simbol memupuk kepekaan sosial. Dalam Islam, ritual dan sosial adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya seperti dua sisi dari satu keping mata uang. Uang akan bernilai hanya apabila dua sisinya lengkap.
Pesan Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Di abad pertengahan pendiri tarekat Qadiriyah yang sering disebut-sebut soko guru kaum tarekat Syekh Abdul Qadir al-Jailani mentahbiskan Ramadan sebagai bulan iman (syahrul iman), bulan cahaya (syahrul anwár), bulan ampunan (syahrul magfirah wal gufrán), bulan darajat dan keselamatan (syahrud-daraját wan-naját), bulan taubat dan pengabdian (syarut-táibínal-‘ábidín), bulan kearifan (syahrul árifín), dan bulan ijtihad (syahrul mujtahidín).
Di kemudian hari oleh para pengikut tarekat Qadiriyah, ungkapan Syekh Abdul Qadir al-Jailani dijadikan “rajah” sebagai ekspresi ngalap berkah atas keagungan Ramadan.
Dengan limpahan keberkahan, dalam bahasa Kierkegaard (1813-1855) diharapkan puasa menjadi sebuah proses ziarah diri dari aesthetic stage menuju religious stage.