Puasa untuk kepasrahan
Hakikat puasa adalah menahan diri dari yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, dan bersenggama, pada siang hari di bulan Ramadan. Intinya, puasa adalah untuk mengosongkan perut. Dengan perut yang kosong, nalar analisis pikiran menjadi lemah, dan kita pun menjadi lebih dekat pada kepasrahan (islam atau istislam); dan hanya dengan kepasrahan, nantinya akan terbit keyakinan dan kebijaksanaan makrifat.
Dzikir dan Puasa
Dzikir dan puasa sama-sama untuk mendekatkan hati kita kepada Alloh. Ketika seorang berdzikir sampai dalam kondisi trance (diselimuti keadaan hati bawah sadar), ini sama dengan keadaan lemah seorang puasa dengan tanpa analisis intelektual. Bila analisis pikiran (logika) dibiarkan berkembang, hati akan semakin jauh dari Alloh.
Dalam pengalaman dzikir jahar, misalnya, ketika seorang perdzikir membawa memori buruk masa lalu (muhaddatsat) ke dalam pengalaman dzikir, maka dia akan mengalami psikosomatik; mungkin pundak yang pegal, kepala yang pusing, dan sebagainya. Perasaan psikosomatik itu hanya dilahirkan oleh analisis-analisis pikiran (bawah sadar). Selama analisis pikiran masih berkerja, maka seeorang akan semakin merasakan badan yang lelah dan bertambah lelah. Terlebih apabila fenomena dzikir yang muncul adalah fenomena traumatis, maka kepala bisa pusing dan gelap.
Seorang pedzikir cenderung tidak mampu melepaskan watak analisis dalam berdzikir, karena analisis telah menjadi watak bawah sadar. Bila demikian, dzikir harus dilakukan dengan sebanyak-banyaknya. Untuk apa sebanyak-banyaknya? Agar badan menjadi lemah, sama dengan seperti amalan puasa tadi. Ketika badan semakin lemah, makhluk analisis itu pun akan semakin lemah. Bersama dengan lemahnya pikiran sadar, maka seorang pedzikir pun masuk ke alam hati bawah sadar (kondisi trance). Setelahnya muncullah rasa kepasrahan, sadaya-daya, ketidak-berdayaan, dan sebagainya. Selama analisis masih berjaya, manusia masih menjadi tuhan bagi dirinya sendiri.
Menangis dan Katarsis
Bersama dengan badan yang semakin lemah, nalar analisis pun semakin melemah, maka berikutnya seorang pedzikir akan masuk ke dunia tanpa analisis. Hanya dengan melemahnya analisis, maka sekali lagi, akan terbit rasa kepasrahan dan ketidakberdayaan di dalam hati. Bila keadaan trance ini semakin dominan, hati akan semakin peka, dan lama kelamaan dia akan menangis seperti anak kecil, dan mengalami katarsis (pelepasan memori negatif, sampah batin, dan sebagainya).
Menangis dan katarsis itu tidak hadir karena sentuhan-sentuhan analisis yang disengaja, namun ia hadir karena rasa kepasrahan yang mendalam kepada-Nya, sehingga ia pun seakan digerakkan untuk mengalami katarsis. Menangis dan katarsis adalah hal yang pasti dialami oleh pedzikir, apabila ia memang masih menyimpan sampah-sampah sakit hati yang besar, dendam, trauma, dan sebagainya.
Dalam lapar berpuasa, kita pun mengalami kelemahan yang sama ketika kita berdzikir. Bila berdzikir harus dilakukan dengan lama, sedangkan dalam puasa dengan mengosongkan perut. Keduanya sama-sama ditujukan untuk melemahkan analisis pikiran dan membangkitkan kepasrahan dan ketidak-berdayaan.
Menarik dalam terapi melalui hipnosis. Seorang klien hanya bisa diterapi bila ia pasrah kepada sang terapis, dengan cara tidak melakukan analisis pikiran. Dengan analisis, klien tidak akan masuk ke keadaan trance, dan tentu saja terapi tidak akan bisa dilakukan. Ini semakin mempertegas, bahwa kepasrahan itu adalah omong kosong bila kita masih menggunakan nalar analisis. Keadaan hati trance dalam dzikir dan ibadah hanya bisa diperoleh apabila kita tidak menggunakan analisis pikiran.
Pentingnya Kepasrahan
Kepasrahan itu akan diperoleh bersamaan dengan lemahnya fisik dan kesadaran. Apa pentingnya kepasrahan? Kepasrahan itu sangat penting untuk membuang sampah-sampah batin yang masih tersimpan di dalam hati bawah sadar kita. kepasrahan juga penting agar kita mampu menyadari detik per detik perubahan kehidupan duna fana ini.
Dengan analisis, pada hakikatnya seseorang itu menjadi lambat dan cenderung jalan di tempat. Dengan analisis, kehidupan ini tidak benar-benar dinamis, sebagaimana yang disangkakan banyak orang. Sebagai contoh, ketika kita sholat Maghrib berjamaah di masjid, dan kita terjebak untuk menganalisis doa iftitah, misalnya. Kehidupan sholat terus berjalan, dan kita masih terjebak dengan objek analisis. Ternyata Imam telah di al-Fatihah, dan para jamaah membaca Amin. Jadi, dengan analisis, banyak hal yang terlewatkan untuk disadari.
Analisis sesungguhnya sangat bertentangan dengan kepasrahan. Di mana ada analisis, tidak akan ada pasrah. Di mana ada pasrah, pasti analisis tak ada. Bagaimana menjawab kebingungan ini? Pada satu sisi kita harus tetap aktif di kampus dan menulis buku, namun di sisi lain kita harus juga pasrah. Jawabannya adalah hati yang hudhur, hati yang mampu menyadari kekinian yang terkini.
Bila kita sedang sibuk tesis, tidak jarang kita pun diperbudak olehnya. Lagi dzikir, lagi makan, di meja pingpong, dan di manapun, hati selalu melekat pada tesis. Sehingga tidak jarang bermunculan ide-ide “cemerlang” tidak pada tempatnya, bahkan kala berdzikir. Gara-gara tesis, seseorang lalai dengan kekiniannya, yang mungkin bersama isteri dan anaknya. Dia pun menjadi susah tidur, karena hanya badannya yang di bantal dan di kasur, kesadarannya tidak di kini dan di sini, tetapi gentayangan ke tesisnya itu. Cara hidup seperti ini adalah cara hidup dengan hati yang ghoflah, hati yang tidak hudhur.
Kepasarahan itu, sekali lagi, sangat dekat kepada kesadaran (hudhur al-qolb). Bila kita seorang intelek, kita punya kemampuan cukup besar untuk hudhur, untuk menyadari kekinian kita. Ketika kita sedang kuliah di kelas, kita menjadi pendengar yang baik, kita memberikan komentar yang baik, dan kita mengikuti detik per detik kuliah yang diselenggarakan. Kesadaran hati itu sangat dekat dengan kekinian yang terkini. Karena itu, kuliah dengan hudhur-nya, tidak akan membuat kepala menjadi pusing.
Penutup
Kesadaran dan kepasrahan bagai dua sisi mata uang. Dengan kesadaran kita menjalani kehidupan bumi, dan dengan kepasrahan kita menjalani kehidupan hati. Ketika jasad kita sudah di rumah, bersama isteri dan anak, ruh kita sudah di rumah juga, bersama isteri dan anak. Dengan hati yang hudhur, kehidupan kita pun akan semakin harmonis dan bahagia. Semoga.***
Oleh: Teten Jalaludin Hayat