LAILATUR QADAR & NUZULUL QUR’AN
Lailatur Qadar dan Tantangan Alqur’an
Al-Qur’an memang menantang manusia agar selalu tadabbur dan tafakkur terhadap ayat-ayat-Nya (QS. 3, Áli Imrán: 190-191). Al-Qur’an bukanlah kitab biasa. Al-Qur’an meminta agar dibaca secara qur’ani.
Al-qur’an adalah “Cahaya”-Nya. Sebagaimana cahaya matahari tidak pernah tidak bersinar, yang oleh karenanya dari sisi Matahari tidak kenal perbedaan waktu malam dan siang, namun karena cahaya Matahari itu makhluk, maka ketika terhalang oleh tubuh bumi, jadilah cahaya itu tidak nampak secara visual (pandangan mata) di belahan bumi yang malam. Nuzulul Qur’an itu bukannya pada malam itu Allah memancarkan Cahaya-Nya melebihi malam-malam yang lainnya, sebab hal ini akan menafikan sifat-sifat Allah yang tidak bermula dan tiada berakhir. Sejatinya Cahaya-Nya itu tetap memancar tanpa terhalang oleh sesuatu pun. Seperti tenaga (energi) elektrisitas (listrik) yang berubah menjadi cahaya terang ketika energi itu mengalir melalui kabel dan memasuki bola lampu berkaca yang menggunakan kawat dengan kadar kelembutan tertentu. Dari kawat yang lembut itulah cahaya keluar sebagaimana yang kita lihat dalam lampu-lampu pijar, neon dan sebagainya. Cahaya ini takkan pernah mati kecuali karena tiga hal; kawat lembutnya putus, kacanya pecah dan terputus alirannya yang nyambung pada pusat energinya.
Dengan keilmuan-Nya yang kadim dan atas kehendak-Nya yang kadim pula, Allah menurunkan Cahaya-Nya sejak zaman yang dikehendaki-Nya itu (azally). Sejak saat itu, Cahaya-Nya itu tidak pernah berkurang maupun bertambah, hanya saja cahaya itu bisa ditemukan dan dinikmati penerangannya oleh hati yang mencapai kadar kelembutannya, yang secara teknis sufistik disebut lathifah. Bagi orang-orang yang belum menemukan lathifah-nya, Cahaya Allah itu seakan-akan tidak ada bahkan nyaris tidak tahu akan keberadaan Cahaya itu. Sebagaimana Matahari terhalang oleh tubuh bumi lainnya (benda) sehingga tidak tampak Matahari itu bagi belahan bumi yang malam, maka Cahaya Allah itu tidak tampak bagi jiwa kelam, terhalangi oleh makhluk yang disebut materi keduniaan.
Malam seribu bulan yang berpendar cahaya ilahiyyah, sungguh takkan pernah ditemukan kecuali oleh jiwa yang sudah sampai pada kelembutannya (lathifah). Bahkan bagi jiwa ini, setiap malam adalah lailatul qadar. Berbahagialah orang-orang yang selalu berusaha melembutkan jiwanya, qod aflaha man zakkáhá (QS. 91, As-Syams: 9). Kelembutan adalah efek kebersihan dan kesucian jiwa. Jiwa hanyalah bisa disucikan dengan dzikrullah. Maka orang yang berbahagia itu adalah orang yang senantiasa berdzikir, dan orang inilah yang memiliki potensi kuat untuk mendapatkan keberkahan Malam Seribu Bulan. Tengoklah para Rijalulloh, liriklah para wali Allah, betapa dahsyat cahaya yang memancar dari wajahnya sebagai perwujudan (tajalli) dari cahaya lailatul qadar. Jiwa inilah jiwa yang selalu menjaga kelembutan jiwanya, menutupinya dari polusi luar (materi), dan selalu menjaga aliran cahaya nubuwwahnya melalui hubungannya dengan para Syekhnya yang tersambung kepada Nabi.
Prasyarat Bagi para Sálik (Perindu Malam Seribu Bulan)
Sebelum Nabi Muhammad Saw. diangkat menjadi utusan Allah Swt, beliau senantiasa bersedih diri memikirkan kondisi kehidupan masyarakatnya yang begitu rusak akidah dan moralnya. Mereka menjadi penyembah berhala serta menuhankan benda, mengubur bayi perempuan hidup-hidup, merampok, berjudi, dan tindak kejahatan merajalela. Prihatin terhadap kondisi masyarakatnya itu, beliau senantiasa berkhalwat di Gua Hira guna mensucikan diri dan mencari petunjuk tentang Tuhan Pencipta Alam agar beliau mampu mengenali (ma’rifat) kepada-Nya.
Sejarah itu memberikan tafsir bahwa untuk mencapai ma’rifat kepada Allah Swt. diperlukan kebersihan jiwa. Allah Dzat Yang Suci tidak bisa didekati kecuali oleh yang suci. Untuk mencapai kebersihan jiwa harus memiliki tekad kuat untuk kemaslahatan diri, keluarga dan umat, diperlukan perjuangan yang terus menerus (istiqomah mudáwamah) dan pengorbanan untuk melupakan hal-hal lain selain-Nya, bahkan meninggalkan keluarga dalam beberapa waktu untuk menyepi sendiri. “Tidak akan mengenal (ma’rifat) pada Yang Satu kecuali yang menyendiri (lá ya’riful wáhida illal wáhid)” demikian jelas Syekh Abdurrahman al-Akhdhari dalam kitabnya, Jauharul Maknún.
Kebersihan jiwa tidak hanya dilakukan dengan bersuci saja, tetapi jiwa harus bersih dari kemusyrikan dan kemunafikan serta diliputi dengan suasana kedamaian dan cinta kepada Allah Swt. sehingga batin menjadi jernih bagaikan embun pagi yang siap menerima Cahaya Ilahi.
Dalam kholwatnya di Gua Hira tersebut, dengan jumlah akumulasinya 40 hari, beliau menyendiri dalam keramaian hati yang berusaha mendekati Tuhan semesta Alam. Dengan berbekal tekad kuat, beliau memantapkan diri dalam kesendirian yang panjang, meski aral merintang menghadang. Segala pancaindera lahir dinon-aktifkannya, dan mengaktifkan hati sebagai pancaindra batin. Sehingga menjadi teori bahwa untuk mengenal Tuhan Allah Swt. mestilah menon-aktifkan dzahir kita. Allah itu dzahir dan batin. Allah akan tetap batin (tersembunyi) manakala hamba-Nya selalu dzahir (mengaktifkan lahir saja). Dan Allah akan dzahir (jelas dalam pandangan hamba) manakala ia membatinkan dirinya dalam kesendirian yang ramai (khalwat).
Dalam kondisi seperti inilah jiwa dan raga beliau benar-benar mencapai titik kulminasi kesiapan tertinggi untuk menerima wahyu dari Allah Swt.
Hadits Riwayat Aisyah Ummul Mukminin r.a beliau berkata, ” ……… Rasulullah berholwat di Gua Hira’ dan disitu beliau beribadah beberapa malam, hingga akhirnya datang kebenaran dan Malaikat menyampaikan wahyu Allah Swt., ‘Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq. Khalaqal insana min ‘alaq. Iqra warabbukal akram. Alladzi ‘allama bilqalam. ‘Allamal insana maalam ya’lam.’ Kemudian Rasulullah dengan gemetar dan perasaan cemas kembali ke rumah Khadijah dan berkata; “Sungguh aku sangat cemas.” Khadijah menjawab (dengan menenangkan); “Sekali-kali tidak. Demi Allah, Allah tidak akan menakutkanmu selamanya, karena sesungguhnya kamu senang bersilaturahmi, membantu orang yang sengsara, mengusahakan sesuatu yang belum ada dan membantu orang yang dalam kesusahan dan menegakkan kebenaran “.
Untuk mencari tahu atas kejadian tersebut, beliau bersama Khadijah bertanya kepada Waraqah bin Naufal seorang ahli kitab Agama Nasrani. Waraqah menjelaskan bahwa yang datang kepada beliau adalah Namus (Jibril a.s) yang dahulu juga telah menyampaikan wahyu kepada Nabi Musa a.s. Dengan jawaban tersebut tentunya Rasulullah Saw. merasa gembira dan bahagia karena petunjuk yang diharapkan dari Allah Swt. Sudah mulai datang walaupun tantangan di masa depan senantiasa menghadang. Dengan upaya membersihkan diri secara tekun dan sabar akhirnya Allah Swt. Berkenan memilih Muhammad untuk menerima wahyu menjadi Rasul-Nya. Allah berfirman dalam Surat Thaha ayat 13:“Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu “.
Tafsir sejarah ini menunjukkan beberapa hal yang diperlukan dalam ikhtiyar pensucian jiwa; 1) Perjuangan batin melawan segala rasa seperti ketakutan sehingga ia tidak lari dari kenyataan yang tengah dihadapi, 2) Pembimbing yang mengerti keilmuannya, 3) Melepaskan segala hasrat keinginan dan menyerahkannya kepada Allah, biarlah Allah yang memilihnya.
Kesungguhan Nabi dalam mensucikan diri ini menunjukkan kepada kita semua betapa pentingnya upaya membersihkan diri dengan sepenuh jiwa untuk dapat mengenal Allah Swt. Ibadah yang dilakukan dengan sekedar memenuhi syarat dan rukun saja tanpa upaya pembersihan diri tentu kurang memberikan bekas mendalam dalam jiwa sehingga tidak dapat membangun keutamaan sikap mental dan perilaku seorang hamba. Ibadah dan shalat baru dapat berakibat mencegah perbuatan keji dan kemungkaran apabila dilaksanakan dengan jismani dan ruhani yang bersih dan bersungguh-sungguh demi mencari ridha Illahi. Artinya lahir dan batin kita sama-sama mengamalkan ajaran Islam. Lahir kita adalah Raga (jismani) kita, batinnya adalah ruh dan rasa (sirri). Jismani, ruhani dan sirri mestilah bersinergi dalam melaksanakan setiap ajaran Islam. Maka inilah yang disebut dengan Islam Káffah sebagaimana yang dimaksud oleh ayat ke-208 Surat al-Baqarah. Sebab ahli tafsir bersepakat bahwa yang dimaksud dengan Káffah adalah mengerjakan syari’at Islam dan melaksanakan seluruh cabang-cabang Iman yang 70 yang teknis pelaksanaannya dilakukan oleh raga, ruh dan rasa (3-R).
Nuzulul Qur’an
Prestasi Nabi Saw. dalam upaya pensucian jiwanya yang berkesinambungan dengan berbagai perjuangan dan pengorbanan lahir batinnya, ditandai dengan turunnya wahyu yang kemudian disebut Alquran. Sebagai sesuatu yang suci dan turun dari Yang Mahasuci, Alquran memerlukan tempat mendarat yang suci pula. Sedemikian sucinya, sehingga hari atau malam dimana ia diturunkan menjadi suci pula.
Malam diturunkannya Alquran disebut lailatul qadar. Petunjuk Nabi (Shahih Bukhari, Bab Adzan) menunjukkan bahwa posisi lailatur qadar berada pada malam-malam ganjil (witr) di sepuluh akhir bulan Ramadan, tetapi peringatan Nuzulul Quran berada pada malam 17 Ramadan. Kiranya ini perlu menjadi sorotan.
Sebagai sesuatu yang suci yang keluar dari yang Kadim (khalik) kepada yang Hadits (baru/ makhluk), Allah membuat beberapa proses penurunan Alquran agar kelahirannya tidak menafikan kesucian-Nya yang Kadim sekaligus tidak mengangkat posisi Alquran sebagai makhluk menjadi Kadim. Dari itu, muncullah dari istilah tanzíl, inzál dan nuzúl.
Tanzíl
“Sesungguhnya Alquran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan, diturunkan (tanzíl) dari Rabbil ´alamiin” (QS. 56, Al-Wâqi’ah: 77-80)
Berdasarkan ayat tersebut, makna Tanzil adalah proses turunnya Alquran dari Allah ke Lauh Mahfuz. Proses turunnya ini tidak terikat ruang dan waktu sebab Kalamullah tiada bermula dan berakhir dan tanpa hurup. Adapun terjadinya hurup-hurup itu adalah produk al-qalam di Lauh Mahfudz. Allah membuka hijab dan memancarkan cahaya-Nya pada al-qalam yang kemudian menuliskannya pada Lauh Mahfudz dalam bahasa dan tulisan yang dikehendaki-Nya. “Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Alquran yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.” (QS. 85, Al-Buruj: 21-22)
Inzál
“Demi Kitab (Al Quran) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi…” (QS. 44, Ad-Dukhon: 2-3). “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan” (QS. 97, Al-Qodr: 1)
Dari dua ayat tersebut istilah inzál diambil. Inzal digunakan dalam al-Quran untuk menunjukkan bahwa Alquran duturunkan sekaligus dari Lauh Mahfudzke Baitul Izzah pada malamlailatul qadr.
Baitul Izzah terdapat di langit dunia sebagai langit yang paling rendah. Di sana tempat beredarnya bintang-bintang. Al-Baihaqi dan al-Hakim meriwayatkan dari Sa’id ibn Jubair dari Ibn Abbas, bahwa “Alquran diturunkan satu kali secara keseluruhan ke langit dunia, di tempat beredarnya bintang-bintang. Allah juga menurunkannya kepada Rasul-Nya Saw. sebagian demi sebagian.” Proses Inzal inilah yang sering diperingati dengan melaksanakan shalat lailatur qadar, yaitu pada malam-malam ganjil (witr) di 10 terakhir bulan Ramadan.
Nuzúl
Alquran yang di Baitul Izzah kemudian dibawa turun oleh Malak Jibril a.s. kepada kepada Nabi Saw. secara berangsur-angsur lebih kurang selama 23 tahun.
“Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun (nazala bihi) oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”. (QS. 26, As-Syu’ará:192-195)
Proses penurunan (nuzul bih) oleh Malak Jibril ini dimulai pada tanggal 17 Ramadan pada saat Nabi Saw. bertahannus di Gua Hira. Dan inilah yang senantiasa diperingati umat Islam pada malam 17 Ramadan. Peringatan nuzulul Quranberarti prosesi untuk mengingat kembali pemberitaan atau penyampaian ajaran Alquran yang terkandung di dalamnya. Dan yang terpentingnya adalah suatu proses bagaimana Nabi bisa sampai pada tahapan kesuciannya sehingga dipilihnya untuk mendapatkan tugas suci dan mulia tersebut.
Penulis: Acep A Rijalulloh, M.Ag. (Litbang LDTQN Suryalaya)