Puasa Ramadhan untuk menurunkan aktivitas “kecanduan”?
Apa yang membuat orang tidak kecanduan, sementara lainnya kecanduan?
Jawaban yang sederhana sekali adalah: Mereka yang tidak mudah kecanduan itu mendapatkan pasokan dopamine dari berbagai aktivitas lain yang lebih normal atau lebih sehat. Mereka tidak mengandalkan satu aktivitas saja (misalnya bermain video game, atau beraktivitas di medsos saja), tetapi mengandalkan banyak atau berbagai macam aktivitas lain.
Khusus mengenai aktivitas di medsos ada catatan penting, yaitu sudah banyak riset atau survei yang menunjukkan bahwa aktivitas di medsos memiliki dampak serius, yaitu ikut memberikan sumbangan misinformation kepada penggunanya. Informasi bohong (hoax) beredar 6 kali lebih cepat daripada informasi yang bisa dikonfirmasi. Kekerasan atau pemikiran radikal atau pemikiran negatif lebih mendominasi isi medsos. Itu diketahui oleh penyedia platform medsos. Kita bisa membaca bahasannya di berbagai media internasional, bahkan soal itu sudah masuk di beberapa sidang pengadilan, misalnya di Amerika. Fakta yang sudah banyak diungkap adalah berbagai platform medsos malah sengaja membiarkan semua itu terjadi untuk menangguk keuntungan finansial yang lebih banyak.
Pengguna medsos banyak yang terpapar oleh teori konspirasi, namun mereka mengira berada di jalan yang benar. Itu terjadi bahkan di negara maju seperti Amerika dan negeri-negeri Eropa. Itu terlihat sekali saat pandemi sedang merebak di dunia beberapa waktu lalu. COVID-19 disebut oleh teori konspirasi diciptakan oleh negara-negara tertentu atau miliarder dunia. Teori konspirasi itu merebak hingga menghasilkan demonstrasi disertai kekerasan atau huru-hara di banyak tempat di dunia. Padahal teknologi untuk melakukan Genome Sequencing sudah menjadi sesuatu yang murah dan mudah, sehingga semua orang seharusnya tahu, bahwa virus yang diciptakan di laboratorium bisa terlihat jejaknya melalui DNA virus itu.
Di Indonesia dampak buruk dari media sosial adalah merebaknya politisasi agama. Itu terlihat sudah lama sekali, terutama sejak pilkada Jakarta 2017 lalu. Agama dijadikan topeng untuk menutupi tujuan politik sempit di pilkada, pilpres atau pemilu di Indonesia, karena itu cara mudah dan murah untuk menang. Julukan atau 2 kata yang paling sering digunakan untuk menunjukkan adanya politisasi agama di Indonesia adalah “penista agama”. Julukan ini sangat ampuh untuk menjatuhkan lawan politik. Julukan itu beredar atau digunakan secara masif di medsos.
Kegandrungan atau kecanduan beraktivitas di medsos menghasilkan dampak itu, yaitu pengguna medsos tercemari negativity. Padahal pengguna medsos itu tidak bisa menurunkan aktivitasnya di medsos, karena sudah kecanduan.
Mestinya jika Anda kembali pada ajaran agama yang berkaitan dengan puasa Ramadhan, maka setiap orang yang berpuasa Ramadhan harus mengurangi atau menghentikan aktivitasnya di medsos, karena sangat rawan atau cenderung melakukan perbuatan yang tidak dianjurkan oleh agama. Ganti aktivitas Anda di medsos dengan banyak kegiatan lain yang sangat dianjurkan oleh agama. Tentu Anda sudah tahu itu apa saja.
Namun sains menganjurkan ini:
Ada banyak variasi aktivitas yang membuat otak Anda bisa mendapatkan dopamine dalam tingkat yang normal. Mulai dari berolahraga, membangun tali silaturahim dengan orang lain (relationships) di berbagai layers, bersyukur (menurut definisi sains), meditasi (berdoa atau beribadah), berbuat kebajikan, dan lain-lain.
Jika dopamine dari berbagai macam kegiatan itu tercukupi, maka Anda tidak lagi memerlukan dopamine dalam tingkat yang besar dari narkoba, atau dari aktivitas seksual yang berlebihan, atau dari bermain video game yang berlebihan, berjudi, makanan & minuman, demikian juga dari aktivitas di medsos yang gila-gilaan.
Puasa Ramadhan mendorong kita untuk melakukan berbagai aktivitas yang bisa memicu keluarnya dopamine secara normal atau sehat, seperti meditasi (berdoa atau beribadah), bersyukur, melakukan kebajikan, membangun tali silaturahim, dan lain-lain.
Semua kegiatan ini memberi dopamine dalam tingkat yang normal saja. Pada saat tidak melakukan kegiatan itu, maka kondisi otak tidak akan mengalami defisit dopamine yang sangat rendah. Sementara itu narkoba atau kegiatan lain yang ekstrim bisa menghasilkan dampak kekurangan dopamine yang ekstrim setelah naiknya tingkat dopamine secara ekstrim ( bisa 10 kali lipat lebih).
Kekurangan dopamine yang ekstrim menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan, yaitu memicu keluarnya hormon stres (cortisol), sehingga amygdala menjadi lebih aktif daripada kondisi normal. Jika itu terjadi dalam waktu yang lama atau terus-menerus, maka akibatnya muncul depresi yang berat. Kondisi ini juga menumbuhkan keinginan untuk mengkonsumsi narkoba atau kegiatan yang membuat kecanduan itu.
Jadi siapa bilang ajaran agama tidak memiliki penjelasan ilmiahnya? Puasa adalah tradisi yang sudah setua usia peradaban manusia. Sekarang, setelah neuroscience berkembang 3 dekade terakhir, kita bisa memahami mengapa kita membutuhkan puasa.
Dari sisi tujuannya adalah “La”allakum tattaquun”, membentuk pribadi pribadi bertaqwa, tentu tidak cukup dimaknai sekedar dalam pengertian secara syar”i, yakni mengendalikan diri dari makan, minum dan hal.hal lain yang membatalkan puasa.
Lebih dari itu, puasa adalah medium edukatif ilahiyah untuk memperkokoh bangunan mental pengendalian diri terhadap kecenderungan watak dan tabiat manusiawi yang gemar bermegah megahan dan menggagah gagahkan diri (Q.S. Attakastur) dalam konteks politik dapat dimaknai sebagai bentuk candu kekuasaan yang rakus.
Kekuasaan memang berwatak rakus dan koruptif. Makin berkuasa makin potensial rakus dan korupsinya. Lord Action, sejarawan moralis inggris (1834 – 1902) dalam studi sejarah empirisme politik menyimpulkan bahwa “Power tends to curropts, absolute power curropts absolutely”, kekuasaan cenderung koruptif, makin absolut kekuasaannya makin.menggila modus koruptifnya dan menyandranya untuk berlama lama berkuasa hinga liang lahat menjemputnya sebagaimana diingatkan Al Qur’an surat Attakastur diatas.
Puasa Sekunder dan Primer
Ditilik dari sudut semantik, lafaz ‘shiyam’ yang dipakai Alqur’an untuk ‘puasa’ asalnya mengandung arti bertahan atau menahan diri, dari kata kerja reflexif ‘ shama–yashumu’. Namun, dalam terminologi syariat, puasa dimaksud ialah menahan diri dari makan-minum dan kegiatan seksual dan hal-hal yang menggugurkan pahala puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, dengan syarat dan rukun tentunya.
Khusus di bulan suci Ramadhan, puasa merupakan kemestian perorangan (fardhu ‘ayn) setiap individu yang berakal dan tumbuh dewasa. Di luar bulan suci Ramadhan, kaum Muslim juga dibolehkan dan dianjurkan berpuasa secara suka rela berdasarkan petunjuk Rasulullah, di samping puasa denda dan kompensasi (qadha) sesuai dengan aturan yang berlaku.
Puasa adalah ritual klasik yang terdapat pada semua agama. Inilah yang disitir dalam Alquran (QS 2:183) ‘kama kutiba ‘ala l-ladzina min qablikum’. Bagaimana persisnya cara mereka berpuasa hanya dapat diduga-duga, mungkin begini dan mungkin begitu, namun sukar untuk dipastikan seperti apa praktiknya. Yang jelas, syariat Muhammad saw telah menganulir sekaligus mengintrodusir bentuk final tata tertib puasa bagi kaum beriman, sebagaimana Anda. Artinya, cara berpuasa yang tidak sejalan atau berbeda dengan regulasi yang ditetapkan dalam syariat Islam dipastikan nihil.
AdapunPuasa primer puasa adalah untuk mengangkat manusia ke puncak kehidupan rohani yang paling tinggi dan mulia, yaitu menjadi orang-orang yang bertakwa. Namun bukan berarti puasa tidak memiliki tujuan sekunder, atau manfaat dalam jangka pendek, yaitu dalam kehidupan di dunia ini.
Dalam setiap perintah yang tertuang dalam ajaran-ajaran Islam, tak terkecuali puasa, setidaknya memiliki dua landasan.
Pertama, karena adanya perintah dan setiap perintah pada umumnya wajib, minimal sunnah, atau ada larangan yang di dalamnya terkandung haram atau makruh. Poin pertama ini yang ditekankan adalah ketaatan. Jadi seorang muslim dapat diukur ketaatannya pada agama dengan melihat sejauh mana kesabaran dan keihklasannya dalam melaksanakan seluruh perintah Allah, termasuk yang sunnah serta menjauhi larangannya, tak terkecuali yang makruh. Para ulama mengistilahkan sebagai ‘ta’abbudy’, yaitu ketetapan dari Allah yang kita hanya wajib mematuhinya, tanpa menganalisa segala bentuk perintah dan larangan. Sebagai contoh: perintah untuk melakukan ibadah puasa selama sebulan penuh tidak boleh dipertanyakan, mengapa harus sebulan dan kenapa bukan seminggu saja, atau mengapa mesti pada bulan Ramadan, kenapa bukan bulan Syawal?
Kedua, karena adanya alasan dibalik larangan setiap perintah yang disebut ‘illat’. Artinya, umat Islam yang melakukan sebuah ibadah karena ada alasan-alasan rasional yang bisa ditangkap akal fikiran. Diwajibkannya salat misalnya, karena salat dapat mencegah pelakunya dalam berbuat maksiat. Seorang pelaku maksiat belum dikatakan salat dengan sempurna jika maksiatnya terus berjalan, korupsi adalah bagian dari maksiat yang sangat merugikan, baik diri sendiri maupun orang lain. Begitu pula dalam bentuk larangan, diharamkannya Narkoba, karena ia dapat merusak jiwa, raga, dan harta benda, sedangkan menjaga jiwa, raga, dan harta benda adalah bagian dari tujuan hukum itu diturunkan (maqashid asy-syari’ah).
adalah salah satu bentuk perintah yang mengundang para ulama dan ilmuan untuk meneliti dan mengkaji ragam manfaat yang ditimbulkan. Kajian dan penelitian tersebut dapat menambah keyakinan orang beriman bahwa puasa selain menjadikan seseorang bertakwa juga memiliki manfaat lain yang sungguh luar biasa.
Melihat manfaat yang didatangkan oleh ibadah puasa, maka semestinya tidak ada lagi keraguan untuk menjalankan ibadah yang pada dasarnya telah diwajibkan pada umat-umat terhadulu, dan juga telah dilaksanakan agama-agama lain dengan tujuan yang berlainan pula. Ini juga menandakan jika syariat puasa yang merupakan bagian dari syariat Islam sangat tidak bertentangan dengan fitrah manusia yang mencintai amanah, empati, sederhana, tidak rakus, lemah lumbut penyayang, dermawan, dan segenap sifat-sifat mahmudah (terpuji) yang ditimbulkan oleh ibadah puasa. Selamat berpuasa.
Oleh; Nyanyang D Rahmat, S. H. (Alumni Fakultas Syariah IAILM PP Suryalaya)