Cakrawala Tasawuf

Mudik kultural, mudik spiritual

Setiap menjelang satu Syawal pemandangan yang selalu terulang dan bersifat kolosal adalah mudik lebaran. Migrasi (perpindahan) besar-besaran untuk sementara dari kota ke kampung halaman. Kemacetan tentu saja menjadi rutinitas yang tidak terelakkan.

Boleh jadi mudik ini hanya ada di Negara kita. Dalam waktu yang bersamaan orang orang serempak menuju titik yang bertebaran sepanjang garis khatulistiwa. Menempuh mulai dari hitungan jarak pendek sampai ribuan kilometer. Mudik di dalam kota, ke luar kota dan antar propinsi.

Bukan hanya menggunakan pesawat, kapal laut, kendaran roda empat bahkan satu motor dipakai untuk satu keluarga dengan dua anak plus tentengan barang bawaan yang diikatkan di belakang yang sebelumnya telah disambungkan potongan kayu.

Sebuah fenomena yang penuh daya pukau. Realitas mudik yang dapat dilihat dari berbagai perspektif (sudut pandang). Mulai dari fenomena kultural, antropologis, sosiologis sampai teologis dan atau mungkin juga ekonomis.

Mudik menjadi sebuah drama dengan panggung besar. Latar “masyarakat kota” yang ternyata tidak pernah tuntas mengalami “kekotaannya.” Ingatan kolektif layar bawah sadar masyarakat urban ternyata tidak pernah bisa terlepas dari pengalaman masa lalunya, tidak bisa tercerabut dari kampung halamannya.

Diam-diam sebenarnya ketika mereka berada di perantauan, hati kecilnya sesungguhnya selalu membayangkan tentang damai di kampung, terpaut imajinasi sawah yang menghijau, tentang sungai dengan aliran air yang jernih,  kolam yang penuh ikan, dan tentang solidaritas sosial yang terjaga apik, jujur dan murni. Tentang masa kanak-kanaknya yang terbawa sampai dewasa dan tua ketika sudah hijrah dan menetap di kota.

Dengan kata lain, harus diakui bahwa mudik sesungguhnya meneguhkan sebuah kesimpulan tak terbantahkan bahwa kita sebenarnya bukanlah bangsa dengan watak kuat sebagai kafilah pengembara layaknya bangsa Eropa, China dan Arab, tapi bangsa (masyarakat) yang selalu terkait dengan kampung halaman dan masa silam, bangsa yang tidak mudah melupakan kenangan.

Baca Juga  LDTQN dan tantangan Globalisasi

Seandainya kita pergi mengelana bahkan ke luar negeri sekalipun, maka kepergian itu hanyalah “menunda” untuk pada saatnya kelak kembali ke tempat lahir. Dan apalagi etnik Sunda, sangat terkenal sebagai suku yang memiliki tautan kuat dengan daerahnya sehingga ada banyak kata-kata yang menggambarkan tentang hal ini seperti lembur matuh banjar karang pamidangan, lemah cai, dan bali geusan ngajadi. Bahkan ada sebuah peribahasa “ulah poho ka lemah cai” (Jangan lupa terhadap tanah air/kampung halaman) dan atau ungkapan “kurung batokeun” sebagai simbol mereka yang tidak pernah pergi merantau ke luar dari kampungnya.

Mudik kultural

Mudik secara kultural sesungguhnya memiliki sejarah yang sangat panjang. Konon, kata almarhum budayawan Umar Khayam, sudah ada sebelum berdiri Kerajaan Majapahit.

Dahulu mudik dilakukan sebagai media untuk membersihkan pekuburan (nyadran & nadran), ‘jembatan ruhani’ yang menghubungkan diri dengan para dewa di kahyangan, menjalin hubungan dengan dunia gaib. Memohon keberkahan, keselamatan dan kedamaian kampung halamannya. Kemudian ketika Islam didakwahkan oleh para sufi ke tatar Jawa, tradisi ini tidak serta merta kemudian dihilangkan namun diberi muatan makna baru dan tetap dilakukan setiap tahun menjelang  dan setelah perayaan Idul Fitri.

Kemudian, lanjut Kayam, tradisi ini telah menyatu dengan uniknya dalam masyarakat kita serta telah menjadi akar sintesa budaya yang kukuh dan memberinya satu potret-budaya yang, agaknya, khas Indonesia. Islam dan budaya lokal melakukan perkawinan (akulturasi) tanpa harus satu sama lain saling menafikan tapi justru saling memperkaya. Mudik Lebaran adalah satu gerak eksodus yang spontan dari warga keluarga jaringan yang tercerai oleh gerak pencarian nafkah, yang diilhami oleh bulan Ramadan, untuk menjalani ibadah puasa yang ditutup dengan Idul Fitri.

Baca Juga  Bahasa Rindu, Bahasa Guru

Mudik ruhaniah

Dengan sangat menarik mudik kultural itulah yang kemudian menemukan basis penguatannya dari ajaran agama. Atau kebalikannya bahwa mudik yang banyak diajarkan agama menemukan pijakan kulturalnya sehingga pesan-pesan keagamaan dengan mudah dapat ditangkap masyarakat setempat dan relatif tidak mendapatkan penentangan yang cukup berarti.

Dalam risalah keagamaan terutama ajaran tasawuf “mudik” sesungguhnya menjadi salah satu tema pokok yang ditanamkan para sufi dalam istilah ar-rujú’u ilá Alláh.  Dalam ajaran Islam bahkan ditahbiskan bahwa panggung kehidupan dunia hakikatnya adalah jembatan untuk pada akhirnya setiap kita akan mudik ke kampung akhirat, kampung yang abadi (QS. 50: 35).

Kesadaran ilahiah yang dirumuskan dalam ungkapan inná lilláhi wa inná ilaihi rájiún sejatinya menanamkan ihwal mudik dalam maknanya yang hakiki. Bahwa  kita berasal dari Tuhan maka hanya akan mudik kembali kepada Tuhannya.

Eling kepada tempat kembali, merupakan haluan pokok dari risalah mudik spiritual. Mudik ruhaniah mengajarkan terjaga dalam dzikir. Spiritualisme Jawa merumuskannya dalam ungkapan eling sangkan paraning dumadi. Eling kepada purwadaksi. Inilah pesan moral yang disampaikan Asmarandana yang sangat terkenal dalam kearifan etnik Sunda:

Éling-éling mangka éling/ Rumingkang di bumi alam/ Darma wawayangan baé/ Raga taya pangawasa/ Lamun kasasar lampah/ Nafsu nu matak kaduhung/ Badan anu katempuhan/ Éling- éling masing éling/ Di dunya urang ngumbara/ Laku lampah nu utama/ Asih ka papada jalma/ Ucap tekad reujeung lampah/ Tingkah polah sing merenah/ Runtut rukun sauyunan/ Hirup jucung panggih jeung kamulyaan

Eling eling haruslah eling/ mengelana di semesta/ sekadar sebagai wayang/ raga tak berdaya/ andai tersesat pijakan/ nafsu yang bakal menyesal/ badan yang harus menanggung derita/ eling-eling mustilah eling/ di dunya kita mengembara/ lelaku yang utama/ kasih kepada sesama/ ucap, tekad dan langkah/ tindakan haruslah benar/ saling asah dan asuh/ hidup menemukan kemulyaannya.

Baca Juga  Dzikir Nafi dan Itsbat Sebagai Magnet Rezki ?

Tahu jalan kembali

Kecelakaan itu, dalam tilikan kaum tarekat, tidak lain  ketika seseorang sudah tidak  tahu jalan kembali. Tidak paham dari mana dan kemana akan pulang.  Tentu ada banyak faktor yang menyebabkan orang terasing dengan dirinya dan terasing mengenai pintu kembalinya.

Salah satu faktor itu adalah ketika benda dijadikan daulat utama. Benda di sini memiliki makna yang luas. Termasuk menuhankan kekuasaan, jabatan, dan sebagainya. Benda yang kemudian membuat seseorang gelap mata.

Alhasil, Idul Fitri menjadi kesempatan.berharga merenungkan gerak kembali baik secara kultural dan terlebih spiritual.

Minimal dengan mudik yang kita lakukan secara rutin tiap tahun kita sedang melakukan latihan suatu saat kita akan mudik hanya satu kali: ketika ajal tiba seperti dengan bagus ditulis Amir Hamzah dalam Padamu Juga (Nyanyi Sunyi):

Nanar aku, gila sasar

Sayang berulang padamu jua

Engkau pelik menarik ingin

Serupa dara di balik tirai.

Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri

Lalu waktu — bukan giliranku

Mati hari — bukan kawanku

Oleh; Asep Salahudin (Rektor IAILM Suryalaya)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button