Cakrawala Tasawuf

Mudik dan lebaran yang dirindukan

Beberapa hari lagi kita akan meninggalkan Bulan yang suci ini, namun keantusiasan umat Islam Indonesia semakin tak tertahan menyongsong budaya menjeang Idul Fitri. Budaya yang selalu dinantikan adalah mudik, Idul Fitri, dan halal-bihalal di negeri ini telah menjadi satu paket. Mudik dan halal bihalal telah menjadi bagian dari budaya yang menyertai setiap momen Idul Fitri. Tak heran jika gema Idul Fitri begitu nyaring terdengar jauh sebelum hari H dan sesudahnya. Idul Fitri agaknya telah dijadikan sebagai momen untuk menggelar aktivitas rutin tahunan oleh bangsa ini untuk mempertautkan nilai-nilai kekeluargaan dan sosial demi kokohnya nilai-nilai kekerabatan dan keguyuban. Dalam konteks demikian, Idul Fitri tidak semata-mata dimaknai sebagai penanda akhir bulan Ramadhan, tetapi juga telah menjadi semacam “konvensi” sosial untuk merajut nilai-nilai kekerabatan, kekeluargaan, dan persaudaraan melalui budaya halal-bihalal.

Semenjak Pandemi mulai merebak di Indonesia, semenjak itu pula tradisi mudik dilarang oleh pemerintah (2 Tahun). Tapi untuk tahun ini pemerintah membolehkan mudik dan mendirikan shalat id dimesjid-mesjid. Tak ayal bagi kaum muslim Indonesia untuk yahun ini benar-banar merasa rindu akan sibuk, macet dan capenya ketika mudik di jalanan. Tapi itu semua bisa dibayar tuntas dengan bisa berkumpul dengan semua keluarga di kampung halamannya.

Budaya mudik memang menjadi fenomena tersendiri di negeri ini. Tak diketahui secara pasti, sejak kapan fenomena ini muncul. Bisa jadi, peristiwa ini muncul secara alamiah seiring dengan meningkatnya proses urbanisasi yang menjadikan kota-kota besar sebagai “magnet” yang mampu menyedot jutaan orang kampung untuk mengadu nasib dan mencari peruntungan. Agar nilai kekeluargaan dan kekerabatan dengan saudara-saudara di kampung kelahiran tidak terputus, para perantau mereka perlu pulang kampung (mudik). Saat yang dianggap tepat untuk itu adalah menjelang Idul Fitri tiba. Mereka yang gagal mudik dianggap oleh sanak-kerabatnya di kampung sebagai sebuah kegagalan mengadu nasib di perantauan. Bahkan, tak jarang yang beranggapan bahwa perantau yang tidak mudik ke kampung kelahiran pada saat Lebaran dianggap sudah memutuskan tali silaturahmi dengan saudara-saudaranya di kampung.

Baca Juga  Puasa bukan sekedar menahan lapar dan haus

Lebih-lebih buat para perantau yang sudah kehilangan orang tua. Selain bersilaturahmi dengan sanak-keluarga, mereka juga punya misi untuk berziarah ke makam orang tua yang sudah meninggal, sehingga mudik menjadi semacam “kewajiban” yang mesti dilakukan sebagai wujud sikap berbakti pada orang tua dan keluarga.

Seiring dengan itu, pasca-Idul Fitri, budaya lain pun muncul, yakni halal-bihalal. Budaya ini erat kaitannya dengan perintah untuk membangun silaturahmi dan saling memaafkan terhadap sesama, meski kosakata halal-bihalal itu sendiri tidak ditemukan dalam idiom keagamaan. Dari sisi ini, sangat bisa dipahami kalau arus mudik terus mengalir dan menjadi “ritual” tahunan meski harus sangat berisiko di perjalanan. Selain untuk berziarah ke makam orang tua yang sudah meninggal, para pemudik juga berkepentingan untuk berhalal-bihalal dengan saudara-saudaranya di kampung sebagai manifestasi sikap “semanak” (kekeluargaan) dan “sumedulur” (persaudaraan).

Dimensi Idul Fitri

Idul Fitri adalah hari istimewa. Di dalamnya terkandung sekaligus dua peristiwa, spiritual dan sosial.

Secara spiritual, Idul Fitri kerap diartikan sebagai momen kemenangan bagi umat Islam, setelah melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh. Ketika puasa, seseorang menahan lapar-haus sepanjang hari dan tidak melakukan perkara-perkara yang membatalkan puasa. Orang kaya bisa ikut merasakan penderitaan orang-orang miskin yang hari-harinya penuh lapar dan haus, sementara si miskin bisa meningkatkan daya sabarnya di tengah kemiskinan dan kemelaratan yang melilitnya. Tatkala puasa dijalankan, setiap orang diminta mengendalikan diri, baik jasad maupun hati dan pikiran, agar tak terjatuh pada dosa, baik dosa privat maupun dosa publik, sehingga bisa mengantar yang bersangkutan kepada “fitrah”-nya yang asal. Minggu terakhir Ramadhan, munajat malam intensif dipanjatkan dengan rendah hati dan suara lirih, tanpa sorotan kamera, pengeras suara, apalagi beduk bertalu-talu. Kaum Muslim giat bertobat karena tak satu orang pun bisa menghindar dari dosa.

Makhluk Allah. Kemustahilan menghindari dosa menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang daif. Sebuah hadis menyebutkan, al-nas kulluhum khaththa’un wa khair al-khaththa’in al-tawwabun (semua manusia bersalah, dan orang terbaik saat bersalah adalah mereka yang bertobat). Pengakuan dosa adalah penegasan sebuah kesalahan. Dengan merasakan dosa dan kesalahan, manusia sadar akan kedaifan dirinya. Di saat itulah ia perlu merenungkan kesempurnaan sifat-sifat Tuhan dan terus menanamkannya dalam diri. Penubuhan (embodiment) sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia adalah proses yang tanpa akhir, karena manusia tak akan pernah bisa menjadi Dia, Allah. Dengan demikian, tak ada alasan bagi seseorang untuk tidak memaafkan kesalahan orang lain.

Baca Juga  Dzikir Nafi dan Itsbat Sebagai Magnet Rezki ?

Pada hari Idul Fitri, secara simbolik orang saling bermaafan, satu dengan yang lain. Di kampung, orang saling berkunjung, dari pintu ke pintu, meminta maaf atas kekeliruan yang pernah dilakukan. Di lingkungan masyarakat kota dan kosmopolitan, saat silaturahmi fisikal makin tidak mungkin dilakukan, orang melakukan permintaan maaf melalui media teknologi komunikasi seperti SMS (layanan pesan singkat) atau melalui internet dengan mengirimkan e-mail. Bahkan, umat non-Muslim pun ikut ambil bagian dari perayaan Lebaran itu. Ucapan selamat Idul Fitri dari umat agama lain hilir mudik masuk ke dalam HP umat Islam. Pada hari raya Idul Fitri ini, relasi-relasi kemanusiaan yang melintasi batas-batas agama muncul secara tak terkendali. Lebaran akhirnya tak mudah diberi tapal batas ras, kelas, bahkan agama.

Lebaran, peristiwa sosial.Dalam konteks masyarakat Indonesia, Lebaran tak hanya merupakan “properti” atau hak milik umat Islam. Ia telah menjadi peristiwa sosial yang melibatkan umat agama lain. Idul Fitri tak lagi menjadi kegembiraan eksklusif mereka yang berpuasa, tetapi juga milik mereka yang sepanjang hidupnya tak pernah menjalankan ibadah puasa. Idul Fitri tak hanya dirayakan para ulama dan kaum santri, tetapi juga kaum abangan. Kegembiraan Lebaran dirasakan semua warga bangsa. Menurut Islam, ketika Lebaran tiba, tak boleh ada satu orang pun yang menderita kelaparan. Karena itu, zakat fitrah disyariatkan. Dalam pandangan sebagian (bukan semua) mufasir Al Quran, zakat tak harus diberikan kepada umat Islam yang fakir dan miskin.

Bersandar pada QS Al Baqarah (2): 272 “apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan di jalan Allah, maka pahalanya adalah untukmu jua”, Al-Qurthubi dalam al-Jami` li Ahkam al-Quran (Jilid II, halaman 290) membolehkan umat Islam sekiranya hendak bersedekah kepada umat non-Muslim bahkan kaum musyrik.

Baca Juga  TQN Suryalaya: Teosentris dan Antroposentris

Pendapat yang sama dikemukakan Imam Abu Hanifah. Al-Mahdawi yang menegaskan, ayat itu menunjukkan dibolehkannya berzakat kepada sanak saudara yang miskin sekalipun musyrik. Menurut Muhammad Rasyid Ridha, kasih sayang dan bantuan kepada orang miskin tak perlu menunggu sampai yang bersangkutan masuk Islam.

Berbeda tetapi satu

Pendapat itu tampaknya yang dijadikan acuan sebagian ulama Indonesia yang membolehkan umat Islam berzakat kepada non-Muslim, dan mereka pun tak mempersoalkan sekiranya umat Islam menerima bantuan dari umat agama lain. Itu sebabnya, hubungan umat Islam dengan umat agama lain di Indonesia terasa amat dekat dan mesra. Bahkan, sebagian pesantren di Jawa memiliki program dan kerja sama dengan umat agama lain. Fenomena itu kiranya tak mudah dicari bandingannya di negeri lain, di mana harmoni antarumat beragama dan antarumat Islam bisa dirajut dengan baik. Orang non-Muslim bisa memberikan ketupat Lebaran bagi umat Islam.

Meskipun Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah berkali-kali berbeda dalam penentuan hari raya Idul Fitri, warga dua ormas itu tidak terlibat konflik, apalagi pertumpahan darah. Kiranya, inilah sebuah kedewasaan dan kematangan umat Islam Indonesia dalam beragama. Sebagai antipode, lihatlah pertengkaran antar umat Islam (Sunni dan Syiah) di Timur Tengah yang pernah berkonflik bahkan sampai saat ini masih terasa akibatnya.

Idul Fitri adalah permulaan hari baru, di mana masyarakat telah mengalami perubahan atau transformasi dalam dirinya. Idul Fitri bukan hari dengan mobil baru dan pakaian baru (liman labisa al-jadid), tetapi hari di mana individu-individu dengan kesadaran baru (liman tha’athuhu tazidu) akan datang mengisi ruang-ruang publik Indonesia. Memang, bukan manusia sempurna yang tak pernah terwujud, tetapi manusia yang sadar akan keterbatasannya dan belajar dari beberapa kekeliruan yang pernah dibuatnya. Harapannya, dari tangan manusia-manusia baru ini akan lahir Indonesia Baru, Indonesia yang makmur dan diridai Tuhan. Selamat Idul Fitri 1443 H.

Oleh: Nyanyang D Rahmat, S. H. (Alumni Fakultas Syariah IAILM Suryalaya)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button