Memahami Makrifat
Sebelum dzikir jahar dan sebelum dzikir khofi saat amaliyah dzikir bakda shalat fardhu, Kita selalu mengucapkan,”Ilahi anta maqshudi wa ridhoka mathlubi, ‘athini mahabbataka wa ma’rifataka.” (Ya Allah, Engkau tujuanku dan ridho-Mu yang Kucari, karuniakan padaku cinta dan ma’rifat pada-Mu).
Pertanyaannya, apa itu makrifat? Makrifat dulu atau hakikat dulu? Mengapa dalam Sirrul Asror disebutkan bahwa orang yang sudah makrifat juga bisa tergelincir? Setelah mencapai hakikat barulah seseorang akan selamat.
Dalam pasal pertama Miftahus Shudur (juz 1, hlm. 6), Abah Anom ra membagi makrifat menjadi dua, yaitu: makrifat dzat dan makrifat sifat. Makrifat dzat terjadi di akhirat. Adapun makrifat sifat dapat terjadi di dunia dan akhirat.
Kita akan fokus pada makrifat sifat yang dapat terjadi di dunia. Untuk memahami makrifat sifat dengan jelas, Kita harus menghubungkannya dengan Miftahus Shudur juz 2, pasal 6, hlm. 26. Di sana tertulis syariat ialah beribadah pada Allah, tarekat ialah beribadah dengan tujuan hanya Allah, dan hakekat ialah menyaksikan Allah dengan bashiroh (mata hati). Pertanyaannya, dimana posisi makrifat diantara ketiganya?
Ijinkan Saya melakukan kajian. Pertama, makrifat sifat dalam syari’at ialah makrifat bil ilmi atau bil ‘aqli. Secara ilmu, Allah memiliki 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil dan 1 sifat jaiz. Makrifat jenis inilah yang dimaksud dari ungkapan,”Kewajiban pertama dalam agama ialah makrifat pada Allah.” Maksudnya makrifat dengan ilmu. Kitab ‘Aqidatul Awwam, Tijan Darori, Nurudz Dzulam, Kifayatul Awwam dapat dirujuk untuk kajian makrifat bil ilmi.
Kedua, makrifat sifat dalam tarekat ialah makrifat bil amali atau bil akhlaqi. Tarekat itu menuju Allah, termasuk meneladani akhlak Allah (sifat dan asma-Nya). Allah itu bersifat ilmu, maha tahu, maka kita yang menuju Allah harus membekali diri dengan ilmu. Jadi semangat belajar dan terus belajar itu bagian dari makrifat bil amal. Allah itu memiliki sifat iradat atau berkehendak, maka para pejalan ruhani menuju Allah harus memiliki kehendak atau visi. Bukankah ajaran dasar pertama dari Tarekat Qodiriyyah adalah visi yang tinggi? Kitab- kitab tentang makrifat bil amal antara lain dapat ditemukan dalam Syajaratul Ma’arif karya Syekh Izzudin bin Abdus Salam dan Asmaul Husna karya Al-Ghazali.
Ketiga, makrifat sifat dalam hakekat ialah makrifat dengan bashiroh (mata hati). Makrifat ini yang didefinisikan oleh Imam Al-Ghazali sebagai,”Tidak memandang sesuatu, melainkan memandang Allah di dalamnya.” Syekh Abdul Qodir Jaelani qs menyebutnya dengan istilah musyahadah dan membaginya menjadi musyahadah al-Jalal dan musyahadah al-Jamal.
Jadi tidak semua makrifat itu hakekat. Hanya makrifat bil bashiroh yang mencapai hakikat. “Jangan ingin makrifat. Itu karunia Allah,” demikian kata Pa Haji Dudun. Makrifat yang dimaksud bukan makrifat bil ilmi dan bil amal, tapi makrifat bil bashiroh.
Pertanyaannya, apakah makrifat bil bashiroh ini dapat diupayakan? Dapat dikatakan, bahwa kitab rujukannya antara lain ‘Uqudul Juman. Upaya meraihnya ialah dzikir dan khotaman. Bukankah dalam ‘Uqudul Juman disebutkan bahwa fungsi khotaman ialah ijabah dan alat mencapai makrifat (bil bashiroh)?
Tujuan dzikir dan khotaman memang bukan agar mencapai makrifat. Itu anugerah Allah. Namun, bagaimana bisa seorang ikhwan akan makrifat bil bashiroh jika tidak atau kurang porsi dzikir dan khotamannya?
Ada sirr ketika Abah Anom ra setelah menjelaskam macam-macam makrifat, langsung disambung dengan 4 tujuan Rasulullah mentalqin para sahabatnya, yaitu: membersihkan qolbu (dari dosa), mensucikan jiwa (dari sifat tercela dan sifat hewani), wushul ke Allah dan meraih kebahagiaan yang suci atau halal. Seakan Beliau memberi pesan tersembunyi bahwa tidak akan makrifat sifat bil bashiroh bila dzikirnya kurang diamalkan dan dilatih. Wallahu ‘alam
6 September 2023-T05
(Rojaya, Ketua Divisi Kajian dan Literasi Tasawuf DPP LDTQN Pondok Pesantren Suryalaya).