Tanda Futuh Dalam Dzikir
Futuh adalah ketersingkapan, kemenangan, kesuksesan, terbukanya mata hati dan terbukanya hati dan pikiran.
Syekh Ahmad Shohibulwafa Tajul ‘Arifin ra dalam Miftahus Shudur juz 2, hlm. 19 menjelaskan,”Dzikir itu aslinya lezat dan manis. Jika Kita didominasi atau diliputi oleh dzikir (banyak dan sering berdzikir), maka akan muncul khusyu’, dumu’ (meneteskan air mata), terbakar dan tenggelam. Itulah tanda futuh.”
Tanda Futuh dalam dzikir merujuk dari uraian di atas ialah :
Pertama, dapat merasakan kelezatan dan kenikmatan dzikir. Pertanyaannya, mengapa kadang Kita tidak atau kurang merasakan kelezatan dan kenikmatan dzikir? Dzikir itu makanan ruhani. Rasa dzikir itu lezat dan nikmat bagi jiwa. Bila dzikir terasa belum nikmat dan lezat, bahkan terasa tidak enak, maka jiwanya yang harus dievaluasi atau diterapi. Ibarat buah mangga yang segar dan manis, bila dimakan oleh orang yang sakit sariawan atau sakit gigi, maka kelezatannya bisa terhalang oleh rasa sakitnya. Masalahnya bila demikian bukan pada buahnya yang tidak lezat dan nikmat, namun pada keadaan bibir atau gigi yang sedang sakit. Teruslah diperbanyak makan buah- buahan sampai sakitnya menjadi sembuh, sehingga saat memakan buah- buahan yang nikmat dan lezat, demikianlah rasanya saat disantap. Demikian juga dengan rasa dzikir, maka teruslah berdzikir walau tidak ada rasa atau rasanya enggak enak bagi jiwa, sampai jiwanya dapat merasakan lezat dan manisnya dzikir.
Kedua, khusyu’. Bila dzikir sudah dirasakan lezat dan manis, maka dzikirnya akan lebih khusyu’. Dzikir jahar ibarat kholwat, memejamkan mata sehingga tidak memandang apapun, menjadi gelap dan kosong. Lisan melantunkan dzikir dengan semangat. Telinga mendengar lantunan dzikir. Jiwa merasakan lezat dan manisnya dzikir. Qolbu berupaya mengimbangi dengan dzikir khofi. Pikiran tertuju pada Allah sebagai tujuan dzikir. Tubuh diam tenang. Kepala bergerak sesuai aturan, dari bawah pusar ke atas menuju otak, lalu turun ke bahu kanan, terus turun ke hati sanubari. Khusyu’ badan dan khusyu’ qolbu.
Ketiga, Dumu’ (Meneteskan air mata). Bila dzikir sudah khusyu’, maka pukulan dzikir ibarat cangkul menghantam tanah pada kedalaman tertentu sehingga mengalirkan air yang tak terbendung. Tentu keluarnya air tersebut dipengaruhi juga oleh kesuburan dan ketandusan tanah, namun jika terus digali sampai dalam insya Allah akan keluar air. Pukulan dzikir yang terus- menerus pada qolbu akan mengeluarkan air mata. Bila kemudian di waktu lain, mata kering lagi tidak bisa menangis, mungkin kita telah menutup kembali sumur tersebut dengan tanah, sehingga urugan tanah tersebut harus digali lagi, dan seterusnya. Urugan tanah dalam sumur qolbu ialah dosa- dosa yang Kita lakukan yang harus dibersihkan.
Menangis ketika dzikir bukanlah perintah Allah. Allah hanya menyuruh dzikir yang banyak. Namun kalau dzikir sampai mata menangis, mengalirkan air mata, maka kata Abah Anom ra termasuk tanda futuh dalam dzikir.
Keempat, terbakar. Dzikir itu membakar dosa, sifat tercela dan sifat hewani. “Membakar atau melenyapkan semua yang rusak di dalam badan.” (Miftahus Shudur, juz 1, hlm. 9). Rusak yang dimaksud tentu rusak ruhani. Matanya rusak karena melihat yang dilarang oleh Allah. Perutnya rusak karena memakan yang diharamkan Allah, dan seterusnya. Bagian- bagian tubuh yang rusak secara ruhani tersebut dibakar dengan dzikir, sehingga kembali menjadi normal. Bibir yang rusak secara ruhani karena sering berdusta, berghibah atau lainnya misalnya, bila tidak dibakar secara ruhani bagian yang rusaknya akan menjadi berat digunakan dzikir, dan rasa manis dan lezat dari dzikirnya akan tertutup oleh penghalang yang ada pada dirinya.
Kelima, Tenggelam. Tanda futuh dalam dzikir antara lain selalu berdzikir. Qolbunya seakan otomatis dzikir sendiri. Cintanya pada yang disebut memotivasi diri untuk meniru yang dicintai. Allah maha memberi manfaat (An-Nafi’), maka jiwa orang yang dzikir rindu untuk memberikan manfaat pada yang lain, baik dengan ilmu, harta, tenaga, maupun lainnya. Asma- asma Allah ingin ditiru karena cinta pada-Nya.
Qolbu disingkapkan oleh maha kasih sehingga tidak bisa untuk tidak berdzikir. Walau lisannya diam, namun bashirohnya diperlihatkan asma dan af’al Allah dalam segala sesuatu. Ibarat orang tenggelam diliputi air, maka orang yang berdzikir, berpeluang diliputi dzikir. Itulah makrifat bil bashiroh yang selalu Kita mintakan kepada Allah saat akan dzikir jahar maupun dzikir khofi.
Wallahu ‘alam
(Rojaya, Ketua Divisi Kajian dan Literasi Tasawuf DPP LDTQN Pondok Pesantren Suryalaya).