Cakrawala Tasawuf

Makna Filantrofi dalam berkurban

Momentum Idul Qurban tahun ini menuntut kita untuk benar-benar berkurban (berkorban). Artinya, berkurban bukan sekadar memenuhi panggilan syari’at (menyembelih hewan), melainkan juga karena kondisi riil bangsa kita yang masih sangat memperihatinkan. Betapa tidak. Beberapa tahun terakhir ini, kita bisa menyaksikan berbagai tindak kekerasan politik, radikalisme sosial, dan pelanggaran HAM, yang mengakibatkan ketakutan masyarakat dan disintegrasi sosial. Selain itu, penyelenggaraan manajemen hukum (proses peradilan), politik, dan ekonomi, juga amat dekaden terhadap kredibilitas publik. Kasus suap dan korupsi yang melibatkan pejabat negara adalah contoh konkrit betapa mereka yang bergaji tinggi masih doyan dan tega menyabet uang rakyat, sementara nun jauh di sana sebagian anak negeri ini menggelepar kelaparan akibat kemiskinan. Lebih dari itu, Masalahnya kini, apakah proses ritual-formal Idul Kurban, termasuk penyembelihan hewan benar-benar membuka kesadaran eksistensial umat? Atau, hanya sekadar membagi daging, lalu pascapembagian, maknanya lenyap berikut sirnanya kegiatan itu, sehingga tidak ada yang tersimpan dalam jiwa manusia terhadap nilai berharga dari kurban itu? Kalaupun jawabannya yang kedua, maka rutinitas ibadah tahunan itu jelas tidak dapat dijadikan parameter dan patokan dalam pengaplikasian solidaritas sosial demi terwujudnya keadilan. Apalagi memperjuangkan terciptanya demokrasi ekonomi-politik di masa kini dan mendatang. Dari sini, dipandang amat mendesak menata dan mengkaji ulang pemahaman kita mengenai hakikat kurban.

Makna Sosial dan Ritual

Dalam perspektif ulama, kurban memiliki makna ritual dengan menyembelih hewan ternak yang telah memenuhi kriteria tertentu dan pada waktu tertentu, yaitu sejak 10 sampai 13 Dzulhijjah. Bagi mereka, ibadah kurban harus dengan hewan kurban (seperti kambing, sapi, dan unta), dan tidak boleh diganti yang lain, seperti uang atau beras. Meski demikian, mereka sepakat, hukum berkurban hanyalah sunah alias tidak wajib. Dari pemahaman itu, terkesan ibadah kurban hanya merupakan ekspresi sikap determinan ibadiyah yang dianjurkan bagi setiap muslim yang memiliki kemampuan materi. Kurban hanya rutinitas ibadah tahunan dan sekadar acara pesta-pora daging yang dibungkus ritualistik dan rutinitas ubudiyah saja. Pemaknaan dan pemahaman yang cenderung literalis-dogmatis ini jelas akan membuat teks kurban menjadi out of date dan kurang memberi motivasi kuat bagi setiap muslim untuk memenuhi panggilan berkurban. Padahal, secara hermeneutis, titah Tuhan tentang kurban.

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2(

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (QS.108:1-2)

Dalam ayat tersebut memiliki arti ‘transformatif radikal’ saat dibaca dengan mengambil referensi setting personal, sosio-kultur, dan berbagai kategori konteks hidup. Masyarakat era Nabi Ibrahim bercorak pastoralis, karena itu, kanzun (investasi) dan komoditas paling berharga terletak pada pemeliharaan binatang ternak, dan pemberian makanan berupa daging saat itu merupakan pengorbanan bernilai tinggi.

Baca Juga  Semangat belajar Pangersa Abah Anom

Demikian pula pada kurun Nabi Muhammad SAW. Teks kurban diturunkan dalam kerangka waktu khusus saat beliau hidup. Tentu saja yang berlaku adalah subyektivitas yang disesuaikan kebutuhan zamannya. Alhasil, kurban berbentuk binatang ternak merupakan manifestasi solidaritas tertinggi. Berbeda dengan konteks sosio-kultur Ibrahim dan Muhammad, meski bangsa Indonesia memiliki tanah subur, gemah ripah loh jinawi, tetapi eksploitasi terhadap penduduk berekonomi lemah juga tidak kalah suburnya. Sekat ekonomi begitu dalam antara si kaya dan si miskin, antara pusat dan daerah, sehingga angka kemiskinan tetap membengkak dan pengangguran pun kian merebak. Kenyataan itu, jelas menuntut penerjemahan ulang (reinterpretasi) atas makna kurban yang berbeda dengan kondisi sosio-kultur di mana Ibrahim dan Muhammad hidup. Dengan kata lain, agar teks kurban tetap up to date, ia mesti membuka diri untuk ditransformasikan makna internal dan orisinalnya ke dalam interpretasi yang lebih kondusif dan kontekstual dengan perkembangan zaman. Dari sinilah, refleksi komitmen sosial yang hendak dibangun lewat kurban, tampaknya, sudah tidak relevan lagi bila tetap diejawantahkan dengan distribusi daging. Kurban di tengah keprihatinan ini tampaknya akan lebih compatible dan applicable bila berkelit kelindan dengan kebutuhan mendesak umat, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, maupun politik.

Bila kurban dibidik melalui kajian dialektika dan holistik (horizontal-vertikal), sejatinya bisa digunakan untuk pemberdayaan ekonomi kerakyatan, yang dalam konstelasi politik-ekonomi Indonesia belum beruntung. Misalnya, dengan mengelola hewan kurban yang telah diserahkan masyarakat untuk membentuk koperasi yang bisa membantu kredit tanpa bunga bagi wong cilik, atau untuk merehabilitasi rumah para korban bencana alam, korban gempa seperti di Lombok, memberikan beasiswa bagi anak-anak miskin yang putus sekolah, dan sebagainya. Kurban semacam ini tentu akan lebih bermakna kontekstual dan secara fungsional lebih bersifat konstan daripada sekadar makan daging hewan kurban 1-2 hari belaka. Lebih dari itu, bagi kalangan elite ekonomi, harus bersedia mengorbankan ambisinya untuk tidak terus menerus memonopoli aset-aset ekonomi. Mereka harus bersedia berbagi rasa dengan para pengusaha menengah dan kecil, serta dengan orang-orang yang tidak memiliki aset dan akses ekonomi sama sekali. Tanpa pengorbanan seperti itu, tampaknya sulit diharapkan terjadinya keharmonisan sosial. Sebab, kesenjangan kaya-miskin akan kian melebar, dan pada gilirannya dapat menimbulkan disintegrasi sosial, bahkan disintegrasi nasional. Dalam konteks kekinian, pemaknaan kurban akan lebih relevan dan applicable bila bertopang pada unsur-unsur utama kemanusiaan, ketertindasan, keterbelakangan, ketidakadilan struktur sosial-ekonomis, dan kebiadaban rezim-rezim peradaban serta politik yang zalim. Inilah makna sejati ibadah kurban yang kontekstual yang harus dikedepankan dan diaktualisasikan dalam kehidupan kebangsaan kita dewasa ini dan masa datang.

Baca Juga  Memaknai Hakikat Kebahagiaan dalam Perspektif Tasawuf

Makna Teologis

Melalui misi suci profetik yang diteladankan kekasih Allah, Ibrahim AS, Allah SWT memerintahkannya menyembelih putra tercinta, Ismail, dalam beberapa kali mimpinya. Sang ayah pun berdialog dari hati ke hati dengan putranya. Saat ayahanda meminta pendapatnya mengenai perintah Allah untuk menyembelihnya, sang anak justru mengukuhkan keyakinan ayahnya:

يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102(

Wahai ayahanda, lakukanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapati diriku termasuk orang yang sabar” (QS Ash-Shaffat 37: 102).

Ayat ini mempunyai makna ‘Drama pengorbanan’ pun dilakukan Ibrahim di lembah Mina yang sepi dan sunyi, tetapi setan gencar merayunya agar Ibrahim mengurungkan niatnya untuk ‘menyembelih’ anaknya sendiri. Godaan setan yang demikian kuat itu membuat Ibrahim harus berpindah tempat tiga kali, yang kemudian dinapaktilasi jemaah haji dengan melempar tiga tugu jumrah di Mina. Drama teologis ini menunjukkan, berkurban itu merupakan ujian iman yang mengharuskan keikhlasan, kesabaran, keberanian, dan ketangguhan mental spiritual. Akhirnya, ujian iman ini dimenangi Ibrahim, Ismail tidak jadi ‘disembelih’, dan sebagai gantinya, yang dikorbankan ialah hewan sembelihan. Ibrahim sukses menjadi hamba Allah yang taat, tulus, tabah, dan takwa dalam menjalankan perintah Allah. Jadi, secara antropologi, teladan Ibrahim AS dalam mengorbankan ‘buah hati’ yang sangat dicintainya merupakan bentuk edukasi humanis untuk mengenyahkan budaya mengorbankan manusia, mengakhiri tradisi kekerasan, dan menyudahi pelanggaran terhadap HAM, khususnya hak hidup dan merdeka dari segala bentuk perbudakan dan penjajahan.

Afirmasi teologis dan humanis dalam ayat ini menunjukkan bahwa berkurban itu sarat dengan pesan edukasi filantropi atau pendidikan kedermawanan sehingga mukmin yang berkecukupan mestinya merasa malu dan merugi apabila tidak mensyukuri karunia-Nya dengan berbagi daging hewan kepada sesama, khususnya fakir dan miskin. Edukasi filantropi Esensi edukasi filantropi ialah aktualisasi sikap peduli, etos berbagi, dan spirit mengasihi sesama yang tidak berkecukupan, terutama asupan gizi hewani. Ibadah-ibadah sosial dalam Islam, seperti zakat, infak, sedekah, wakaf, dan berkurban, sesungguhnya sarat dengan nilai edukasi filantropi. Karena itu, spirit yang dikembangkan ialah aktualisasi kedermawanan sosial dengan menyantuni, mengasihi, dan memberdayakan kaum lemah, tidak mampu, dan tidak berdaya. Kedermawanan sosial dalam berkurban diteladankan Nabi Muhammad SAW ketika berada di Madinah, setelah hijrah dari Mekah. Setiap Idul Adha beliau selalu menyembelih sendiri dua ekor hewan kurbannya, lalu membagikan dagingnya kepada yang berhak menerimanya, selain sebagian kecil dagingnya dikonsumsi keluarga Nabi sendiri. Edukasi filantropi melalui kurban sejatinya tanda bukti ketakwaan hamba karena panggilan iman dan takwa yang autentik itu pasti dapat menggerakkan hatinya untuk tulus berbagi.

Baca Juga  Mengintip jejak sang Guru Agung di Leiden

لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ     (37)

Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.”(QS Al-Hajj 22: 37).

Jadi, selain eliminasi sifat-sifat buruk binatang seperti: rakus, tamak, kemaruk, dan cenderung killing instinc (insting membunuh sesama binatang), ibadah kurban merupakan pendidikan transformatif  menuju kesalehan filantropis yang autentik: mencintai dan mengasihi sesama dengan berbagi. Edukasi filantropi diteladankan Nabi Ibrahim dengan mempersembahkan yang paling baik dan paling dicintainya yaitu buah hatinya. Hal ini menunjukkan bahwa edukasi filantropi melalui kurban menghendaki ketulusan dan kerelaan tingkat tinggi dalam berdedikasi, berkontribusi untuk bangsa dan negeri. Karena etos filantropi ialah cinta kebaikan dan kebajikan demi kemanusiaan.  

Kamu sekali-kali tidak akan mencapai kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran 3: 92).

Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW juga menegaskan bahwa “Seseorang tidak layak disebut mukmin selama belum mencintai sesamanya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.” (HR Al-Bukhari dan Muslim) Sejarah kegemilangan peradaban Islam sarat pelajaran filantropi. Bahkan ketika masih berdakwah di Mekah, Nabi Muhammad SAW telah menunjukkan edukasi filantropi kepada para sahabatnya. Salah satu ayat yang turun beberapa waktu setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul ialah

وَلَا تَمْنُن تَسْتَكْثِرُ (6)

Dan janganlah kamu memberi dan berbagi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS Al-Mudatstsir 74: 6). 

Etos filantropi dipelopori dan digerakkan Nabi Muhammad SAW dan istri tercinta, Khadijah, yang mendermakan dan mewakafkan hampir seluruh hartanya untuk misi mulia dan kemajuan peradaban Islam.

Penulis: Nyanyang D. Rahmat S.H. (Alumni Fakultas Syari’ah IAILM Suryalaya)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button