Haji dan potret Ibrahim a.s. dalam puisi
Ketika orang mendengar kata haji, maka yang tergambar dalam imajinasinya adalah serangkaian ritual dan berbagai situs spiritual peninggalan berharga dan sarat makna dari Bapak Monotaisme Ibrahim as yang hidup 30 abad sebelum hijrah. Sebuah gambaran yang tidak terlampau keliru, sebab bagaimana pun juga haji adalah syariat Ibrahim as yang dilestarikan Muhammad saw.
Muhammad saw dalam hal ini merupakan mata air kenabian, kesinambungan dari nabi-nabi sebelumnya di mana kedatangannya telah lama diinformasikan dalam kitab-kitab mereka. Maka menjadi tidak aneh, ketika terjadi saling hujat antara Yahudi dan Kristen “memperebutkan” Ibrahim sebagai yang paling dekat dengan agamanya (QS. Ali-Imran/3: 65-66), dan al-Quran mendudukan Ibrahim dalam maqom yang semestinya: sebagai hanif (cenderung kepada kebenaran) dan islam atau kepasrahan bulat kepada Tuhan dan tidak sekali-kali mentolelir kemusyrikan (QS. Ali Imran/3: 67) kemudian al-Quran menyuruh Muhammad dan kaum muslim untuk mengajukan preposisi tentang keniscayaan melakukan dialog demi terwujudnya kerukunan antar umat beragama.
Ibrahim sebagai akar dari tiga agama besar dunia (Yahudi, Kristen dan Islam) sejatinya dijadikan ilham konstruktif bagi upaya penciptaan hubungan yang hormanis antar agama, mewujudkan rekonsiliasi demi tergelarnya bumi yang damai bukan malah sebaliknya perbedaan pilihan agama dijadikan pemantik terciptanya konflik dengan satu sama lain bersembunyi dibalik jargon perang suci. Ibrahim dalam konsepsi al-Quran musti dijadikan jembatan bagi upaya terciptanya apa yang dikatakan Frithjof Schuon dengan mutual understanding di antara agama-agama dengan mencari titik temu antar ketiga agama. Titik temu itu dalam konteks ini ialah iman Ibrahim yang murni.
“Katakankah (wahai Muhammad), “Hai Ahlu kitab marilah kita menuju kepada suatu kalimat (kesepakatan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak ada yang disembah kecuali Allah dan tidak ada persekutuan ia dengan sesuatu pun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian lain sebagai tuhan, selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakakanlah kepada mereka: Saksikanlah bahwa kami orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah” (QS. Ali Imran/3: 64).
Puisi tentang Ibrahim as
Ada sebuah puisi cukup menarik berjudul “Hanya Satu” yang ditulis Raja Penyair Pujangga Baru, Amir Hamzah. Puisi ini bagian keduanya dengan intens memotret pigur ideal Ibrahim as, sekaligus potret muram berupa kekerasan yang dilakukan para pengikutnya yang sesungguhnya masih satu keturunan bahkan kakak beradik yakni Yahudi, Kristen (jalur Ishaq: putera Sarah istri pertama Ibrahim) dan Islam (jalur Ismail: putera Hajar istri kedua Ibrahim), dan bagaiman cara terbaik dalam menghadapi kekerasan itu. Inilah tema utama puisi Amir Hamzah itu:
Bersemayam sempana di jembala gembala
duriat jelita bapakku Ibrahim
keturunan intan dua cahaya
pancaran bunda berlainan putera
kini kami bertikai pangkai
diantara dua, mana mutiara
jauhari ahli lalai menilai
lengah langsung melewati abad
aduhai kekasihku
padaku semua tiada berguna
hanya satu kutunggu hasrat
merasa dikau dekat rapat
serupa Musa di Puncak Turisina.
Sutan Takdir Alisyahbana dalam bukunya Puisi Baru seperti memberikan sebuah catatan kaki untuk menjelaskan maksud penyair. Dikatakannya:
“Bahagian kedua menyatakan rahmat Tuhan kepada Nabi Ibrahim serta dua puteranya, Ishak dan Ismail. Keturunan Ishaq memberikan kepada dunia agama Nasrani, keturunan Ismail agama Islam. Sekarang kedua golongan itu berselisih, masing-masing mengatakan agamanya yang benar. Tetapi bagi si penyair, perselisihan itu tidak berguna. Yang diingininya hanyalah merasa bahagia dekat dengan Tuhan, seperti Nabi Musa dahulu di puncak Turisina”.
Sebuah puisi menarik yang patut kita renungkan bersama di tengah situasi kehidupan, diakui atau tidak, acapkali diharu biru berbagai bentuk peperangan dan tragisnya lagi tidak sedikit peperangan itu dijustifikasi kesucian agama. Tragedi tragis yang tak kunjung usai di Palestina, Afganistan, Kashmir-India-Pakistan, Irlandia-Inggris, Moro-Filipina, Myanmar, Syiria, atau kalau ditarik ke belakang Perang Salib yang menelan jutaan nyawa dari kedua pihak yang bertikai adalah contoh mengerikan potret buram agama yang telah ke(di)hilangan(kan) pesan profetis substansialnya: kerukunan.
Inilah sebuah situasi mencekam di mana para pemeluk agama alpa bahwa tujuan utama dari setiap agama adalah menciptakan kedamaian dengan penuh kasih bagi seru sekalian alam dalam terang cahaya Tuhan. Dalam ideom Nabi saw, bahwa diutusnya beliau guna menegakkan semesta yang lebih beretika, ber-ahklah mulia. Tidak ada satu agama pun sejatinya yang merekomendasikan umatnya menghina kepada mereka yang berlainan agama.
Al-Quran jauh-jauh hari telah menempatkan keragaman sebagai sesuatu yang alamiah. Implikasi dari sikap ini maka “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. al-Baqarah/2: 257) hatta seorang Rasul pun tidak mempunyai otoritas memaksakan iman, “Dan jika Tuhanmu menghendaki, niscaya semua manusia di muka bumi ini akan beriman. Kemudian apakah engkau (wahai Muhammad) kemudian ingin memaksa mereka supaya beriman” (QS. Yunus/10: 99).
Orang yang lebih mencintai peperangan ketimbang perdamian, memilih hidup dalam ketegangan daripada saling berempatik, sibuk saling hujat, lebih bernafsu merayakan perbedaan ketimbang khidmat mentafakkuri persamaan adalah orang yang tidak pernah “memeluk” agama tapi justru “dipeluk” agama yang telah ditafsirkankannya secara serampangan disesuikan dengan kepentingan dan hasrat dangkalnya.
Di sinilah merenungkan sikap yang diambil Amir Hamzah di akhir puisnya itu dalam menghadapi “bertikai pingkai” menjadi sesuatu yang mendesak untuk kita sadari bersama:
padaku semua tiada berguna
hanya satu kutunggu hasrat
merasa dikau dekat rapat
serupa musa di Puncak Turisina.
Di sini Amir Hamzah seolah menyeru kepada siapa saja yang bertikai dengan bersembunyi di balik jubah agama untuk bersama-sama berani meleburkan jiwa seutuhnya dalam kedalaman agama yang fithri. Sebentuk agama yang didalamnya mengandaikan para pemeluknya meraut agamanya terus menerus lewat cinta yang tulus kepada Tuhan yang kemudian diaktualisasikan secara konkret dalam wujud pendistribusian cinta yang tulus juga kepada segenap hamba-Nya. Kaum agamawan pun menjadi sosok-sosok yang perangainya merupakan kepanjangan tangan dari akhlak Allah. Sebuah hadis Nabi mengatakan,”Tumbuhkanlah dalam dirimu akhlak Ilahi (takhallaqu bi aklaq Allah).” Penyair Iqbal melukiskan pribadi yang mengembangkan potensi ilahiah ini sebagai insan penaka Tuhan (mardli khudla).
“Mereka tidak disuruh apapun, kecuali untuk mengabdikan dirinya kepada Allah, dengan memurnikan ketaatannya (mukhlisina lah al-din), dengan menjalankan agama secara benar, yaitu yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat; itulah yang dimaksud dengan agama yang lurus” (QS. al-Bayyinah/98: 5).
Setiap manusia sebenarnya secara fithrah pasti dirasuki kerinduan untuk berpaling kepada agama fithri seperti ini, “Maka hadapkanlah wajahmu pada agama yang benar. Itulah agama Allah, yang Dia telah menjadikan manusia berkesesuaian dengannya. Tidaklah berubah pada kejadian yang diciptakan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. al-Rum/30: 30).
Sebuah kerinduan yang benar-benar purba sebab bagaimana pun manusia secara universal dalam “hati nuraninya” terikat pada perjanjian yang diikrarkan pada zaman azali (primordial) itu, “Dan (ingatlah ketika Tuhamu mengeluarkan anak adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuahnmu?” Mereka menjawab, “Benar, kami bersaksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat nanti kami tidak mengatakan: Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang yang lengah terhadap hal itu (keesaan Tuhan)” (QS. al-Araf/7: 182). Dan tugas para Nabi, sebagaimana dikatakan Fazlur Rahman (1979) tidak lebih adalah, “Menjagakan hati nurani manusia sehingga ia dapat membaca apa-apa yang telah digoreskan pada hatinya itu dengan lebih jelas dan lebih meyakinkan.”
Namun sayang fithrah ini dalam kenyataannya acapkali tertimbun nafsu, ranah spiritual seringkali tertutup jeratan limbo kebendaan dan lebih jauh lagi agama pun “dimaterialkan” menjadi alat meraup keuntungan politis, kuasa, menjadi sekumpulan dogma beku atau rutinitas ritual yang sama sekali tidak mewariskan pencerahan (iluminatif), perubahan (transformatif) dan pembebasan (liberatif) ke arah ruang sosial yang lebih beradab. Dalam gaya bahasa al-Quran, pesona nafsu sering menjerat manusia melupakan ikrar suci itu. Nafsu yang bermuara pada setan yang merasa paling benar sendiri (QS. Shad/38: 76, al-Isra’/17: 63).
Puisi dan haji
Seruan Amir Hamzah yang terkandung dalam puisinya itu menjadi sesuatu yang sangat memikat direnungkan terutama oleh mereka yang tengah melakukan napak tilas atas jejak-jejak Ibrahim as (haji). Dari sini haji pun tidak lagi berhenti sebatas ziarah yang bersifat fisik, namun lebih jauh adalah sebuah ziarah ruhaniah dengan cara menginternalisasikan segenap pesan yang diwejangkan Ibrahim as dan Muhammad saw, baik pesan itu bersifat verbal ataupun non verbal berupa peninggalan-peninggalan bersejarah dari kedua Nabi itu.
Salah satu pesan penting itu, ya itu tadi, bagaimana sepulang haji dapat tumbuh keinsyafan untuk bersama-sama membangun dunia yang damai, menciptakan solidaritas sosial yang utuh. Ini tentu saja merupakan tanggungjawab seluruh umat manusia tanpa melihat asal-usul agama dan ras. Pintu masuk ke arah ini tidak lain adanya kerendahan hati dari setiap kita untuk melakukan dialog secara jujur tanpa prasangka dengan siapa saja sehingga akhirnya akan tumbuh sikap empatik. Pakaian ihram yang seragam, gerak sirkular mengelilingi Kabah, wukuf dalam waktu dan tempat yang sama, dst. sudah cukup berbicara tentang pesan itu.
Kandungan puisi itulah yang tempo hari dikumandangkan Nabi dalam pidato wada’-nya dan secara konkret diteledankan dalam kehidupan masyarakat Madinah yang majemuk. Itu juga sejatinya amanah abadi yang memancar dari sosok Ibrahim as. .
Penulis: Dr. H. ASep Salahudin, M.Ag. (Rektor IAILM Suryalaya)