Filosofi Isra dan Mi’raj
Sudah sangat banyak tulisan-tulisan atau pendapat orang tentang Isra dan Mi’raji. Apa saja pelajaran dari isra dan mi’raj? Pertama, isra adalah memperjalankan. Maksudnya, Nabi Saw di-perjalankan oleh Allah. Artinya, Nabi saw isra bukan dengan kemauan dan kemampuannya sendiri, namun dengan kemauan dan kemampuan Allah. Dalam Bahasa tasawuf, orang yang menghilangkan keinginan pribadinya dan memunculkan kehendak Allah ialah fana.
Ibarat seekor semut jika ia berjalan mendekati pesawat terbang dengan kemauan dan kemampuannya sendiri untuk naik pesawat tentu akan lama. Perjalanan sejauh 500 meter membutuhkan waktu berpuluh-puluh menit, apalagi melintasi ribuan kilometer. Beda lagi ceritanya, jika semut ini dinaikkan seseorang ke dalam pesawat, maka ia tinggal berdiam saja, pesawat terbang melaju dengan cepat dan semutpun dalam hitungan 2 jam sudah melintasi beberapa provinsi dan melakukan perjalanan yang jauh. Demikianlah Nabi Muhammad saw karena diperjalankan, maka jarak antara Masjid Al-Haram Mekah ke Masjid Al-Aqsha Palestina yang jauh dapat ditempuh dalam hitungan jam saja, padahal jaraknya sejauh 1.461,5 km atau 15 jam 49 menit jika naik mobil.
Pelajarannya jika ingin berhasil, maka orang hendaknya belajar mengendalikan keinginan pribadinya dan bermujahadah (berjuang) mewujudkan kehendak atau perintah Allah, sehingga Allah berkenan menolongnya. Dalam sebuah hadits qudsi “Ya dunya, ukhdumi man khadamani.” (Wahai dunia, layanilah orang yang berkhidmah kepada-Ku).
Kedua, Nabi Saw diisrakan dari masjid ke masjid. Masjid merupakan simbol kesucian. Artinya kita harus mengawali dan mengakhiri perjalanan hidup kita dalam keadaan suci. Allah mencintai orang-orang yang suci, baik lahir maupun batin. Suci lahir dengan berwudhu dan mandi. Suci batin dengan membersihkan hati dari sifat-sifat tercela. Suci harta dengan berikhtiar yang halal dan mengeluarkan zakatnya jika sudah mencapai nishab (batas minimal kewajiban mengeluarkan zakat). Bahkan niat seseorang saat akan dan sedang melakukan kebaikan juga hendaknya bersih, karena Allah semata.
Ini juga mengajarkan agar kita tidak melupakan masjid. Shalat, dzikir, pengajian dan shilaturahmi dilakukan di masjid. Juga mengajarkan agar kita memakmurkan masjid. Sebagaimana di jaman Nabi saw, masjid bukan hanya difungsikan sebagai pusat ibadah, namun juga pusat pendidikan dan pusat kegiatan masyarakat. Di jaman Nabi saw, masjid juga menjadi tempat buah-buahan seperti kurma, anggur, dll., yang diberikan oleh orang-orang yang panen buah dan boleh dinikmati oleh siapapun yang datang ke masjid. Tidak heran bila sekarang masjid-masjid mencoba melayani jama’ahnya dengan menyediakan minuman, makanan dan lainnya. Misalkan Masjid Jogjakaryan setiap shalat shubuh berjama’ah menghidangkan segelas susu dan sepotong roti untuk setiap jama’ahnya.
Seorang tokoh Yahudi berkata, ”Jangan takut dengan umat Islam selama jumlah yang shalat shubuh berjama’ahnya tidak sebanyak jama’ah yang shalat jum’at berjama’ah.” Maka dimana-mana ada gerakan shalat shubuh berjama’ah, dibuat spanduk, dibuat kegiatan bersama, dll. Kasus penyerangan kiyai dan ustadz di beberapa tempat yang dilakukan pada waktu shubuh semoga tidak menyurutkan semangat umat Islam untuk terus menegakkan shalat shubuh berjama’ah di masjid terdekat.
Ketiga, Mi’raj adalah dinaikkannya Nabi saw dari Masjid Al-Aqsha Palestina menuju langit pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh dan terus sampai Sidrat Al-Muntaha. Artinya kita juga harus meningkat dan naik. Di Bulan Rajab yang agung ini kita hendaknya meningkatkan amal saleh, baik kuantitas maupun kualitas. Meningkat baik dalam hal ibadah ritual maupun ibadah sosial.
Di langit pertama, Nabi Saw bertemu dengan Nabi Adam as yang di sebelah kanan dan kirinya ada kelompok ruh. Saat menoleh ke sebelah kanan, maka ia tersenyum dan saat menoleh ke kiri, maka ia menangis. Mereka yang ada di sebelah kanan Nabi Adam adalah ahli surga dan yang ada di sebelah kirinya adalah ahli neraka. Di langit kedua, Nabi saw bertemu dengan Nabi Yahya as dan Nabi Isa as. Keduanya adalah saudara sepupu. Sewaktu di dunia, keduanya sempat hidup bersama. Keduanya dikumpulkan. Ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa kita akan dikumpulkan bersama dengan orang yang kita cintai. Maka kita hendaknya mencintai orang-orang saleh agar dikumpulkan bersama mereka.
Di langit ketiga, Nabi saw bertemu dengan Nabi Yusuf as, seorang yang mulia putra Ya’qub yang mulia, putra Ishaq yang mulia dan putra Ibrahim yang mulia. Ayah, kakek dan buyut Nabi Yusuf adalah para nabi. Pelajaran bagi kita hendaknya kita menjadi orang yang mulia, sehingga dapat melahirkan anak dan keturunan yang mulia.
Di langit keempat, Nabi saw bertemu dengan Nabi Idris as. Di langit kelima, Nabi saw bertemu dengan Nabi Harun as. Di langit keenam, Nabi saw bertemu dengan Nabi Musa as yang gagah, kuat dan pemimpin yang berwibawa. Hendaknya kita meneladani Nabi Musa as dengan menjadi orang yang kuat dan amanah.
Di langit ketujuh, Nabi Saw berjumpa dengan Nabi Ibrahim as, kekasih Allah (kholilullah), teladan dalam agama hanif. Beliau menitipkan salam dan berpesan untuk umat Nabi saw agar memperbanyak bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir dan membaca hauqalah.
Nabi terus naik sampai ke Sidratul Muntaha. “Hingga aku tiba di Sidratul Muntaha yang diliputi warna-warna yang aku tidak tahu apa itu. Kemudian aku dihantarkan ke surga.” (HR. Bukhari dan Muslim). Nabi saw melihat dan masuk ke dalam surga. “Saya dimasukkan ke dalam surga, ternyata di dalamnya ada kubah-kubah dari mutiara dan tanahnya dari misik (kasturi) (HR. Bukhari). Subhanallah tentu saja masih banyak pelajaran dari kisah isra dan mi’raj nya Nabi Muhammad saw. Termasuk mendapat perintah langsung dari Allah untuk menjalankan shalat fardhu sebanyak lima waktu dalam sehari semalam. Demikian maka shalat merupakan salah satu bentuk mi’rajnya orang yang beriman. Mi’raj menemui Allah dengan ruhaninya, amiin.
Rojaya (Wakil Dekan Fakultas Dakwah IAILM Suryalaya / Anggota Divisi Infokom LDTQN Suryalaya)