Shalat mikrajnya orang mukmin
Rajab bulan yang memiliki sejarah penting bagi umat Islam yaitu sejarah terjadinya peristiwa isra dan mikraj nabi Muhamad SAW., sebuah peristiwa besar (mukjizat) yang menguji kesadaran, keimanan, dan ketakwaan manusia.
Di antara tanda-tanda orang yang bertakwa telah disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 3: الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۙ Artinya, (yaitu) orang-orang yang beriman pada yang gaib, menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Dari ayat ini kita bisa mengetahui bahwa orang yang bertakwa itu pasti percaya kepada hal yang dapat dindra dan tidak bisa dirasa, direkam oleh indra serta tak bisa dinalar secara akal manusia (hal yang ghaib). Orang yang bertakwa juga tandai dengan konsistensinya dalam menjalankan shalat sebagai ibadah vertikal menyembah Allah SWT. Percaya pada hal yang ghaib dan menjalankan shalat, dua hal yang terkait dengan keberadaan kita saat ini yakni berada di bulan Rajab 1444 H.
Sekilas Isra Mikraj
Sebagaimana kita ketahui, pada bulan Rajab telah terjadi sebuah peristiwa ghaib yang tak masuk akal dan hanya dipercayai oleh orang-orang yang beriman, yakni peristiwa Isra Mikraj nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini menjadi peristiwa ghaib yang harus diterima oleh keimanan terlebih dahulu, sebelum kita menggunakan akal dan nalar.
Isra berarti perjalanan nabi Muhammad SAW dari masjid al-Haram di kota Makkah ke masjid al-Aqsa di Palestina (lebih kurang 1.500 kilometer). Sedangkan Mikraj adalah perjalanan beliau dari masjid al-Aqsa ke Sidratul Muntaha yakni tempat di langit yang bersifat ghaib, tidak mungkin dijangkau oleh panca indra manusia, bahkan tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran. Dua perjalanan ini ditempuh nabi Muhammad hanya dalam satu malam. Peristiwa agung ini telah diterangkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 1:
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Artinya: Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Dalam perjalanan spiritual ini, nabi Muhammad SAW menunggangi seekor hewan yang bernama buroq. Buraq adalah kendaraan yang digunakan rasulullah SAW untuk melakukan perjalanan malam atau yang juga disebut dengan peristiwa Isra Mikraj. Kendaraan ini dijelaskan dalam hadits melaju sangat cepat hingga dapat membantu rasulullah SAW mempersingkat waktu perjalanan hanya dalam satu malam.
Shalat Mikrajnya Orang Mukmin
Tugas utama manusia adalah beribadah kepada Allah SWT. Allah berfirman dalam Surat Adz-Dzariyat (51) ayat 56
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Syaikh Abdul Qodir Jailani bernafsirkan kata liyabuduun dengan liyarifuun (Makrifat). Dengan demikian tugas utama manusia adalah makrifat kepada Allah SWT. Agar perjalanan makrifat kepada Allah SWT dapat berjalan dengan baik, cepat, dan tepat maka kita pun harus memakai alat atau kendaraan. Apa alat atau kendaraanya? Dalam sebuat istilah dinyatakan,
الصَّلاَةُ مِعْرَاجُ الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya: Shalat itu adalah mikraj bagi orang-orang yang beriman.
Sekalipun lafadz di atas tidak kita temui dalam kitab-kitab hadits dengan disebutkan runtutan rawinya, tetapi kalau kita lacak, kalimat tersebut adanya dalam beberapa kitab tafsir seperti Ruhul Ma’ani (9/271), Tafsir Naisabur (3/192) dan Ruhul Bayan (2/213). Semuanya disebutkan tanpa sanad. Namun maknanya memotivasi kita untuk lebih semangat dalam shalat. Karena mikrajnya seorang mukmin kepada Allah SWT. melalui shalat.
Kalau nabi Muhammad dapat mikraj kepada Allah ke sidrah al muntaha dengan menunggangi buroq, maka kita pun harus mampu mikraj (marifat) kepada Allah SWT melalui shalat. Dengan shalat, membuat kita terbang tinggi, makrifat dan wushul kepada Allah SWT. Dalam sebuah hadits disebutkan yang paling mendekatkan seorang hamba dengan Allah SWT adalah melalui shalat.
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
Artinya: Keadaan paling dekat seorang hamba dari Rabb-nya adalah ketika dia dalam keadaan sujud, maka perbanyak doa (di dalamnya).” (HR. Muslim).
Dalam melaksanakan shalat, seharusnya kita senantiasa mengedepankan kualitas shalat, bukan hanya kuantitas shalat saja. Kewajiban shalat yang difokuskan kepada kuantitas atau jumlah saja, akan menjadikan diri terbebani dalam menjalankannya. Jika kewajiban shalat kita kerjakan dengan mengedepankan kualitas, maka shalat yang dilakukan akan benar-benar bisa dinikmati serta berdampak pada perilaku serta kualitas kehidupan kita.
Rasulullah pernah mengingatkan dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad يأَتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُصَلّوْنَ وَلاَ يُصَلُّوْنَ Artinya, akan datang suatu masa menimpa manusia, banyak yang melakukan shalat, padahal sebenarnya mereka tidak shalat.
Kita tentu berharap agar shalat kita termasuk sebenar-benarnya shalat. Untuk mencapai itu memang berat, karena untuk menunaikan ibadah shalat terutama shalat fardu sangat berat, kecuali bagi orang telah khusyu. Allah SWT berfirman,
وَٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلْخَـٰشِعِينَ
Artinya: Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (QS. Al-Baqoroh ayat 45).
Pertanyaan kemudian siapakah orang yang khusyu itu? Orang yang khusyu adalah orang-orang yang hatinya selalu diisi dengan zikir kepada Allah. Khusyu dalam arti khusyu yang benar-benar khusyu, bukan khusyu palsu atau khusyunya seperti orang munafik. Dalam hal ini rasullah SAW senantiasa berdoa agar terhindar dari khusyunya orang munafik.
اَللهُمَّ اِنِّى أَعُوْذُ بِكَ مِنْ خُشُوْعِ النِّفَاقِ
Artinya: Wahai Allah jauhkanlah aku dari khusyuk munafik.” Para sahabat bertanya, Apa maksudmu? Yaitu kekhusyukan palsu, hanya fisik, bukan hati.
Shalat dan dzikir merupakan dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Pada saat kita melaksanakan shalat maka harus dibarengi dengan dzikir. Ketahuilah bahwa shalat merupakan ibadah yang bertujuan mengingat Allah sebagaimana firman-Nya. أَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي Kerjakanlah shalat untuk mengingat-Ku (QS. Thaha: 14). Kalau shalatnya tidak dibarengi dengan dzikir kepada Allah, maka shalatnya akan tergolong shalat syahuun (lalai). Lalai ditandai dengan mulut sibuk membaca bacaan salat dengan fasih, tetapi hati lupa kepada Allah SWT. Allah SWT mengancam mereka yang shalat dalam keadaan lalai. Dalam surat al-Maun ayat 4-5 Allah SWT menjelaskan-Nya, فَوَيْل لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتهمْ سَاهُونَ (Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya). Bagaimana agar kita tidak termasuk orang yang celaka?
Pertama, kita harus menyadari sepenuh hati bahwa shalat merupakan ibadah utama. Shalat merupakan pembeda antara siapa yang islam dan siapa yang bukan islam; shalat bagian dari rukun islam; shalat merupakan tiangnya agama, barang siapa yang mendirikan shalat berarti dia menegakan agama. Sebaliknya barang siapa yang meninggalkan shalat berarti dia merusak agamanya. Rasullah SAW bersabda,
الصَّلاةُ عِمادُ الدِّينِ ، مَنْ أقَامَها فَقدْ أقَامَ الدِّينَ ، وَمنْ هَدمَها فَقَد هَدَمَ الدِّينَ
Artinya: Sholat adalah tiang agama, barangsiapa yang menegakkannya, maka ia telah
menegakkan agamanya dan barangsiapa yang merobohkannya, berarti ia telah
merobohkan agamanya.
Kedua, menjaga kualitas shalat, baik dari aspek aturan-aturan fiqihnya seperti syarat, rukun, dan sunat-sunatnya, maupun kebersihan fikiran dan hati pada saat melaksnakan shalat. Terkait dengan kewajiban menjaga shalat, Allah SWT. berfirman dalam al-Quran,
حَـٰفِظُوا۟ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلْوُسْطَىٰ وَقُومُوا۟ لِلَّهِ قَـٰنِتِينَ
Artinya: Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu. (QS. Al-Baqarah:238).
Shalat mana yang harus kita jaga? Tuan Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani Qs, dalam kitab Sirrul Asrornya menjelaskan, ada dua jenis shalat yang harus kita jaga, yaitu shalat syariah dan tharekat. Shalat syariat adalah salahnya seluruh badan yang dzahir dengan gerakan tubuh seperti badan berdiri, lidah membaca bacaan shalat, ruku, sujud, mengeluarkan suara dan bacaan-bacaan. Shalat syariat mempunyai waktu tertentu dalam satu hari satu malam lima kali. Sunnahnya dilakukan di masjid dengan berjamaah dan menghadap ka’bah serta mengikuti imam, tanpa riya, dan sumáh.
Sedangkan shalat tharekat adalah shalatnya hati, hati selama-lamanya berdzikir Allah SWT. Shalat tharekat dilakukan selama-lamnya tanpa batas waktu selama hidup di dunia dan akhirat. Masjidnya dalah hati. Berjamaahnya ialah terpadunya kesucian batin dengan selalu memperdengarkan tauhid dengan lisan batin (dzikir khofi). Imamnya adalah rasa rindu di dalam hati unutk samapai kepada Allah. Kiblatnya ialah Allah SWT yang maha tunggal.
Ketika kedua shalat tersebut dapat kita jaga dengan baik dan benar, maka shalat akan menjadi alat atau kendaraan yang mampu membawa kita makrifat dan wushul kepada Allah SWT dengan cepat.
Tugas kita adalah berikhtiar untuk terus melaksanakan dan menjaga kualitsa shalat, baik shalat syariat maupun shalat tharekat, dengan istiqomah, mengutamakan ibadah shalat tepat waktu, dan menunaikan shalat yang dipenuhi rasa khusyu kepada Allah SWT melalui hadirnya hati dengan senatiasa mengingat (berdzikri) kepada Allah SWT. Wallahu ‘alam biishowab.
Penulis : Ketua I LDTQN Pontren Suryalaya/Ketua Prodi PGMI IAILM Suryalaya