Perkembangan Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya di Singapura
Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya (TQNPPS) pertama kali masuk ke Singapura bertepatan dengan akhir perang dunia ke-2 tepatnya pada tahun 1945, orang yang pertama kali membawa TQNPPS ini merupakan seorang murid KH. Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) pendiri Pondok Pesantren Suryalaya sekaligus Mursyid TQNPPS. H. Ibin Sarbini atau “Wa Ibin” panggilan akrabnya di Singapura merupakan seorang pengusaha kopiah/songkok dari Tasikmalaya, beliau meninggalkan kampung halamannya untuk merantau dan membuka toko di Onan Road, Geylang Singapura sebagai daerah yang banyak ditinggali orang melayu muslim.
Selama berada di Singapura beliau banyak mengenal tokoh-tokoh ulama, terutama yang dikenalkan pemilik toko yang bersebelahan dengan tokonya yaitu Ma’arof Osman, Wa Ibin sering diajak untuk mengikuti pengajian yang dipimpin oleh seorang ulama muda bernama Ust. H. Ali bin H. Muhammed. Setelah sekian lama mengikuti pengajian tersebut, Wa Ibin merasa simpatik dan kagum terhadap keluasan ilmu Ust. H. Ali bin H. Muhammed dan selalu mendoakan agar ia menjadi pengamal TQNPPS.
Saat pulang ke kampung halamannya di Tasikmalaya, Wa Ibin dipanggil oleh KH. Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom) yang sejak 1953 telah menjadi pengganti Abah Sepuh sebagai Mursyid TQNPPS untuk diangkat menjadi wakil talqin di Singapura, namun Wa Ibin menolaknya dengan halus karena merasa dirinya tidak pantas untuk mengemban amanah tersebut dan kemudian Wa Ibin kembali ke Singapura.
Setibanya di Singapura, Wa Ibin memberikan buku “Suryalaya Selayang Pandang” dan buku “Tanbih” kepada Ust. H. Ali bin H. Mohammed dalam rangka berdakwah dengan metode “Dakwah bil kitabah”. Setelah mengkaji isi dari buku-buku yang diterimanya, Ust. H. Ali bin H. Mohammed menemui Wa Ibin untuk mengutarakan keinginannya bertemu dengan Abah Anom di Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya. Setelah mendapatkan petunjuk dari Wa Ibin, pada bulan Agustus 1974, Ust. H. Ali bin H. Mohammed bersama tiga jama’ahnya yaitu Ma’arof Osman, Yosof H. Wanjour dan Abubakar berangkat ke Indonesia untuk menemui Abah Anom di Pondok Pesasntren Suryalaya dan mendapatkan talqin dzikir TQNPPS. Setelah bermukim/ nyantri selama satu tahun di Pondok Pesantren Suryalaya dan menerima bimbingan secara intens dari Abah Anom, berkat kegigihan dalam riyadlohnya yang hakikatnya anugerah dari dari Alloh SWT. pada tahun 1975 Pangersa Abah Anom mengangkat Ust. H. Ali bin H. Mohammed menjadi wakil talqin TQNPPS.
Sekembalinya ke Singapura setelah diangkat menjadi wakil talqin TQNPPS, Ust. H. Ali bin H. Mohammaed pertama-tama mentalqin keluarganya, kedua orang tuanya, tiga adiknya dan jama’ah yang mengikuti pengajiannya. Pengamalan TQNPPS di Singapura pada awalnya dilaksanakan di Cahaya Baru Taman Pengajian di kawasan Geylang Serai No. 983G yang didirikan pada tahun 1957 oleh ayahandanya, Almarhum Haji Mohammed bin Ali sebagai tempat anak-anak muslim untuk belajar agama.
Amaliyah TQNPPS di Cahaya Baru Taman Pengajian sudah diikuti oleh sekitar 50 orang ikhwan yang berlangsung hingga tahun 1980, karena terkena proyek pembangunan Geylang Serai menjadi kawasan modern. Sejak itulah aktivitas amaliyah dipindahkan ke rumah salah seorang ikhwan TQNPPS, yaitu H. Samad bin Hasan di Jalan Masjid no. 26. Amaliyah TQNPPS di tempat ini berlangsung selama 3 tahun, pada waktu itu jumlah pengamal TQNPPS berjumlah sekitar 100 orang termasuk pengurus sebuah masjid di Geylang Road yaitu Masjid Khodijah.
Setelah ada pengurus Masjid Khodijah yang menjadi ikhwan TQNPPS, kegiatan amaliyah-pun mulai diamalkan secara mingguan di tempat tersebut. Pada tahun 1983 seluruh pengurus Masjid Khodijah sudah menjadi ikhwan TQNPPS dan pada tahun itu pula pemerintah Singapura menyerahkan kepengurusan Masjid Khodijah kepada Ust. H. Ali bin H. Mohammed, sehingga kegiatan amaliyah TQNPPS mulai diamalkan sehari-hari di masjid tersebut.
Di bawah kepengurusan komunitas TQNPPS yang dipimpin Ust. H. Ali bin H. Mohammed, Masjid Khodijah mulai dikembangkan dalam aspek keagamaan dan juga aspek fisik bangunannya yang pada saat diserahkan sudah mulai rusak. Program keagamaan yang diselenggarakan di antaranya kelas-kelas/ kursus-kursus keagamaan, workshop, kursus kepemimpinan, seminar keagamaan, kuliah-kuliah tasawuf, menyelenggarakan Pondok Inabah untuk menyembuhkan korban penyalahgunaan narkotika, dan membentuk Religius Rehabilitation Group (RRG) yaitu lembaga penanganan bahaya terorisme dengan pendekatan agama. Adapun kegiatan pembangunan fisik yaitu dengan merenovasi hampir keseluruhan bangunan Masjid Khodijah dan menambah 1 bangunan (4 lantai) yang diperlukan untuk kantor, kelas, aula, perpustakaan, dan ruang rapat. Keseluruhun biaya pembangunan tersebut berasal dari ikhwan TQNPPS di Singapura.
Menurut Ust. H. Ali bin H. Mohammed, berkembangnya TQNPPS di Singapura tampaknya dipengaruhi oleh pembangunan Masjid Khodijah baik fisik maupun non-fisik, hingga saat ini jumlah ikhwan TQNPPS di Singapura mencapai angka lebih dari 3000 orang. Saat ini, orang-orang Singapura terutama kalangan muslim menyebut Masjid Khodijah sebagai “Masjid Sufi” karena kegiatan keagamaan di masjid tersebut diisi oleh aktivitas keagamaan para sufi, yaitu amaliyah TQNPPS.
Penulis: Muhamad Kodir (Ketua Umum LDTQN Pontren Suryalaya)