Nasionalisme TQN Suryalaya
“Kudu taat ka agama jeung nagara” itulah salahsatu ungkapan yang sering kita dengar dan baca dalam Tanbih Pangersa Abah Sepuh. Ungkapan ini melambangkan tentang wawasan kebangsaan TQN Suryalaya. Sebuah peneguhan bagaimana persoalan kebangsaan ditarik satu helaan nafas dengan penghayatan keagamaan.
Coba kita simak perjalanan Pesantren Suryalaya kaitannya dengan ke-Indonesia-an ini. Pengersa Abah Sepuh dikenal sebagai sosok yang militan menghadapi kaum kolonial. Pangersa Abah Anom tidak gentar menghadapi kaum pemberontak. Menghadapi huru hara dari gerakan yang hendak memaksakan ideologinya baik yang berhaluan kiri (PKI) atau pun kanan (DI/TII). Pada masa itu Pondok Pesantren Suryalaya sering mendapat gangguan gerombolan. Terhitung lebih dari 48 kali serangan dilakukan DI/TII ke madrasah yang dikelola Pangersa Abah Anom.
Bersama Brig. Jend. Akil bahu-membahu memulihkan keamanan dan ketertiban di wilayah Priangan. Pangersa Abah Anom membantu pemerintah menyadarkan eks anggota PKI dan DI untuk kembali ke jalan yang benar menurut agama dan negara.
Islam nasionalis
Pangersa Abah Anom memilih jalur kultural-beragama yang moderat ketimbang masuk menjadi bagian dari DI yang memperjuangkan Islam secara ideologis dan berhadap-hadapan dengan pemerintahan sah. Seperti disampaikan juga oleh pembantu khususunya almarhum Sukriya Atmadja bahwa garis politik Pangersa Abah Anom dan Pesantren Suryalaya adalah Islam nasionalis dan republikan, semangat keislaman yang mengakui Pancasila dan UUD 1945 sebagai konstitusi dan NKRI sebagai bentuk final dalam kehidupan bernegara.
”Politik kenegaraannya adalah Islam, nasionalis, republikan. Gerakan Islam inklusif yang menjadikan NKRI sebagai kerangka dasar dalam perjuangannya. Hal ini dibuktikan mulai dari bujukan Abah Sepuh kepada Wiranatakusumah untuk tidak melanjutkan obsesinya mendirikan Negara Pasundan, perjuangannya bersama tentara menghentikan gerakan DI dan pilihannya untuk menjadikan golongan karya sebagai garis politiknya selama orde baru…”
Hubungannya yang erat dengan kekuasaan pada zaman Orde Baru merupakan ijtihad politik Pangersa Abah Anom yang cemerlang dalam upaya mencairkan ketegangan hubungan penguasa dengan pesantren-pesantren yang ada di wiliyah Priangan Timur. Pangersa Abah Anom berada di pusaran politik kekuasaan tanpa larut di dalamnya. Politik yang diusungnya lebih dekat kepada politik adiluhung. Politik nilai seperti terbaca dalam tanbih, kudu logor dina liang jarum ulah sereg di buana. ulah medal sila mun ka panah
Penggalan kalimat tanbih ini menggambarkan keharusan sikap lapang. Ulah rék kajongjonan ngeunah déwék henteu lian. Sebuah pengajaran untuk mengembangkan sikap empatik kepada sesama. Pangersa Abah Anom mewartakan pesan beragama yang dapat berdialog secara produktif dengan politik kebangsaan sehingga tampak pertautan yang kental antara nilai nilai agama dengan politik keseharian. Dalam visi Pangersa Abah Anom, keberagamaan yang menyatu dengan kenegaraan. Kecintaan kepada tanah air sebagai bagian dari panggilan luhur iman. Hubbul wathán minal íman.
Mencari cageur bageur
Tarekat dan negara berangkat dari hasrat yang sama untuk tidak pernah berhenti (reureuh) mencari kebahagiaan lahir batin, kamakmuran jasmani dan rohani, cageur bageur sebagaimana dirumuskan Pangersa Abah Sepuh dalam guguritannya:
Satungtung neangan kidul, kalér deui kalér deui | Selama mencari selatan, utara lagi utara lagi
Sapanjang néangan wetan, kulon deui kelon deui | Selama mencari timur, barat lagi barat lagi
Sapanjang néangan berang, peuting deui peting deui | Selama mencari siang, malam lagi malam lagi
Satungtung muruan untung, rugi deui rugi deui | Selama memungut untung, rugi lagi rugi lagi
Sapanjang néangan beunghar, fakir deui fakir deui | Selama mencari kaya, fakir lagi fakir lagi
Sapanjang néangan caang, poek deui poek deui | Selama mencari terang, gelap lagi gelap lagi
Satungtung mamanggul unggul, asor deui asor deui | Sepanjang memikul unggul, daif lagi daif lagi
Sapanjang néangan jaya, apes deui apes deui | Selama mencari jaya, apes lagi apes lagi
Sapanjang néangan senang, ripuh deui ripuh deui | Sepanjang mencari senang, susah lagi susah lagi
Hikayat panjang
Sejarah Indonesia kalau kita buka lebih jauh adalah hikayat panjang tentang perlawanan umat Islam (kaum tarekat) terhadap kolonial Hindia Belanda. Sebut saja perlawanan Banten, Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien; Imam Bonjol; KH. Hasan dari Luwu; Gerakan Rifaiyah di Pekalongan; Gerakan KH. Wasit dari Cilegon; Perlawanan KH. Jenal Ngarib dari Kudus; KH. Ahmad Darwis dari Kedu; KH Wahid dan KH Asnawi dalam pemberontakan Banten, KH Zainal Mustafa Tasikmalaya dan juga perlawanan heroik yang dilakukan Pangeran Diponegoro, dan masih banyak lainnya.
Pada awal pergerakan nasional memanfaatkan politik etis Hindia Belanda elit muslim juga mengekspresikan perjuangan politik demi memburu imajinasi ke-Indonesia-an dalam wujud bikin perserikatan, seperti Serikat Dagang Islam (1905), Serikat Islam (1912), Muhammadiyah (1912), Jamiatul Khair dan Al-Irsyad (1922) dan Nahdatul Ulama (1926). Disamping tentu saja sayap kaum nasionalis juga kebanyakan tokohnya beragama Islam seperti dilakukan Budi Oetomo, 20 Mei 1908, dan Indische Partij (1912), Perhimpunan Indonesia (PI) Garis nasionalisme-keislaman dan tarekat yang senafas dengan ke-Indonesia-an seperti dicanangkan Pangersa Abah Anom, inilah yang harus terus menerus kita gelorakan. Tidak perlu terpikat godaan politik aneh-aneh yang belum teruji dan belum tentu membawa kemaslahatan bagi bangsa dan agama.
Asep Salahudin (Rektor IAILM Suryalaya)