Cakrawala Tasawuf
Trending

Menjadi Insan Mulia melalui Pemaafan: Kajian Psikologi Positif dan Psikologi Transpersonal

“Selamat Hari Idul Fitri. Mohon Maaf Lahir dan Batin” . Ungkapan tersebut nanti akan menjadi hit dan trending topic di media social, juga pada percakapan dan pertemuan antara sejumlah insan. Saking sudah jadi “klise” nya ungkapan itu, seringkali makna dari ungkapan itu tak dapat terungkap dalam keselarasan antara ucapan-tulisan-pikiran-perasaan-tindakan.

Penzalim , Terzalim, Penzalim Diri Sendiri

Peristiwa kezaliman terjadi dalam keseharian. Ayah yang memukul anaknya,  Pasutri yang berselingkuh dari pasangannya, Orangtua yang mengabaikan dan menelantarkan anak, Staff yang dilecehkan oleh Pimpinan unit kerjanya, Penghutang yang abai janji terhadap pemberi piutang, hingga Pimpinan masyarakat yang melupakan janji-janji saat kampanye.

Kita melihat hubungan yang tidak setara antara penzalim dan  terzalim. Penzalim seakan memiliki kuasa untuk bertindak semena-mena , dan di pihak lain ada Terzalim yang tiada daya . Dalam hubungan yang tidak setara ini para Terzalim seringkali tergelincir pada meneruskan kezaliman yang dilakukan penzalim. Terzalim mengalami ragam duka lara , luka batin , geram dendam, atau dengki benci yang makin menyiksa dirinya. Pada saat seperti ini terzalim justru menjadi penzalim bagi diri sendiri.

Terzalim yang menjadi Penzalim diri sendiri usai mengalami kejadian penzaliman seringkali menjadi seperti orang yang terkena sabetan clurit dari seseorang.  Alih-alih ia mengeluarkan clurit dari tubuhnya , membuangnya dan mengobati lukanya, ia malah menahan clurit itu, memegang penyabet clurit dan membawa kemana-mana clurit yang menancap beserta penyabetnya kemanapun ia pergi.

Terzalim yang menjadi Penzalim diri sendiri ini seringkali kemudian menjadi pendongeng kisah getir. Ia menyampaikan kisah getirnya kepada sejumlah orang , bahkan kepada oranng yang sama lebih dari dua kali, hingga ia kehilangan teman karena bosan menyimak kisah yang sama. Pendongeng kisah getir ini sering bercerita degan karakternya si pelaku, si pelaku sebagai penjahat, berkisah tentang ucapan-tindakan si pelaku, dan bercerita tentang rasa nyeri yang dialamatkan akibat tindakan si pelaku.

Hal yang menarik dari sisi Neuropsychology, pendongengan kisah getir ini bukan makin menyembuhkan malah makin membuat luka batin semakin menganga dan diri semakin nestapa. Berdongeng kisah getir adalah tindakan sia-sia bila dilakukan untuk terjadi penyembuhan dan kenayamanan.

Apakah itu Pemaafan ?

Baca Juga  Bahasa Rindu, Bahasa Guru

Pangersa Guru Almarhum, Syaikh Ahmad Shahibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom) mengungkapkan pengertian Pemaafan dalam pernyataan“Kudu Mikaasih ka Jalma nu Mikangewa ka Maneh”.

Kajian-kajian Psikologi Positif  yang dimotori oleh Robert Enright , menyatakan “

Seseorang,  secara rasional menentukan bahwa ia diperlakukan tidak adil. Ia dinyatakan Memaafkan saat ia mengabaikan melampiaskan dendam dan tanggapan sejenis (di mana ia memiliki hak melakukannya)dan berusaha keras menanggapi pembuat kesalahan dengan didasari prinsip moral Belas Kasih, yang meliputi : Perasaan kasihan, Penghargaan tanpa syarat, Murah Hati, dan Cinta Moral .

Indikator Pemaafan

Indikator dari Pemaafan adalah muncul dan menetapnya rasa kasih sayang pada diri insan. Kemampuan untuk mampu memilih respon yang baik inilah yang menunjukkan kualitas kemanusiaan. Saat seseorang berbuat buruk dan ditanggapi perbuatan buruk yang sama, atau saat kita berbuat baik sebagai tanggapan orang berbuat baik kepada, tak ada bedanya perilaku kita dengan robot. Perilaku kita hanyalah tanggapan atas stimulus yang muncul. Perilaku kita terjadi hanya karena kebiasaan, bukan karena sebuah pilihan bebas, bukan pula didasari pemikiran mulya.

Diri yang dikaruniai qolbu dengan fungsi fikir dan dzikir membuat manusia mampu menanggapi stimulus dengan memilah dan memilih. Tindakan buruk dari orang lain usai dikaji dengan pikiran dan diolah dengan dzikir terhadap kemahamulyaan Allah ditanggapi bukan dengan sikap adil (melakukan tindakan yang sama dan sejenis) tetapi dengan memilih tindakan yang lebih mulya bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Sebagian orang saat terzalimi secara otomatis merasa sakit hati, malu, marah, kecewa, benci, marah, geram, dendam. Pada saat seseorang dalam dirinya mengalami perasaan-perasaan ini, ia tanpa sadar sedang membuat dirinya menjadi semakin tidak nyaman dan menjadi semakin teraniaya. Orang yang memilih tanggapan seperti ini dapat dinyatakan sedang melakukan kezaliman pada diri sendiri.

Pemaafan dan Kesejahtraan Jiwa

Sejumlah penelitian mutakhir dalam bidang Psikologi positif menunjukkan bahwa ketidak mampuan memaafkan berkaitan dengan gangguan-gangguan kejiwaan meliputi depressi, cemas, khawatir, insomnia, hysteria konversi, distress, obsessive-convulsive disorder, bipolar . Ketidak mampuan melakukan pemaafan juga berhubungan serat dengan pengidap psikosomatis, migraine, tekanan  darah tinggi dan penyakit jantung. Peneliti lainnya menemukan keselarasan antara pemaafan dengan kemampuan bersyukur, keberimanan, orientasi keagamaan intrinsic, dan kebahagiaan hidup.

Baca Juga  "Inti agama adalah permainan"

Pemaafan sebagai Takhalli, Tahalli dan Tajalli

Dalam kajian Psikologi Sufi, pemaafan adalah ibarat trisula yang memiliki tiga fungsi. Pemaafan merupakan riyadhoh untuk takhalli, menghindarkan diri dari kecenderungan kepada selain Allah, mencegah diri dari kebiasaan terpuruk dalam pikiran-perasaan-ucapan-tindakan buruk termasuk terpenjara dalam emosi yang tidak memberdayakan (malu, duka lara, nestapa, kecewa, marah, benci, dengki, dendam).

Pemaafan merupakan riyadhoh untuk tahalli, menghias diri dengan perilaku mulya yang disukai Allah, melatih diri dengan membiasakan tindakan mulya sejak dalam pikiran dilanjutkan dengan perasaan, dimunculkan dalam ucapan serta tindakan baik. Pada tahap ini, manusia berupaya untuk menampilkan akhlak Allah dimulai dari dirinya, kemudian dialihkan kepada sesama, disebarkan dalam bentuk kasih sayang kepada semesta alam.

Pemaafan merupakan riyadhoh untuk tajalli, sebagai buah dari upaya yang sungguh-sungguh untuk nahyi anil munkar dan amar ma’ruf atas dirinya sendiri, kebesaran Allah sebagai kasih sayangnya tersingkap kepadanya.

Pemaafan dan Dzikir Latifah

Bagi Ikhwan Thariqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyyah dan Thariqat Naqsyabandiyyah seseorang penzalim boleh jadi terpasung dalam dorongan Latifah Qolbi (Menipu, Menuruti Hawa, Suka Mencela, Pamer atas amal, Suka Menggunjing, Bangga Diri, Lupa, Berbohong, Menganiaya) dan Latifah An Nafsi (Khianat, Serakah, Kikir, Syahwat, Takabur, Bodoh, Pemarah).  Seorang yang terzalimi bahkan penzalim diri sendiri pun sering terpenjara dalam latifah yang sama. Arahnya saja berbeda. Bila penzalim melakukan hal itu kepada orang lain, sementara bagi terzalim atau penzalim diri sendiri ia melakukan hal tersebut kepada dirinya sendiri.

Dzikir Latifah membuat diri mampu menguatkan Latifah Khofi (Welas Asih, Meninggalkan daripada selain Allah, Baik budi pekerti, Sayang sesama makhluk Allah, Membebaskan Kesalahan Orang Lain, Membawa kepada Kebaikan) dan Latifah Sirri (Senang beribadah, Tawakkal, Murah tangan, Takut melanggar larangan Allah, Ridho, Syukur) .

Pemaafan dengan demikian adalah kemampuan seorang ikhwan untuk menyadari kecenderungan yang ada pada latifah qolbi dan latifah an Nafsi , kemudian berusaha menanggalkan dan meninggalkannya dan beralih kepada mengekalkan dirinya berada dalam Latifah Khofi dan Latifah Sirri.

Riyadhah Pemaafan Naqsyabandiyyah

Tradisi Khazaqan Naqsyabandi mengajarkan riyadhah untuk melakukan pemaafan. Tradisi ini dilakukan usai shalat fardhu .

  1. Ambillah posisi tubuh yang nyaman (duduk atau berbaring)
  2. Berdo’a kepada Allah yang Maha Pemaaf sehingga Anda diberi kemampuan memaafkan
  3. Munculkan di benak anda wajah orang-orang yang berjasa kepada Anda, kenang perilakunya atas Anda, Cermati manfaat tindakan itu untuk kemajuan diri Anda, berterima kasihlah kepadanya, Do’akan  dan lepaskan ia pergi dari ingatan Anda
  4. Munculkan di benak anda wajah orang-orang yang telah menzalimi Anda, Sadarilah bahwa Allah lah yang mengijinkan ia hadir dala kehidupan anda, kenang perilakunya atas Anda, Cermati manfaat tindakan itu untuk kemajuan diri Anda, berterima kasihlah kepadanya, Do’akan  dan lepaskan ia pergi dari ingatan Anda
  5. Akhiri dengan do’a kebaikan untuk Anda
Baca Juga  KEMERDEKAAN: Lebih dari Sekedar Bebas

Kajian Psikologi Positif dan Psikologi Transpersonal atas Riyadhoh Pemaafan Naqsyabandiyyah menunjukkan bahwa ketika seseorang melakukan latihan spiritual ini, ia berusaha menyadari apa yang sedang terjadi, berusaha membuat jarak dengan dirinya sendiri (Self distance), berupaya memantau dan mengatasi dirinya (self transcendence), dan berusaha meluaskan bagian diri supra sadarnya, sehingga dengan demikian mampu menemukan pilihan tindakan yang membuat hidup makin bermakna dan makin mulya.

Mari Belajar menjadi Pemaaf

Semoga saat ini dan selanjutnya, kita mampu menjadi seperti Abu Dhomdhom, yang menurut Baginda Rosul Muhammad SAW adalah “nenek moyang kalian yang setiap menjelang fajar bermunajat kepada Allah “Ya Allah, aku telah memaafkan semua orang yang telah menzalimiku. Ya Allah, aku telah memaafkan semua orang yang menghancurkan martabat diriku”.

Semoga pula kita mampu memiliki kebiasaan Ahli Surga yang ciri-cirinya ada pada seorang sahabat Rasul yang usai diselidiki selama 3 malam oleh Imam Ali bin Abi Thalib ternyata amalannya sama dengan yang lain tiada yang istimewa, tetapi kemudian ia berkata, “Tidak pernah aku tidur sebelum aku memaafkan tindakan orang-orang yang berbuat zalim kepadaku”.

Mari belajar memaafkan. Mari mulai menyayangi diri sendiri, sehingga rasa kasih sayang menyebar memenuhi diri sehingga berlimpah kasih sayang kepada orang lain termasuk kepada orang yang menzalimi.

Oleh; Asep Haerul Gani (Psikolog, Wakil Ketua Pusat Kajian Tasawuf ASEAN)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button