Cakrawala Tasawuf

Komunikasi Politik Pangersa Abah Anom

Gabriel Almond (1960) menyebut  bahwa sistem politik selalu di dalamnya terlibatkan komunikasi politik yang dilakukan baik oleh praktisi politik formal (struktural) ataupun non formal seperti yang dilakukan masyarakat (kultural). “All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are performed by means of communication.”

Rusadi Kartaprawira mengatakan bahwa Lewat komunikasi politik, maka pikiran politik yang hidup di tengah masyarakat dan sektor pemerintahan dapat tersampaikan. Komunikasi politik menjadi sebuah saluran, dialog, musyawarah untuk menyampaikan dan menegoisasikan aspirasi politik. Miriam Budiardjo menyebut bahwa komunikasi politik ini dilakukan untuk menyalurkan aneka ragam pendapat  dan aspirasi masyarakat  dan mengaturnya sedemikian rupa –peggabungan kepentingan (interest agregation) dan perumusan kepentingan (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi public policy.

Tentu saja dalam prakteknya komunikasi politik salurannya dapat dilakukan secara massif (komunikasi massa), tatap muka, interpersonal, dan organisasi. Cakupannya: komunikator (aktivis, politisi, profesional), pesan, persuasi, media, khalayak dan akibat.

Ijtihad politik

Dalam hal ini ketika negara Orde Baru berkuasa, Pangersa Abah Anom, menjadi bagian penting dari panggung politik kekuasaan. Pangersa Abah Anom banyak mendapatkan patronase dari para pejabat tinggi dan Golkar. Sehingga tarekatnya dengan cepat menyebar ke berbagai wilayah karena tidak bertentangan dengan kekuatan politik saat itu. Kekhalifahannya ada di seluruh pulau Jawa, di Singapura, Sumatera Timur, Kalimantan Barat dan Lombok (Bruinessen, 1992)

Salah satu nalar ijtihad politiknya yang dimaknai secara konsisten sampai akhir hayatnya adalah kedekatan dengan kekuasaan Orde Baru itu bagian komunikasi dakwah dari dalam,  atau dalam istilah  salah satu orang dekat Abah Anom, sebagai upaya agar “golkar” menjadi “golkir” (golongan dzikir). TQN Suryalaya  menjadi dekat dengan Cendana.

Kedekatan Abah Anom dengan pusat kekuasaan tidak untuk meraih kuasa dan benda, seperti disampaikan Juhaya S. Pradja, hal mana terbukti dari nyaris tidak adanya bantuan-bantuan dari pemerintah untuk pengembangan di lembaga pendidikan yang diasuhnya sebab sejak awal, katanya,  bukan itu maksudnya, tapi semata sebagai upaya bagaimana Agama dan Negara menjadi sesuatu yang berdampingan tanpa harus satu sama lain saling curiga. Seperti juga dituturkan oleh salah seorang puteranya, K.H. Baban Ahmad Jihad Sb Ar. (Rido, 2011: 16):

Baca Juga  Urgensi riyadhoh bagi kehidupan pribadi dan sosial

“Kedekatan silaturahim antara tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah  Suryalaya-Cendana yang dirintis oleh Abah Anom memang luar biasa, membuat pihak Cendana sangat dekat dan karena itu banyak keinginan untuk bisa memberikan bantuan terutama materi kepada Pesantren. Tapi pihak kami tetap berpegang teguh pada nasehat Abah agar tetap hati-hati dan waspada, untuk menjaga kedekatan dengan tanpa “pamrih”.

Beliau bilang agar tetap mengupayakan memberi dan jangan meminta. Dan prinsip ini yang kemudian kami pegang teguh hingga saat ini ketika beliau sudah tiada. Ada kebijakan baru yang perlu saya sampaikan bahwa saat ini madrasah yang kami kelola memang mendapat bantuan dari pemerintah, tetapi perlu dipahami oleh banyak pihak bahwa bantuan itu adalah hak madrasah kami yang memang sudah dianggarkan oleh pemerintah, sebagaimana yang juga diterima oleh sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Masalah ini yang dulu sempat ramai, dan sempat muncul desas-desus bahwa pihak Pesantren sudah mulai berubah tidak seperti zaman Abah Anom. Jadi yang sebenarnya adalah program bantuan itu sudah diprogram oleh pemerintah dan kita tinggal menerima paket program tersebut. Tapi diluar semua itu, prinsip “jangan meminta, upayakan memberi” seperti yang dinasehatkan Abah, tetap kami pegang teguh.”

Politik moral

Pesan komunikasi politik yang dikembangkan Abah Anom, dalam kerangka pemikiran politik Liddle, kecenderungannya  adalah substantivistik, bukan skripturalistik dengan perilaku politiknya yang akomodatif. Politik seperti ini lebih menekankan kepada hadirnya Islam sebagai nilai-nilai bukan sebagai “ideologi”. Nilai-nilai Islam ditawarkan untuk dapat beradaptasi dengan  pemerintah Orde Baru (Liddle, 1997: 100-127).

Para pemimpin kharismatik sering dihadapkan pada pilihan yang dilematis ketika dikaitkan dengan kekuasaan. Dalam posisinya sebagai elit umat, pemimpin kharismatik harus memiliki legitimasi dari umatnya.  Tetapi sebagai elit umat ia harus berhadapan pertama kali dalam interaksinya dengan birokrasi dan kekuasaan pemerintah. Di hadapan elit birokrasi pemerintah yang mengembangkan sayap kontrolnya atas masyarakat melalui logika korporatifnya, pemimpin kharismatik dihadapkan kepada satu pilihan, bersedia menggunakan logika pemerintah dengan resiko terkooptasi, serta kehilangan legitimasi dari umat, atau bersikap kritis dengan resiko politik tertentu yang harus dihadapi. Atau kemungkinan seorang pemimpin tarekat yang kharismatik, berhasil meraih legitimasi dari umat sekaligus secara bersamaan dengan penerimaan terhadap korporatisme pemerintah (Mahmud Sujuthi, 2011: xx)

Baca Juga  Apa Hikmah di Balik Penderitaan yang Kita Alami?

Dalam konteks saya melihat kedekatan Pesantren Suryalaya dengan rezim Orde Baru juga harus dibaca sebagai cara untuk memecahkan ketegangan ulama Jawa Barat dengan penguasa setelah dihantui oleh peristiwa kekerasan yang dilakukan DI/TII. Abah Anom tampil mencairkan suasana psikologis relasi Agama dan Negara yang tidak menguntungkan.

Karena acuan politik Abah Anom bersifat moral bukan politik praktis, maka menjadi maklum seandainya secara sosiologis dia menjadi tenda rujukan keumatan dan kebangsaan. Artinya dekat dengan kekuasaan (Golkar), namun tetap tidak kehilangan legitimasi dari umat. Di titik inilah saya melihat upacara tarekat manakiban, ngaras, khataman, pawai natura didatangi masyarakat dari berbagai kalangan. Mereka bukan saja menyimak petuah moral, namun juga mendengarkan visi politik mursyid yang sebagian besarnya, terutama pada periode terakhir Abah Anom, diwadahi dalam bentuk “maklumat”.

Taat ka Agama jeung Nagara

Pilihan politik ini bagi kalangan non tarekat sering  mendapatkan respon yang tidak positif. Namun bagi para ikhwan, pilihan politik ini diikuti dengan setia lazimnya dalam tradisi tarekat. Mereka meneladani Sang Mursyid tidak hanya dalam urusan ibadah, tetapi dalam semua aspek termasuk pilihan politiknya. Terlebih lagi,  TQN Suryalaya dengan sangat tegas memandang taat kepada  Negara sama pentingnya dengan tunduk terhadap Agama sebagaimana nampak dalam tanbih. Ketaatan kepada Negara memiliki posisi sejajar dengan ketaatan pada Agama.

Jeungna sim kuring nu jadi pananyaan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah, ngahaturkeun kagegelan wasiat ka sadaya murid-murid poma sing hade-hade dina sagala laku lampah, ulah aya carekeun Agama jeung Nagara. Eta dua-duanana kawulaan sapantesna samistina, kudu kitu manusa anu tetep cicing dina kaimanan, tegesna tiasa ngawujudkeun karumasaan terhadep agama jeung nagara ta’at ka hadirat Ilahi nu ngabuktikeun parentah dina Agama jeung Nagara.

Dengan kata lain, politik  TQN Suryalaya lebih berorentasi pada nilai dan politik moral. Mursyid Pangersa Abah Anom tetap berpolitik, tetapi bukan untuk merebut kekuasaan. Pangersa Abah Sepuh dan Pangersa Abah Anom lebih hadir sebagai ideal moral, anutan umat, teladan sosial, dan tonggak kultural yang selalu mengingatkan para pemimpin sekaligus menegaskan perannya untuk secara etik mengawal kepentingan umat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam gambaran Hiroko Horikoshi (1987), politik Pangersa  Abah Sepuh dan Pangersa Abah Anom merupakan volunteer politik, sekaligus sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat. Fungsi politik seperti ini dapat juga diperankan untuk membentengi titik-titik rawan dalam jalinan yang menghubungkan sistem lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih luas, dan betindak sebagai penyanggga atau penengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan, serta menjaga terpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan. Kyai sebagai pemimpin umat memiliki basis politik yang amat kuat untuk memengaruhi umatnya

Baca Juga  Mudik kultural, mudik spiritual

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button