Kidung Sufi mencintai Illaahi

“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah” (Q.S. al-Baqarah/2: 169).
MencintaiAllah adalah merupakan identitas mendasar yang niscaya dimiliki seseorang yang mengaku beriman (mu’min) sebagaimana diisyaratkan ayat di muka. Atau dalam pembuka dzikir Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah Suryalaya: Ilahí anta maqshúdí wa ridháka mathlúbí a’thiní mahabbataka wa ma’rifataka. Mahabbah (cinta) dan marifat sebagai lokus utama tak pernah henti diminta kepada Sang Kuasa. Cinta itu menjadi sesuatu yang bermakna manakala diwujudkan dalam bentuk kesediaan diri dengan sungguh-sungguh mengikuti aturan main yang telah digariskan-Nya.
Berikut adalah sepenggal puisi mistis (kidung) menggetarkan yang dihimpun Liewellyn Vaughan-Lee dalam Menangkap Isyarat-Isyarat Tuhan yang menggambarkan betapa cinta mengandaikan kepatuhan total sang pencinta kepada Kekasihnya:
Pencinta harus seperti sebuah jasad tanpa nyawa
di tangan sang Kekasih
Mengapa jasad mati? Tiada berdaya itulah dia
Jika ia dihujan-hujankan, ia menjadi basah
Jika ia dijemur di matahari, ia menjadi panas
Ia tidak mungkin berontak, ia tidak mungkin memprotes
Dan melalui rahmat gurulah, kita belajar
Bagaimana selalu menjadi puas di tangan Sang Kekasih
Dalam kata-kata Imam Ja’far ash-Shadiq, “Pecinta Allah adalah yang paling bersih hatinya, paling jujur pembicaraannya, paling setia kepada janjinya, paling baik perbuatannya, paling murni dzikirnya, paling banyak ibadahnya, menyaingi malaikat dalam pengabdiannya dan bangga dengan perjalanan ruhaninya (suluk)”
Cinta yang Tak Bertepuk Sebelah Tangan
Ketika umat beragama Dan para salik telah mampu mencintai Allah seperti itu, maka cintanya samasekali tidak akan bertepuk sebelah tangan: Allah akan balik mencintainya dalam takaran cinta yang berlipat ganda.
Dalam serangkaian ayat-ayat yang lain lebih jelas lagi terungkap bahwa sambutan cinta Allah kepada hamba-Nya itu manakala sang hamba menumbuhkan hubungan cintanya secara fungsional (mengikuti aturan-Nya itu). Ia setia berbuat baik (Q.S. 2, al-Baqarah: 195; 3, Áli Imrán: 134; 5, al-Máidah: 13 & 93), bertakwa (Q.S. 3, Áli Imrán: 76, 9, at-Taubah: 7), sabar (Q.S. 3, Ali Imran: 146), bertawakkal (Q.S. 3, Áli Imrán: 159), mendistribusikan rasa keadilan yang merata (Q.S. 5, al-Máidah: 42; 60, al-Mumtahanah: 8), selalu berusaha mensucikan diri (Q.S. 2, al-Baqarah: 222, 9, at-Taubah: 108), apabila berbuat kesalahan lekas bertaubat (Q.S. 2, al-Baqarah: 222) dan bersedia berjuang keras di jalan-Nya (Q.S. 6, ash-Shaf: 4).
Sampai di sini mungkin kita bertanya: Apabila Allah telah jatuh cinta kepada hamba-Nya, “cendramata” apa yang akan diberikan sebagai bukti cinta kepada makhluk-Nya itu? Pertanyaan ini dijawab Nabi, “Bila Allah mencintai hamba-Nya, Dia sematkan kepada hatinya ketulusan dan akhlak mulia, Dia jauhkan dari jiwanya watak rakus dan pongah kemudian Dia hiasi dengan ketenangan dan kesabaran.” Atau dalam jawaban Imam ash-Shadiq seperti dikutip Mahdi al-Ashifi, “Bila Allah mencintai hamba-Nya, Dia ilhamkan rasa pengabdian darinya, Dia tanamkan rasa kepuasan padanya, Dia pandaikan dalam urusan agamanya, Dia teguhkan dengan keyakinan hatinya, Dia cukupkan hajatnya dan Dia anugerahkan kemuliaan untuk dirinya”
Relasi (hubungan) cinta timbal balik (tidak sepihak) antara hamba dan Tuhannya seperti ini yang pada gilirannya akan mampu membentuk raut bumi manusia (kehidupan) menjadi lebih baik karena di sana mengasumsikan terpantulnya citra Tuhan: terjalinnya cinta kasih antar sesama (citra dari rahman rahím), santun (lathíf), tersebarnya sifat pemaaf (‘afuww), saling berempati (básith), memperlakukan lingkungan alam dengan santun (muhíth), pandai berterima kasih (syakkúr). Inilah makna dari apa yang dimaksud dibalik ungkapan Nabi, “Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah”. “Dan tidak ada yang lebih memukau kecuali perangai yang telah diteladankan Allah,” kata Rumi.
Akar krisis
Barangkali (pasti!) krisis yang bertubi-tubi menimpa jagat kemanusiaan sejatinya karena kebanyakan dari kita telah menggadaikan kecintaan kepada Allah dengan kecintaan kepada harta, kuasa, wibawa dalam takaran yang melebihi batas (mujawát al-hadd). Kita telah mengusir Allah (etika, nilai-nilai kebenaran, kejujuran, hidup lurus) ke pojok-pojok sejarah sehingga kehidupan pun menjadi banal, menghalalkan segala cara, tindakan keji, korup, kekerasan mewabah di mana-mana.
Atau kalau tidak seekstrem itu, minimal kita tidak sungguh-sungguh dalam mencintai-Nya. Kita mengaku mencintai Tuhan (beragama) namun pada saat yang bersamaan perilaku keseharian berbanding terbalik dengan syariat-Nya. Agama dengan wajah paradoks (bertentangan).
Inilah sebuah fenomena cinta (beragama) yang ‘aneh’ yang tengah menjangkiti pengalaman keberagamaan masyarakat kita. Sebuah situasi ambiguitas yang disindir seorang sufi tempo dulu, al-Muhasibi:
“Engkau berbuat maksiat sambil mulut mengoceh cinta kepada-Nya. Amboi! Bagaimana mungkin. Bukankah sikap seperti ini mustahil adanya. Bila cintamu itu benar, kau tentu akan mematuhi-Nya, karena seseorang yang cinta akan patuh setia kepada yang dicintainya”. Dalam hikmah Imam Ali, “Cinta Allah dan cinta dunia (maksiat) laksana matahari dan malam. Keduanya tidak akan pernah bersinggungan”.
Apabila cinta aneh seperti ini yang dikembangkan, beragama tapi hanya berhenti sebatas tataran permukaan-simbolik saja, maka sudah barang tentu Tuhan pun akan menampik lamaran cinta palsu ini. Jika cinta palsu yang penuh kepura-puraan ini terus berlangsung, jangan heran seandainya pada titik tertentu Allah akan membalas dengan kebencian-Nya,
“Dan bila Allah membenci hamba-Nya, Dia condongkan hatinya pada kerakusan dunia, Dia serahkan dirinya pada hawa napsu, maka hamba tersebut akan bersekutu dengan kezaliman, kerusakaan dan berserikat dengan kedurjanaan,” terang Jafar ash-Shadiq.
Dalam ayat-ayat-Nya sendiri dinyatakan bahwa seseorang yang tidak akan merasakan kenikmatan jalinan cinta pribadi dengan Tuhannya adalah mereka yang berkarib dengan sifat fasik, kufr, lalim, pongah, melampaui batas, boros, berkhianat, tiranik, agresor berlaku tidak adil seperti dapat kita telusuri dalam ayat-ayat berikut ini:
“Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas” (QS. 2, al-Baqarah: 190). )“…Dan berbuat baiklah kepada orang yang telah berbuat baik kepadamu sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Q.S. 28, al-Qashash: 77)“Agar Allah memberi pahala kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari karunia-Nya. Sesungguhnya Dia tidak mencintai orang-orang yang ingkar” (QS. 30, ar-Rum: 45)“Dan Allah tidak mencintai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. 57, al-Hadid: 23).
Cinta terhadap harta, anak-anak, istri adalah sesuatu yang alamiah, “Manusia telah dihiasi dengan kecintaan kepada syahwat-syahwat dari perempuan, anak, perhiasan seperti emas dan perak, kuda piaraan, binatang ternak dan sawah ladang” (Q.S. 3, Ali Imran: 14). Kecintaan ini menjadi tidak wajar lagi apabila mengalahkan kecintaan kepada-Nya,
“Katakanlah, jika ayah, anak, saudara, istri, kerabat, harta yang kalian peroleh, perdagangan yang kalian khawatir sepi dan tempat tinggal yang kalian sukai, itu lebih kalian cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjuang di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum fasik” (Q.S. 9, at-Taubah: 23). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan ayah-ayahmu dan saudara-saudaramu sebagai wali-walimu, jika mereka lebih menyukai kufur atas iman. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai walinya, maka mereka adalah orang-orang zalim” (Q.S. 9, at-Taubah: 23)
Penulis; Asep Salahudin (Rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya)