Kenapa puasa Ramadhan diwajibkan?
oleh: Acep A. Rijalulloh (Ketua Prodi Ilmu Tasawuf IAILM Suryalaya)
Terlepas memahami atau tidak, mengerti atau tidak, selaku umat yang taat dan patuh, kita akan selalu berusaha melaksanakan ajaran Islam sesuai tuntutan yang dicontohkan oleh nabi Muhammad Saw. Dalam hal amaliah, memang tidak dianjurkan untuk selalu bertanya kenapa amaliah itu diwajibkan atau disunahkan, sementara yang lain dimakruhkan bahkan diharamkan. Kita dituntut untuk selalu ARAPIK (Amalkan, Rasakan dan Pikirkan). Hal ini tujuannya agar umat mengerti betul bahwa keimanan harus lebih didahulukan daripada keilmuan. Iman di depan ilmu, hati memimpin akal, karena adakalanya akal menjadi penghalang ketaatan. Sehingga ketaatan akan menjadi yang pertama sebelum yang lainnya.
Namun demikian, bukan berarti Islam mengekang atau membatasi akal. Pemberlakuan Hukum Islam pada orang baligh dan berakal telah cukup sebagai petunjuk kalau Islam diturunkan bagi orang-orang berakal. Sebab itu, pertanyaan-pertanyaa seputar keilmuan adalah keniscayaan dalam hidup keberagamaan (keislaman). Dan pertanyaan yang muncul setelah tenggelam dalam amaliah adalah sebagus-bagus pertanyaan. Demikian juga pertanyaan yang muncul akibat dari pencarian hakikat kebenaran.
Dahulu, sahabat tidak berani bertanya “kenapa” manakala datang perintah dari Allah melalui Nabi. Meskipun akal mereka belum memahaminya, mereka tetap melaksanakannya dengan ikhlas. Tentunya hal itu tidak akan pernah terjadi kalau bukan karena keimanan/ keyakinan terhadap kerasulan Muhammad Saw. Sehingga keyakinan yang terhunjam itu melahirkan dugaan-dugaan positif bahwa apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Nabi adalah untuk kemaslahatan diri dan umum, dunia dan akhirat.
Berkaitan dengan kewajiban Puasa Ramadan, tentu saja para sahabat selalu sami’ná wa atho’ná meskipun ada kemungkinan diantaranya yang ingin bertanya kenapa diwajibkan. Mereka menyerahkan segalanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena kepasrahan itu, apa yang dimungkinkan menjadi kepanasaran mereka yang ajrih untuk bertanya seringkali dijawab oleh Allah melalui orang-orang yang diutusnya. Satu diantaranya adalah tentang kenapa Puasa Ramadan diwajibkan. Pertanyaan ini, pada hari ini, tentu saja memiliki jawaban yang ragam. Bergantung dari sisi mana si penanya/ penjawab memandangnya. Satu diantara aspek pandang tersebut adalah aspek sejarah yang menjadi asal usulnya.
Adalah sekelompok intelektual Yahudi pernah bertanya kepada Nabi Saw. Diriwayatkan dari Imam Ali k.w, r.a., bahwa pada saat Nabi Saw. duduk berkumpul bersama sahabat Muhajirin dan Anshar, datanglah sekelompok intelektual Yahudi dan mengajukan beberapa pertanyaan. Salah satunya, “Kenapa Allah mewajibkan puasa atasmu dan umatmu selama 30 hari, sementara kepada umat lainnya lebih banyak? Nabi menjawab, “Seungguhnya nabi Adam, setelahnya makan buah khuldi, buah tersebut tersangkut di tenggorokannya selama 30 hari (30 malam). Maka Allah wajibkan kepada keturunannya untuk menahan lapar selama tiga puluh hari, dan makan pada malam harinya sebagai anugrah/ rahmat dari-Nya.” (Penggalan dari Kitab Khazínatul Asrár, halaman 25-26).
Kita tahu sekarang bahwa diantara hikmah puasa Ramadan adalah agar kita merasakan bagaimana perjuangan nabi Adam a.s setelah melakukan apa yang disebutnya dzalim terhadap diri sendiri. Itu hanya satu kali kesalahan. Maka bagaimana jika Allah langsung membuktikan Hukum atau menghukum langsung terhadap dosa-dosa kita yang sudah tak terhitung itu? Dengan puasa siang hari saja kita sering kepayahan, bagaimana jika terus-terusan selama 30 hari seperti yang dialami nabi Adam? Másyá Allah, sungguh puasa yang kita alami dan jalani ini merupakan dispensasi dari anugrah-Nya. Apalagi kalau sampai dihitung dengan pahala-pahala yang dijanjikan-Nya. Subhanalloh. Semoga kita senantiasa diberi kemampuan untuk mensyukuri segala nikmat-Nya. Amin wal hamdulillah.