Cakrawala Tasawuf

Kaderisasi pesantren dan tantangan global

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang sejak dulu sampai saat ini terus konsisten mengamalkan, mengamankan, dan melesatrikan ajaran Islam, sekaligus  ikut andil dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di tempat ini, kemuliaan dan keagungan ajaran tersebut teruji dan tersaji secara utuh serta diyakini masih terjaga kesucian dan kehormatannya dari sentuhan tangan-tangan ‘jail’ yang senantiasa mencari celah dibalik kelemahan atau kelengahan para pemerhati serta pengamal ajaran Islam.

Selain itu, diakui atau tidak, sejarah perjalanan bangsa ini mencatat bahwa pesantren berperan penting dalam melahirkan generasi bangsa yang unggul, sebut saja misalnya Wali Songo, Hadratu Syaikh Hasyim ‘Asy’ari, Hadrat Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad r.a (Abah Sepuh) dan Syaikhuna al-mukarram Syaikh Ahmad Sohibulwa Tadjul Arifin r.a (Abah Anom), termasuk didalamnya KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur), dan lain yang lainnya.

Dapat dibayangkan bagaimana jadinya nasib kemurnian ajaran Islam termasuk keutuhan NKRI kalau  saja lembaga yang satu ini tidak ada. Tentu, ajaran itu hanya sebatas ajaran, ‘ngawang-ngawang’ tidak akan membumi, dan pasti tidak dapat diamalkan terlebih dirasakan cita rasanya. Pun, NKRI tidak akan bertahan seperti sekarang ini. Untuk itu, tidak berlebihan kiranya apabila dikatakan bahwa kehadiran pesantren di Nusantara khususnya, sangat menentukan nasib ajaran Islam bahkan nasib bangsa Indonesia ke depan. Bagaimana perkembangan ajaran Islam dan keutuhan bangsa ini pada masa yang akan datang salah satunya bergantung pada peran aktif pesantren.

Betul, bahwa sampai kapanpun Islam itu tidak akan hilang sampai dunia ini berakhir sekalipun, akan tetapi apakah ada jaminan bahwa ajarannya pun akan sama bertahannya dengan nama besar Islam…?. Jawabannya, tentu kembali kepada tanggung jawab umat Islam itu sendiri dan segenap pengelola pesantren sebagai pemegang amanah yang paling tidak terdiri dari kiyai berikut  ahlul baitnya, asatidz, pengurus, dan masyarakat muslim yang berada di sekitar pesantren.

Baca Juga  Mensiasati HOAKS di Era Digital menurut Islam

Selama mereka amanah dan konsisten, meskipun arus tantangan global begitu deras, cepat dan kuat yang diantaranya ditandai dengan canggihnya teknologi, cepatnya akses informasi, lahirnya ajaran-ajaran baru, sulitnya mendapatkan keadilan, tumpulnya supremasi hukum dan lain sebagainya, maka dipastikan ajaran itu akan tetap abadi sampai datangnya hari qiyamat nanti. Sebaliknya, apabila mereka inkonsisten alias tidak istiqamah dalam mempertahankan kemurnian ajaran tersebut, maka alih-alih ajaran itu tetap lestari, malah yang terjadi adalah hancurnya —gulung tikar— pesantren tersebut dan musnahnya ajaran Islam secara perlahan tapi pasti karena terbawa dan tergerus derasnya arus gelombang globalisasi.

Satu dari sekian banyak jalan yang dapat dilakukan oleh pengelola pesantren khususnya dalam rangka menjaga eksistensi pesantren dan mempertahankan kemurnian ajaran Islam adalah kaderisasi. Hal ini penting dilakukan karena diyakini gulung tikarnya beberapa pesantren salah satunya berawal dari lambatnya pengkaderan. Untuk itu, pengelola pesantren harus segera tersadar dan memikirkan sejak dini siapa diantara mereka yang pantas dipilih menjadi kader terbaik yang nantinya diorientasikan menjadi pimpinan pesantren masa depan, sehingga eksistensi pesantren berikut ajaran Islam senantiasa terpelihara dan kalau bisa eksis tanpa batas.

 Memang, tidak lah mudah menciptakan kader-kader pesantren yang unggul, terlebih pada zaman yang serba cepat berubah seperti sekarang ini. Namun demikian, tidak berarti karena sulit kemudian pengelola pesantren hanya berpangku tangan apalagi pasrah dengan keadaan, akan tetapi justeru sebaliknya pengelola pesantren harus lebih semangat mewujudkannya dengan sejumlah kerja nyata yang diantaranya melalui kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas.

Sesungguhnya, ketiga istilah itu merupakan buah dari pengamalan Islam, iman dan ihsan. Artinya, kerja keras lahir dari kualitas pengamalan Islam, kerja cerdas pancaran nilai dari iman, dan kerja ikhlas intisari dari ihsan. Kualitas Islam, iman, dan ihsan seseorang sesungguhnya menentukan kualitas kerjanya, baik dari segi kerja kerasnya, kerja cerdasnya termasuk kerja ikhlasnya.    

Baca Juga  Makna Filantrofi dalam berkurban

Kerja Keras

Selain eksistensi pesantren dipertaruhkan pada kompetensi keilmuan dan perilaku keseharian para pengelolanya, juga ditentukan oleh kesediaan dan kesiapan mereka untuk bekerja keras dalam mewujudkan visi bersama pesantren itu sendiri melalui berbagai macam program unggulan yang dapat mengangkat martabat serta memperkuat image pesantren sebagai ‘pasak bumi’ bagi agama dan Negara. Segenap warga pesantren harus bekerja sama dan bersama-sama kerja dalam mewujudkan visi tersebut. Yakinkan bahwa tidak ada seorang pun warga pesantren yang tidak sejalan, karena hal itu akan menimbulkan preseden buruk, baik bagi perkembangan pesantren itu sendiri maupun bagi kelancaran dakwah ajaran Islam.

Kerja Cerdas

Menghadapi tantangan zaman yang terus berubah, pengelola pesantren harus siap dan cerdas mensiasatinya. Adalah kaidah fiqh Al-muhaafadhah ‘ala al-qadiim al-shaalih wa al-akhdzu ‘ala al-jadiid al-ashlah senantiasa relevan sebagai bekal pengelola pesantren menghadapi tantangan zaman tersebut. Pesan moral yang dapat diambil dari kaidah ini adalah eksistensi pesantren dijaminkan pada kecerdasan pengelola pesantren dalam memilih dan memilah dari setiap perubahan yang terjadi. Pertahankan setiap ajaran lama yang baik, dan ambil segala sesuatu yang baru dan tentu lebih baik.

Kerja Ikhlas

Mempertahankan eksistensi pesantren tentu tidak cukup hanya dengan kerja keras dan kerja cerdas saja. Akan tetapi ada hal lain yang tidak kalah penting dari keduanya, yaitu kerja ikhlas. Bahkan kekuatan kerja ikhlas itu diyakini sebagai ‘pemantik’ bagi  keberhasilan kerja keras dan kerja cerdas. Dasar dari kerja ikhlas adalah lillah (karena Allah semata).

Untuk itu, segenap pengelola pesantren harus meluruskan niat, dan membersihkan hatinya dari niatan lain yang menyimpang dari maksud awal pendirian pesantren itu sendiri, yaitu syiar agama Islam melalui li i’ilaa kalimatillah. Artinya, pengelola pesantren harus mendasari setiap langkah perjuangannya dengan ikhlas, dan berusaha sekuat tenaga menghindarkan diri dari ‘kubangan’ kepentingan sesaat yang bersifat pragmatis.

Baca Juga  LDTQN dan tantangan Globalisasi

Dengan demikian, se-rongkahapapun tantangan zaman tetap tidak akan mampu merusak, terlebih menghilangkan eksistensi pesantren selama pengelola pesantren tetap konsisten dalam menjaga eksistensinya dengan cara menata kaderisasi melalui kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas. Wallahu a‘alam bi al-shawab.

Penulis: Dr. H. Jamaludin, M.Ag. (Dekan Fakultas Syari’ah IAILM Suryalaya)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button