“Inti agama adalah permainan”
Banyak tradisi yang terdapat di tatar Sunda Jawa Barat yang berkaitan dengan bulan Ramadhan. Di antara tradisi Sunda dalam menyambut datangnya Ramadhan yaitu ada yang menyebutnya dengan istilah munggahan. Munggahan berasal dari kata munggah yang artinya naik. Maksudnya diharapkan puasa yang hendak dilakukan dapat meningkatkan kualitas hidup.
Tradisi lain yang berkaitan dengan bulan Ramadhan adalah saling mengirim rantang (wadah berisi makanan) sesama tetangga rumah, terlepas apakah jenis makanan itu sama ataupun beda. Terdapat pula tradisi dimana mereka bersama-sama menyambut malam lailatulqadar pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Tradisi ini mereka menyebutnya dengan istilah lilikuran.
Selain itu terdapat pula satu tradisi di tatar sunda yang dinamakan ngabuburit. Ngabuburit berasal dari kata burit (senja). Ngabuburit artinya mencari burit, yaitu menunggu tibanya waktu magrib. Kata ngabuburit ini sudah menjadi bahasa Indonesia. Karena kata tersebut telah tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ini pun menunjukkan terdapat adanya perkawinan antara budaya Sunda dengan tradisi Arab (ngabuburit = mencari burit = menunggu adzan magrib).
Saat ini aktivitas ngabuburit seakan tak terasa. Sering kali kita menungggu adzan magrib dengan berhadapan dengan media sosial (medsos), seperti Facebook dan Whats App. Sehingga waktu tiga jam dilalui dengan tidak terasa. Ketika bermain facebook terkadang men-share informasi yang tidak penting. Membagikan informasi bukan yang haq (benar) tetapi hoax (bohong). Itulah yang terjadi pada musim medsos seperti hari ini.
Jaman dahulu mungkin waktu menunggu magrib itu terasa sangat panjang, terasa lebih lama berbeda halnya dengan saat ini. Belum lagi jika ditambah dengan tidur dari sejak bada subuh hingga pukul 12.00, setelah itu dilanjutkan dengan main game. Jika berbicara pahala, tak seorang pun tahu apakah puasa seperti itu akan berpahala atau tidak.
Dunia maya saat ini memiliki peranan penting. Tentunya bukan hanya mendatangkan pada hal positif namun juga hal yang negatif. Fakta mengatakan bahwa Musim Semi Arab (Arabic Spring) telah merontokkan negara-negara Timur Tengah seperti Tunisia, Syiria, Yornadia dan Libya. Itu semua berwal dari ketidaksanggupan dari mengelola status di media sosial, yang akhirnya menumbuhkan kebencian satu sama lain.
Ngabuburit dapat diisi dengan berbagai jenis aktivitas, tergantung pada keinginan masing-masing. Contohnya : zaman dulu bermain layang-layang dijadikan sebagai ajang ngabuburit. Sebelum bermain layang-layang terlebih dahulu harus menyiapkan benang gelasan yang sangat bagus. Sehingga dalam adu layang-layang ini mampu membuat layang-layang milik lawan ngajeprut (putus).
Ketika layang-layang terputus, anak-anak kecil dan sebagain orang tua pun mengejar layang-layang tersebut. Mereka tak peduli entah dimana dan di pohon milik siapa layang-layang itu hinggap. Namun aktifitas inilah yang membuat mereka enjoy hingga adzan magrib pun tiba dengan tidak terasa. Hal inilah menjadikan menarik dalam “permainan ngadu langlayangan”.
Barangkali menjadi benar apa yang dikatakan oleh seorang filosof dari Belanda, bahwa Inti peradaban, inti kebudayaan bahkan inti agama sesungguhnya adalah permainan. Permainan yang bagus itu tidak berhubungan dengan subjek pemainnya. Tapi justru bermain berhubungan dengan bagaimana seseorang bisa memainkan permainan itu dengan sunggguh-sungguh. Pemain yang bermain bagus itu adalah mereka yang bermain dengan serius dan paham tentang aturan mainnya.
Pemain yang bagus itu adalah ketika aturan main itu sudah katalar (hafal), sudah ngaragasukma (menyetubuh). Sebagimana konsep zuhud yang dikatakan oleh Imam Ali bin Abi Thalib kw., yamliku dunyahu wala tamlikuhu maksudnya mengendalikan dunia, tidak dikendalikan dunia, mengontrol kekuasaan tidak dikontrol kekuasaan, mengontrol benda tidak dikontrol oleh benda.
Dalam budaya Sunda, satu sosok yang menjadi rujukan kultural adalah Si Kabayan. Dia adalah sosok luar biasa. Orang yang “teu nanaon kunanaon” (tidak kenapa-napa oleh apa-apa). Kono kata Kabayan itu adalah berasal dari bahasa Arab. Ka artinya tamsil (seperti), bayan (penjelasan). Karena itu dia sering kali menjelaskan dengan metafora. Dia selalu menarasikan segala hal tidak dengan ungkapan yang harfiyah namun dengan ungkapan penuh metafora. Dia selalu “teu nanaon kunanaon”. Maksudnya bagi dia jabatan itu sangat tidak penting. Ketika dia mengkritik dukun, maka dia langsung menjadi dukun. Ketika dia mengkrtitik kyai, dia sendiri yang menjadi kyai. Seperti “Si Kabayan Saba Kota”. Bahkan tidak ada satu sosok yang berani mengkritik mertuanya sendiri, kecuali Si Kabayan. Hal yang menarik, yang dikritik oleh dia tidak pernah marah. Karena justru dia lebih berminat untuk mengkritik dirinya sendiri. Ia melakukan lompatan logika atau dia melakukan logika-logika yang terbalik. Setiap orang ketika melihat jalan yang menanjak dia akan menangis, tapi Si Kabayan justru tertawa. Si Kabayan tahu bagaimana memposisikan antara logika dan logistik.
Kamaludin Koswara (Ketua Divisi Seni dan Budaya LDTQN Pontren Suryalaya)