Darimanakah Tasawuf berasal?
Tasawuf berasal dari mana? Apakah khas dari ajaran Islam yang dikembangkan dari doktrin al-qur’an dan perilaku Rasululloh Saw? Atau lahir buah dari interaksi Islam dengan agama, peradaban atau tradisi lain? Tasawuf muncul dalam tradisi Islam sebagai resiko dari kontaks budaya Islam dengan dunia (peradaban) lain?
Permasalahan ini masih sering dipertanyakan bahkan diperdebatkan. Banyak teori dikemukakan yang menjelaskan tentang asal-usul tasawuf Islam. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf dalam Islam tidak akan pernah tumbuh seandainya Islam tidak bersentuhan dengan mistik Kristen yang sejak awal telah menekankan tentang ajaran eskatisme, mengasingkan diri dalam biara-biara, tidak pernah bersentuhan dengan materi bahkan nikah pun dianggap sebagai penghalang jalan spiritual. Julian Baldick sampai pada sebuah kesimpulan bahwa sufisme adalah bagian dari sayap Islam Kristen.
Islam sebagai sebuah agama yang berusaha mencari jalan tengah antara spiritualitas Kristen dengan legalisme Yahudi. Tidak sedikit tulisan orientalis yang berupaya mengungkap ‘pengaruh’ mistis Kristen terhadap tasawuf terutama ketika kaum Muslim sering melakukan kontak dengan para rahib di Syiria sebagaimana nampak dalam tulisan yang dikembangkan kaum orientalis seperti Adalbert Merx, Arend Jan Wensinck, Margereth Smith, dan lain sebagainya.
Teori lain menyebutkan bahwa tasawuf banyak dipengaruhi oleh tradisi mistissisme Budha. Artinya pada titik tertentu ada pararealisme antara struktur pemikiran Hindu dengan tasawuf. Misalnya taqarub illalloh dalam tasawuf menjadi sulit dibedakan dengan gagasan kemenyatuan Atman dengan Brahman. Dalam penelitian terungkap bahwa fabel-fabel Hitopadesa dan Pancatantra telah lama diterjemahkan ke dalam bahasa Timur Dekat sebelum Islam datang ke wilayah itu. Kemiripan struktur ajaran juga nampak antara tasawuf dengan Taoisme sebagaimana tesis ini dikedepankan oleh Umar Farruk dan Toshihiko Izutsu.
Teori lainnya mengatakan bahwa tasawuf dalam Islam banyak bersinggungan dengan ajaran Budha terutama konsep fana’. Dalam Budha dikatakan bahwa untuk mencapai Nirwana seseorang harus total melakukan kontemplasi dengan cara membebaskan diri dari segala bentuk materi sebagaimana ajaran fana’-nya dalam tradisi tasawuf.
Ada juga yang menarik mata rantai antara tasawuf dengan filsafat mistik Pytagoras yang intinya menyebutkan bahwa yang kekal dalam diri manusia adalah roh, sementara badan tak ubahnya adalah penjara bagi roh. Maka agar roh tersebut dapat mencerap kebahagiaan yang hakiki dia harus terbebas dari penjara badan (materi). Tesis Pytagoras ini sebanding lurus dengan konsep zuhud dalam tasawuf. Yang lain mengedepankan teori kesamaan antara tasawuf dengan filsafat emanasi Plotinus yang intinya disebutkan bahwa wujud manusia itu memancar dari Zat Yang Esa.
Roh itu berasal dari Tuhan ketika roh itu terlempar ke dunia (materi), maka agar manusia bisa menyatu dengan Tuhan, tidak bisa tidak manusia harus menyingkirkan materi, mensucikan diri dan mendekatkan jiwanya kepada Yang Esa. Dengan kata lain, emanasi Plotinus memiliki pengaruh tidak sedikit bagi munculnya kaum zahid dan sufi Islam. Yang lainnya menulis tentang pengaruh besar agama Arya kuno terhadap tasawuf sehingga bagi Parer, bahwa tasawuf adalah perkembangan agama kuno bangsa Ariya.
Dalam beberapa catatan serius Nasr, terlacak kesinambungan tasawuf dengan tradisi mistik yang telah lama tumbuh di kawasan Persia. Konon katanya ketika seorang dari Persia bernama Salman al-Farisi pada zaman nabi SAW masuk Islam, maka semenjak ini pula terjadi hubungan kerohanian antara dunia Arab dengan alam pikiran Persia yang kaya dengan tradisi mistik. Sahabat lain yang dapat dicatat adalah Uways al-Qarni, seorang yang masuk Islam namun tidak pernah bertemu dengan Nabi. Dia melakukan laku rohani dengan dibimbing ilham. Nabi pernah mengatakan, ‘Nafasa arrahman besemilir Yaman’. Secara tersirat ada kontaks antara dunia Arab dengan tradisi Yaman. Walaupun mungkin kontaks itu dalam tataran ruhaniah.
Kalau mau jujur, memang akan kita temukan bahwa pada tingkat tertentu sudah tidak dapat dibedakan lagi posisi orang-orang suci dalam tradisi manapun. Orang yang telah mencapai puncak pengalaman spiritual, para pelaku ruhani dalam agama mana pun tidak akan jauh berbeda, karena mereka berujung pada Muara Yang Sama. Perbedaan hanya terletak pada ‘konsep’ yang digunakan, pada bahasa dengan segala keterbatasannya yang dijadikan media untuk mengungkapkan pengalaman ruhaniahnya. Dialog agama yang hakiki, walaupun sulit, paling sejati hanya dapat dilakukan pada tingkat ini, pada level esoteris bukan eksoteris.
Penulis: Asep Salahudin (Rektor IAILM Suryalaya)