Bahasa Rindu, Bahasa Guru
Saat mendengarkan lagu yang ditulis oleh Bapak Alam Nirza (Bassis Caffein Band) dan dinyanyikan oleh dr. Achmad Yudha A. P, Sp.A, M.kes ini, air mata para penikmatnya tidak berhenti mbrebes mili, cireumbay. Dalamnya lirik dan suara indah pada rangkaian lagu yang dibuat oleh dua cucu menantu Pangersa Abah Anom ini berhasil mengaduk-ngaduk rasa rindu yang terpendam. Membuat rasa rindu tersebut keluar dalam butiran air mata yang mengalir. Demikian respon para ikhwan yang telah mendengarkannya, juga saya saksikan sendiri bagaimana diri ini dan juga Mamak tercinta berkali-kali mengusap matanya dengan hidung yang merah menyala.
Ungkapan rindu melalui syair adalah salah satu bagian dari tradisi sufi, selain dengan surat-menyurat, doa dan wasiat (Abu Nashr Al-Sarraj dalam Al-Luma’ Pasal Kedelapan). Para pendahulu terbiasa menyusun kitab-kitab ilmu dengan susunan syair-syair nadlom yang tinggi makna zahir dan makna batin, guna menjelaskan sebuah ilmu secara komprehensif dan dapat dikaji sepanjang masa. Termasuk dalam tarkib salawat-salawat yang ditujukan kepada manusia yang mulia, Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Menurut Gus Abu Hayyilah Al-Hamzawi, ilmu syair dan lagu dalam Islam hadir saat seorang ulama berada dalam titik putus asa. Kondisi dimana telah banyak ulama yang berkontribusi pada perkembangan keilmuan Islam, namun ia tidak berkontribusi apapun dalam masa itu. Sehingga ia pergi ke tengah hutan dan bermunajat. Setelah ia mengadu pada-Nya, berkicaulah burung-burung dengan sangat merdu. Sekembalinya ia ke rumah, ia susun ilmu yang didapat dari ilham selama bermunajat di dalam hutan, dan kemudian di kenal sebagai ilmu Arudh.
Tentunya banyak tokoh sufi yang mengekspresikan kondisi spiritualnya menggunakan syair-syair, sebut saja Rumi ketika merindu Gurunya, Syams Tabriz, hingga tersusun menjadi Mathnawinya yang fenomenal; atau syair-syair yang diungkap oleh murid-murid Dzun Nun Al-Mishri dalam menceritakan tentang sosok gurunya; Junaid Al-Baghdadi dalam syair-syair yang bertuliskan tentang semangat cintanya yang menggebu pada-Nya; dan masih banyak lagi. Dalam tradisi Suryalaya pun, Abah Sepuh memiliki syair-syair sarat makna dalam pupuh-pupuh Sunda yang masih bisa kita baca dan resapi. Demikian juga oleh Pangersa Abah Anom dalam susunan Syair Tanbih dan Untaian Mutiaranya yang berisikan pedoman hidup bagi para muridnya. Syair adalah bahasa hati untuk mengungkapkan cinta, rindu, yang tidak mampu diekspresikan melalui panjangnya kata-kata bak bahr bilaa saahil. Ya, sebagaimana diungkapkan oleh Abu Nashr, syair kaum sufi adalah tentang isyarat juga tentang kondisi spiritual yang sedang dirasakan oleh sang penyair. Oleh karena itu, sangat wajar, jika saat mendengarkan lagu Rindu ini, para ikhwan akan mengeluarkan air mata yang berasal dari hati, karena lagu ini mampu mewakili kondisi spiritual para ikhwan yang sedang merasakan teramat rindu pada Guru rohani yang telah berpisah secara raga ini.
Rindu kepada Guru yang telah tiada sangat terasa dalam lirik-lirik lagu tersebut. Tentang bagaimana raga kita ini masih merasakan rasa cinta yang sama, merasakan bahwa hadirnya masih terasa, hanya saja raganya yang telah tiada. Kita semua masih meyakini, bahwa Guru rohani kita ini masih senantiasa membimbing dan nginjen-nginjen pada kehidupan kita semua. Kita selalu mengharapkan dapat melihat senyum, sapa, dan mengharap berkah dari telapak tangannya. Yang membuat dirinya menajdi cahaya hidup bagi kita yang tidak mungkin akan terganti oleh siapapun dan dalam kondisi apapun. Demikianlah seharusnya mencinta. Kita juga meyakini, bahwa Pangersa Abah Anom tentu berbahagia karena telah berkumpul dengan para waliyullah, orang-orang salih, muqarrabiin, juga para utusan-Nya di alam sana. Harapan kita semua adalah kelak saat tiada, kita juga dapat menjadi bagian orang yang berkumpul bersamanya.
Ya, ajal adalah cara terbaik untuk menjumpai seseorang yang dirindu. Abu Al-Qasim Abdul Karim Hawazin dalam kitabnya yang berjudul Al-Risalah Al-Qusyairiyah mengatakan bahwa rindu adalah kegoncangan hati untuk menemui yang dicintai. Dan kerinduan tergantung pada dalamnya cinta. Semakin kita memiliki perasaan cinta yang besar pada-Nya dan Rasul-Nya melalui para pewarisnya, semakin dalam pula rasa rindu yang terdapat dalam rongga dada. Dan Allah menjanjikan agar para perindu dapat bertemu kembali dengan waktu yang telah ditetapkan, yakni dengan terjadinya ajal (Al-Ankabut: 5). Rindu yang demikian adalah isytiyaaq, dimana orang tersebut tidak akan puas kerinduannya sampai tidak terlihat bekas atau ketetapan yang direalisasikan dalam bentuk dzikir kepadanya. Ku rindu, Aku rindu padamu. Dengan rasa rindu inilah kemudian kematian akan menjadi tenang. Syekh Mursyid Tarekat Jerahi, Robert Frager, yang juga seorang tokoh psikologi kontemporer, menjelaskan hal serupa. Tentang mengingat kematian, ajal, sebagai salah satu bentuk bimbingan seorang Guru pada muridnya. Oleh karena itu, untuk para murid yang merindu dan menginginkan perjumpaan kembali dengan Gurunya, hendaknya ia mempersiapkan bekal-bekal yang dapat memberinya jalan untuk berkumpul kembali dengan yang dicinta.
Hakikat dari lagu Rindu ini adalah pengingat agar kita senantiasa ber-robithoh pada Guru, juga mendawamkan jahar dan khafi di setiap hembusan nafas yang kita punya. Dengan demikian, air mata yang kita rasakan adalah air mata rindu yang berarti. Junaid Al-Baghdadi pernah ditanya, “Darimanakah tangisan seseorang pada kekasihnya yang ingin dijumpainya?” ia menjawab, “Tangisan itu datang dari kegembiraan, dan hati yang sangat ingin bertemu karena rindu dengan kekasihnya.” Kita semua harus bergembira karena ditakdirkan menjadi murid Pangersa Abah Anom. Dan kita juga harus senantiasa mengungkapkan rindu padanya dengan mengamalkan semua bentuk formulasi ajarannya. Karena, bahasa rindu, adalah bahasa Guru dalam membimbing rohani kita para muridnya. Terimakasih Bapak Alam dan dr. Yudha, karena telah membantu kami semua mengungkapkan rindu pada Guru yang sangat kami cintai dan harapkan barokah karomahnya yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.
Oleh: Aspiyah Kasdini. R. A (Santri TQN Pontren Suryalaya)