Cakrawala Tasawuf

Menjadi Murid yang Diakui: Renungan Seorang Ikhwan

Dalam dunia thariqah, sosok guru atau mursyid bukan sekadar pembimbing spiritual. Ia adalah panutan utama, pewaris cahaya Rasul, dan penjaga jalan menuju makrifatullah. Tak heran jika posisi mursyid menempati martabat yang tinggi. Saking tingginya, tidak sembarang orang bisa menjadi mursyid. Dalam Tanwirul Qulub, Syaikh Amin Al-Kurdi menyebut setidaknya ada 24 syarat menjadi mursyid sejati. Salah satunya, mursyid harus mampu menutupi ‘aurat’ murid—bukan hanya dalam arti fisik, tapi juga cacat batin dan aib ruhani. Ia juga harus mampu menjaga ucapannya dari hawa nafsu, senda gurau tak berguna, atau kata-kata tanpa hikmah.

Lalu saya bertanya pada diri sendiri: apakah mungkin saya memenuhi standar itu? Jangankan menjadi mursyid, istiqamah dalam amalan yang diwariskan oleh Guru Agung kami, Syaikh Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin pun masih jauh panggang dari api. Zikir 165 masih sering bolong. Khataman dan manakiban pun belum konsisten. Rasanya, untuk bisa disebut murid sejati, perjalanan saya masih panjang.

Menjadi murid adalah tentang kemauan dan cita-cita untuk terus menempuh jalan? Dalam tarekat, murid bukan sekadar gelar—ia adalah status spiritual yang diperoleh dengan kesungguhan dan bimbingan. Dan di sinilah peran mursyid menjadi kunci. Sebab, jalan menuju Allah tak bisa ditempuh tanpa guru ruhani.

Dalam Sirrul Asrar, ditegaskan bahwa wajib hukumnya mencari guru yang dapat menghidupkan hati. Dan sungguh, kita bersyukur telah mendapatkan petunjuk lewat sosok agung, Syaikh Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin ra. Tapi cukupkah hanya “pernah bertemu” atau “ikut amalan” agar kita diakui sebagai murid beliau? Jawabannya terletak pada adab.

Syaikh Syihabuddin As-Suhrawardi menyebut ada 15 adab murid kepada mursyid. Di antaranya: yakin sepenuhnya pada bimbingan sang guru, patuh dalam perintahnya, dan menjaga kehormatan diri. Pertanyaan pentingnya: sudahkah kita menjaga adab itu? Jika belum, barangkali kita baru sekadar “pengikut”, belum menjadi “murid” dalam pengertian spiritual.

Saya teringat kisah yang menggugah hati dari Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani dalam Bahjatul Asror. Beliau berkata bahwa dirinya diberikan buku seluas pandangan untuk mencatat nama murid-muridnya hingga hari kiamat. Bahkan beliau bersumpah, takkan melangkah ke surga sebelum memastikan semua muridnya aman dari neraka. Betapa berat dan mulianya tanggung jawab mursyid.

Demikian pula, guru kita Syaikh Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin ra. mewarisi amanah yang sama. Beliau bukan hanya membimbing kita dalam hidup, tapi juga akan menjadi imam kita kelak di hari perhitungan. Seperti yang ditegaskan Allah dalam surat Al-Isra ayat 71, bahwa setiap umat akan dipanggil bersama imamnya.

Pertanyaannya, kelak kita akan dipanggil bersama siapa? Apakah bersama orang-orang saleh? Bersama para nabi? Ataukah bersama mursyid kita, Pangersa Abah Anom? Maka selama hayat dikandung badan, mari perkuat mahabbah, tegakkan adab, dan terus menapak dalam suluk. Sebab, jika kita diakui sebagai murid beliau, insya Allah, kelak kita pun akan dikumpulkan bersama beliau. Semoga Allah mencatat kita sebagai murid sejati. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Related Articles

Back to top button