Dzikir dan Tiga Wajah Hati: Menjaga Ruhani di Tengah Hiruk Pikuk Dunia

Di era digital yang serba bising ini, manusia kerap kehilangan yang paling sunyi: suara hatinya. Kita begitu giat memberi makan tubuh dan memuaskan akal, namun melupakan satu ruang terdalam yang justru menjadi penentu arah hidup—hati. Tanpa sadar, hati kita bisa sakit, kosong, atau justru mati, meski kita tetap tersenyum dan beraktivitas seperti biasa. Maka pertanyaan pentingnya adalah: bagaimana kabar hati kita hari ini?
Di tengah riuhnya kehidupan modern yang serba cepat dan penuh distraksi, manusia kerap kehilangan arah. Kita terlalu sibuk memberi asupan jasmani dan akal—makanan, hiburan, ilmu, teknologi—namun melupakan satu unsur yang paling dalam dan paling rentan: hati.
Padahal, secara hakikat, manusia terdiri dari tiga unsur utama: jasmani, akal, dan ruhani. Ketiganya harus dipenuhi kebutuhannya secara seimbang. Tubuh memerlukan makanan yang halal dan sehat. Akal butuh gizi berupa ilmu dan bimbingan agama. Sedangkan hati? Ia membutuhkan dzikir, sebuah nutrisi spiritual yang tak tergantikan.
Dalam tradisi Islam, dikenal tiga kondisi hati yang menggambarkan kualitas jiwa manusia: Pertama, qolbun maridhun—hati yang sakit. Hati semacam ini dipenuhi oleh penyakit-penyakit batin: iri, dengki, pamer, sombong, putus asa, dan amarah. Ia bukan hanya membahayakan diri sendiri, tapi juga menyakiti orang lain. Dalam jangka panjang, penyakit hati bisa membawa manusia pada keterasingan dari Allah dan bahkan pada kekafiran, sebagaimana diperingatkan dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 125.
وَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا اِلٰى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوْا وَهُمْ كٰفِرُوْنَ
Kedua, qolbun mujarradun—hati yang kosong. Ia tidak berdzikir, tidak mengingat Allah, tidak memaknai ayat-ayat-Nya. Ia mati meski jasad masih hidup. Allah menyebut mereka yang hatinya kosong seperti binatang, bahkan lebih sesat lagi (QS. Al-A’raf: 179).
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ
Hati yang kosong ini menjauhkan manusia dari kesadaran spiritual, menjadikannya lalai dan hilang arah.
Namun ada pula kondisi ketiga: qolbun syaakirun—hati yang bersyukur. Hati ini senantiasa dipenuhi dengan dzikir, mengingat Allah dalam setiap keadaan. Ia hidup, lembut, dan tenang. Dalam hadits Qudsi, disebutkan bahwa hati yang berdzikir adalah bentuk nyata dari syukur, sedangkan hati yang lalai adalah bentuk kekufuran.
Lalu bagaimana kita bisa memiliki hati yang bersyukur? Jawabannya adalah dzikir, tapi bukan sembarang dzikir. Dzikir yang benar adalah yang diajarkan oleh seorang mursyid kamil mukamil—guru spiritual yang telah mencapai kebeningan hati dan diberi izin untuk membimbing.
Dalam tradisi tarekat, seperti Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah (TQN) di Pondok Pesantren Suryalaya, dzikir dilakukan dengan disiplin dan adab yang luhur: dalam keadaan suci, dengan suara yang mantap, dan menggunakan kalimat agung lā ilāha illallāh. Kalimat ini bukan sekadar lafaz, melainkan pintu menuju kesadaran tertinggi akan keesaan Allah.
Syaikh Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin ra., mursyid TQN Suryalaya, dalam Miftahus Shudur, menjelaskan bahwa dzikir yang dilakukan dengan benar mampu menjadi obat paling mujarab bagi penyakit hati. Dzikir bukan hanya amalan ritual, melainkan laku hidup. Ia menyembuhkan, menuntun, dan menghidupkan.
Di zaman serba cepat ini, banyak yang merasa hampa di tengah keberlimpahan. Dzikir adalah jalan sunyi yang menguatkan, membimbing kita untuk kembali ke pusat jiwa, ke rumah sejati: hati yang bersyukur.