Rawayan Pembuka Hati
Motto yang diusung Perguran Tinggi IAILM Pesantren Suryalaya yang didirikan tiga puluh dua tahun silam oleh Pangersa Abah Anom (KH A. Sohibul Wafa Tajul Arifin r.a.) adalah, “Ilmu Amaliah Amal Ilmiah.” Ilmu yang menggerakkan amal dan amal yang diterangi pijar ilmu. Ilmu yang menjadi laku, dan laku yang dipijakkan pada keluhuran ilmu. Motto ini menegaskan visi luhur Pangersa Abah Anom, Beliau memberikan apresiasi tinggi terhadap tindakan sekaligus memuliakan martabat pengetahuan.
Miftahush Shudur adalah salah satu teladan nyata yang menggambarkan sayap ilmiah Pangersa Abah Anom. Kitab yang menjadi pegangan ikhwan Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah Suryalaya ini menunjukkan bagaimana Pangersa melakukan pengembaraan ilmiah lintas batas, rujukan literasi tasawuf yang luas, bahasa memikat dan pilihan kalimat yang padat. Walaupun kitabnya tidak terlampau tebal, tapi di dalamnya pembaca selalu menemukan wawasan baru, mendapatkan cakrawala yang seringkali tidak terduga. Memberikan peluang bagi penafsiran yang tidak seragam.
Setiap malam menjelang manakiban Pesantren Suryalaya, di Masjid Nurul Ulum yang berlokasi di belakang kampus IAILM, kitab ini dibedah, disyarahi para wakil talqin atau penceramah dari beragam sudut pandang, kebanyakan dari perspektif tasawuf.
Miftahus Shudur tentu terjemahannya adalah Pembuka Dada.
Kitab ini nampaknya ditulis tidak hanya sebagai pengetahuan tasawuf tapi juga rawayan (jalan ruhani) untuk membimbing para ikhwan menemukan “makrifat”. Falsafi sekaligus akhlaqi. Isinya dibagi dalam enam fasal. Fasal pertama, membicarakan hakikat dzikir khafi dan istbat; kedua, mempercakapkan dzikir jahr; ketiga, mengungkap segenap hal berkaitan dengan prinsip utama talqin dan janji setia; keempat, meneguhkan keniscayaan menyebut sanad yang sampai kepada Rasulullah di semua tarekat; kelima, menjelaskan pengaruh dzikir terhadap pendidikan spiritual; dan ketujuh, menggambarkan tentang setan yang bisa dikalahkan karena pengaruh dzikir.
Tema Dzikir
Tema utama Miftahus Shudur adalah mengungkap hal ihwal yang berkaitan dengan dzikir. Mulai dari kaifayat sampai faidahnya. Ayat-ayat al-Quran, senarai hadis Nabi dan pendapat para sufi dikutip untuk semakin menegaskan betapa dzikir adalah poros utama ajaran Islam, dzikir sebagai lokus tarekat, menjadi sumbu peradaban yang di antara hikmahnya bisa membuat hirup panggih jeung huripna, moal pareumeun obor.
Dzikir menjadi modal ruhaniah untuk menyuntikkan kesadaran Ilahiah. Ketika kesadaran ini punah maka, kata Jalaludin Rumi, semua akan membeku. Dunia akan ganas! Visi Ilahiah ibarat padang berumput hijau dan lebat. “Siapa yang ingat kepada Allah di tengah-tengah kaum yang lupa, ia seumpama prajurit di tengah-tengah tentara yang melarikan diri, seperti pohon hijau di antara pohonan kering merenggas,” kata Nabi saw.
Kata seorang mistikus Muslim, “Dzikir merupakan tiang yang kuat di jalan menuju Allah, bahkan ia adalah tiang yang paling penting. Sebab orang tak dapat mencapai Dia tanpa mengingat-Nya terus menerus. Sesungguhnya hidup tanpa ingatan kepada-Nya adalah angin”. Dalam peristilahan modern, seperti ditafsirkan Annemarie Schimmel (1995), bahwa pengingatan yang terpusat membebaskan tenaga rohani yang membantu langkah-langkah menuju kesempurnaan. Bahkan Attar dalam “Musyawarah Burung”, seperti dikutip Annemarie Schimmel menempatkan “Ingat akan Allah” sebagai salah satu dari empat unsur yang membentuk sufi.
Jiwa memerlukan cinta yang hangat
mengingat Allah menjaga agar lidah selalu basah
juga dituntut sikap saleh dan pertapaan yang kering
ditambah keluh dingin dari sejuknya Kepastian
Inilah empat unsur pembentuk manusia seimbang
Dzikir sebagai jalan menyingkap jamaliah dan jalaliah-Nya. Atau dalam narasi guguritan “Ditilar” Pangersa Abah Sepuh.
Kauntungan tangtu nangtung, upami rugi geus nepi
Kabeungharan pasti nyebar, mun pakir parantos nyingkir
Caang pasti narawangan, mun poek geus teu ditampik
Sadayana wujud elmu, elmu sajatining hirup
Hurip sajatining rasa, jatining rasa taohid
Jamaliyah jalaliyah, hak sadaya mahluk gusti
Keuntungan pasti tegak, apabila rugi sudah menepi
Kekayaan pasti tersebar, jika fakir tersingkir
Cahaya pasti terang, ketika gelap sudah tidak ditolak
Semuanya wujud ilmu, ilmu sejatinya hidup
Hidup sejatinya rasa, jatining rasa tauhid
Jamaliyah jalaliyah, hak semua makhluk Tuhan
Herbert Benson dari Harvard Medical School, pernah berusaha mencari jawaban kenapa Bilal ibn Rabbah tidak meninggal pada saat disiksa majikannya dengan cara amat sadis: berhari-hari ditelantangkan di atas batu panas kemudian dicambuk habis-habisan. Menurut ilmu medis, Bilal seharusnya sudah meninggal akibat dehidrasi dalam hitungan jam. Benson lalu menemukan kesimpulan meyakinkan: Bilal bisa bertahan hidup karena terus menerus melapalkan dzikir ahad…ahad…ahad… Inilah, jelas Benson, yang disebut the power of belief.
Lewat Miftahus Shudur Pangersa Abah Anom meletakkan konsep perbaikan baik di tingkat personal atau pun sosial pada sesuatu yang substantif: dzikir. Inilah sesungguhnya revolusi mental yang hakiki. Dzikir menjadi ilham bagi tergelarnya keutamaan kemanusiaan, solidaritas, keadaban, dan perangai bijaksana serta menjadi pemantik terwujudnya keadilan sosial.
Persoalan ini menjadi penting direnungkan bersama jusru ketika kehidupan bangsa sedang dikepung beragam krisis. Krisis itu akarnya karena manusia semakin menjauh dari Tuhan. Defisit ingatan terhadap Sang Kuasa. Kuncinya, kita simak undangan Pangersa Abah Anom, malakukan gerak kembali kepada pangkuan agama yang sejati: mengingat Allah dalam maknanya yang otentik. Dzikir sebagai pembelah dada. Itu artinya, dalam titik tertentu, adalah terjaga dalam kejujuran, sikap lapang, kebenaran, kesalehan, berkhidmat kepada umat secara ikhlas, dan kerendah hatiaan. Seperti diterakannya juga dalam Tanbih dan Rangggeuyan Mutiara.
Penulis: Asep Salahudin (Rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya)