Etika sosial dalam Tanbih
Jadi harti ieu ayat nyaeta akur jeung batur-batur ulah aya kuciwana, nurutkeun ayat tina surat Al Maidah anu sundana : kudu silih tulungan jeung batur dina enggoning kahadean katakwaan terhadap agama jeun Nagara soson-soson ngalampahkeunnana, sabalikna ulah silih tulungan kana jalan perdosaan jeung permusuhan terhadep parentah Agama jeung Nagara.
Kesimpulan dari ayat ini ialah bahwa kita semua seharusnya saling harga menghargai jangan timbul kekecewaan, mengingat surat Al-Maidah (ayat dua) yang artinya : Hendaklah tolong menolong dengan sesama dalam melaksanakan kebajikan dan ketakwaan terhadap Agama dan Negara dengan sungguh-sungguh melakukannya, sebaliknya janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan terhadap perintah Agama maupun Negara.
Kembali kita diingatkan oleh Syeikhuna Al-Mukarram Syekh Abdullah Mubarok Bin Nur Muhammad agar memiliki kebesaran jiwa dan kejujuran hati dengan berlapang dada, sehingga kita semua saling harga menghargai tidak menimbulkan timbul kekecewaan didalam pergaulan sehari–hari, baik dari sudut pandang Agama maupun Negara. Sikap dan perbuatan saling harga menghargai ini merupakan implementasi dari rasa kebersamaan diantara sesama manusia tanpa mempersoalkan perbedaan-perbedaan yang ada, karena selaku manusia kita menyadari sedalam-dalamnya bahwa dibalik perbedaan itu terdapat persamaan yang hakiki yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun, yaitu manusia sebagai makhluk sosial. Perbedaan itu adalah rahmat alias kasih sayang.
Para ulama seperti Imam As-Suyuthi, As-Subki dan Imam Zainuddin Al-‘Iraqi berpendapat dho’íf dan “tidak dikenal” terhadap hadits ini. Namun pesan moralnya sangat bermanfaat untuk menjaga kesatuan dan keharmonisan sosial. Maka tanpa harus menghubungkan riwayatnya kepada Nabi Saw, kita bisa mengamalkannya sebagaimana mengamalkan kata-kata mutiara para ulama, cerdik pandai dan orang bijaksana.
Sebagai makhluk sosial yang hidup bermasyarakat, setiap orang dihadapkan pada kenyataan bahwa untuk memenuhi kepentingannya ada ketergantungan kepada orang lain secara timbal balik, maka dalam hubungan inilah diperlukannya jalinan kerjasama yang baik. Dan tercapainya jalinan kerjasama yang baik itu sangat tergantung pada sikap dan perbuatan saling harga menghargai, guna mencegah timbulnya sifat keangkuhan atau kesombongan dari tiap-tiap orang.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, harus ditumbuh-kembangkan dengan sungguh-sungguh serta sebaik-baiknya sikap dan perbuatan saling harga menghargai ini, hal ini mutlak diperlukan untuk tetap terpeliharanya ketenteraman, keamanan, ketertiban dan kenyamanan dalam kebersamaan memajukan Agama maupun Negara. Maka paling tidak, sikap ini harus ditumbuh-kembangkan dalam tiga dimensi kehidupan sosial:
- Dalam lingkungan sesama ummat Islam
- Diantara ummat Islam dengan orang-orang yang non-muslim
- Diantara ummat Islam dengan pemerintah
Dengan ditumbuh-kembangkannya sikap dan perbuatan saling harga menghargai dalam lingkungan sesama ummat Islam, maka hubungan persaudaraan akan terbukti secara nyata dan terasa, sehingga kebersamaan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menggalang kekuatan akan mudah terlaksana, serta solidaritas ummat Islam akan terbina dengan sebaik-baiknya. Puncaknya tercapailah apa yang digambarkan oleh Rasul tentang persaudaraan orang-orang Islam beriman:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” (HR. Muslim)
Takwa sebagai dasar kehidupan
Dari keadaan itu sikap saling tolong menolong akan lahir dengan sendirinya penuh keikhlasan dan kerelaan dalam koridor hukum Allah sebagaimana yang termaktub dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 2, “Dan tolong menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan ketakwaan; dan janganlah kamu bertolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Dangan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras siksaan-Nya.”
Sebab dasarnya adalah ketakwaan kepada Allah, sementara objek tolong menolong tidak ditakhsish (dikhususkan) terhadap sesama muslim saja, maka sikap ini akan membuka cakrawala pikiran untuk membuka diri pada saling tolong menolong dan berbuat kebaikan terhadap umat lain diluar muslimin, bahkan terhadap makhluk lainnya dari kelompok hewan dan tumbuhan. Maka ketakwaan menjadi dasar untuk bersikap toleran terhadap perbedaan beragama dan perbedaan-perbedaan lainnya. Atas dasar ketakwaan itu pula kita dituntut untuk mentaati pemerintahan yang syah. Melawan dan menentang pemerintahan yang syah sama dengan berbuat dosa dan permusuhan terhadap Negara. Penentangan ini, dalam rentang sejarah kehidupan manusia, acapkali berakhir dengan kepiluan, penistaan bahkan pembunuhan bagi pelakunya, dan menyisakan kepiluan di hati keluarga, sanak saudara. Akibatnya tidak sedikit menurukan rasa dendam yang turun temurun dalam rentang waktu yang sangat panjang.
Maka di sini, kita menyaksikan bahwa tiada lain dari tujuan wasiat “akur jeung batur-batur, ulah aya kuciwana” dari guru agung Abah Sepuh itu kecuali agar kita mendapatkan keamanan dan ketentraman hidup, mencapai apa yang disebutnya “ngeunah nyawa betah jasad (hati tenang jasad nyaman).” Dan semuanya hanya bisa dicapai dengan ketakwaan. Dengan kata lain sikap saling harga menghargai adalah pancaran sinar ketakwaan yang berpendar di dada kita.
Agar cahaya ketakwaan itu berpendar, mestilah disingkap berbagai hijab yang menghalanginya, yaitu as-shifát al-madzmúmah (sifat-sifat buruk) dengan cara dibersihkan dan disucikan sehingga muncul as-shifát al-mahmúdah (sifat-sifat baik)-nya yang salah satunya berwujud sikap saling menghargai. Maka puncak wasiat dari guru agung itu, tetap kembali kepada Lá iláha illalláh. Itulah pembersih hati sebagaimana yang disabdakan Nabi Saw dalam hadits Imam Baihaki.
إِنَّ لِكُلِّ شَيْءٍ صِقَالَةً وَإِنَّ صِقَالَةَ الْقُلُوبِ ذِكْرُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Sesungguhnya bagi segala sesuatu itu ada pembersihnya. Dan sungguh pembersih hati itu adalah dzikrulloh azza wa jalla).
Kita selalu berharap, melalui bimbingan guru agung, semoga Allah Swt., senantiasa memberikan kekuatan ketakwaan kepada kita semua sehingga kita mampu membuktikan diri sebagai pribadi yang memiliki sikap saling harga menghargai antar sesama, antar umat beragama dan kepada para pemerintahan yang ada. Aamiin.
Abdul Abas dan Acep A. Rijalulloh