SILSILAH TAK BISA DIREKAYASA

“Tarekat bukan organisasi biasa. Ia hidup karena silsilah, dan silsilah bukan sesuatu yang bisa diwariskan lewat darah atau pengakuan”
Pasca wafatnya Abah Anom—Syaikh Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin—pada tahun 2011, muncul sejumlah klaim tentang siapa yang menjadi penerus beliau sebagai mursyid Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah (TQN) Pondok Pesantren Suryalaya. Namun hingga hari ini, belum ada dasar yang sah dan meyakinkan bahwa telah terjadi pengangkatan mursyid baru secara syar’i dan tarekat.
Pertama, tidak ada dokumen, wasiat, atau pernyataan resmi dari Abah Anom yang menunjuk seseorang sebagai penggantinya. Dalam tradisi TQN yang berlandaskan silsilah, penunjukan mursyid bukan urusan sosial atau administratif belaka, melainkan urusan ruhaniyah yang wajib disertai ijazah dan pengesahan dari mursyid sebelumnya.
Kedua, dalam khazanah kitab-kitab tasawuf, banyak ditegaskan bahwa seseorang tidak dapat memposisikan diri sebagai mursyid tanpa izin dari guru sebelumnya. Dalam Tanwirul Qulub (hlm. 543) ditegaskan: “Tidak boleh seseorang memberi petunjuk dalam tarekat kecuali setelah menyelesaikan tarbiyah dan memperoleh izin.” Demikian pula dalam Al-Bahjah As-Saniyah (hlm. 33), Ar-Razi menyatakan: “Tampilnya seseorang sebagai guru tarekat tanpa izin, mafsadatnya lebih besar dari maslahatnya, dan ia memikul dosa sebagai pembegal tarekat.”
Dalam kitab Tanwirul Qulub, Syaikh Amin al-Kurdi juga menjelaskan bahwa seorang mursyid sejati harus memenuhi tidak kurang dari 24 kriteria penting. Ini menunjukkan betapa berat dan mulianya posisi mursyid. Di antara syarat tersebut: pertama, seorang mursyid harus mampu menutupi aib atau aurat murid yang terlihat olehnya—baik secara lahir maupun batin. Kedua, ucapannya harus bersih dari hawa nafsu, senda gurau berlebihan, dan omongan sia-sia. Kriteria-kriteria ini menegaskan bahwa mursyid bukan sekadar tokoh agama atau pemimpin karismatik, melainkan sosok yang telah mencapai derajat ma’rifah dan dibekali amanah ruhaniyah dari mursyid sebelumnya.
Ketiga, sanad dan silsilah dalam tarekat adalah ruh utama keberkahan dan keabsahan ajaran. Sanad tak bisa diwariskan melalui garis keturunan semata, apalagi hanya melalui klaim personal. Ia harus melalui proses tarbiyah ruhaniyah, tajribah, dan pengakuan dari mursyid sebelumnya yang sah. Tanpa itu, segala bentuk pengakuan hanya akan menjadi rekayasa yang membingungkan umat.
Keempat, dalam Al-Anwarul Qudsiyah halaman 202, Abu Muhammad Al-Kattani menegaskan: “Apabila seorang mursyid wafat, kemudian murid-muridnya tidak menemukan pengganti kecuali orang yang derajatnya berada di bawah mursyid yang wafat tersebut, yang tidak mampu membimbing mereka dalam menempuh suluk, maka mereka tidak patut berkhidmat kepada orang tersebut, dan hal itu lebih utama.” Pernyataan ini memperkuat bahwa memilih mursyid bukan sekadar soal ketersediaan sosok, tetapi soal kapasitas ruhani yang dapat membimbing murid menempuh jalan suluk secara sah dan berkesinambungan.
Oleh karena itu, posisi mursyid TQN Pondok Pesantren Suryalaya hingga hari ini tetap dipegang oleh Abah Anom. Ajaran, sistem suluk, dan nilai-nilai yang beliau wariskan masih hidup dan menjadi pegangan para ikhwan. Tidak ada dasar yang sah secara syariat dan thariqah untuk mengakui adanya mursyid baru, selama tidak ada ijazah yang sah dari beliau sendiri.
Mari kita jaga kemurnian silsilah dan ajaran tarekat ini dari berbagai bentuk manipulasi dan pengakuan sepihak. Karena dalam tarekat, silsilah bukan sekadar urusan administratif, melainkan persoalan tanggung jawab ruhani yang tak bisa direkayasa.
Nana Suryana: Ketua DPP LDTQN Pontren Suryalaya