Riyadhah Dalam Syariat dan Tarekat
Dalam Miftahus Shudur juz 1, hlm. 22 disebutkan,”Ketahuilah bahwasanya riyadhah- riyadhah itu tidak mendatangkan manfaat dan tidak mendekatkan seseorang kepada Allah selama tidak sesuai dengan syariat dan tidak mengikuti sunnah Nabi Saw.”
Riyadhah adalah latihan ruhani. Riyadhah ada yang dalam wilayah syariat, dimana sumbernya adalah ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi Saw. Dalam Miftahus Shudur juz 1 hlm. 22 disebutkan hadits Nabi Saw,”Aku tinggalkan untuk kalian dua warisan, kalian tidak akan pernah sesat selama berpegang teguh merujuk keduanya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnahku.”
Riyadhah dalam syariat ialah melakukan ketaatan yang dijelaskan oleh syariat seperti memperbanyak dzikir bakda shubuh. “Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda,”Siapa yang membaca la ilaha illa Allah 1000 x dalam keadaan bersuci pada waktu subuh setiap hari, maka Allah akan mudahkan baginya sebab- sebab rezki,” (HR. Tirmidzi).
Membaca shalawat Nabi Saw setiap hari 1.000 x, shalat berjama’ah setiap hari selama 40 hari, dsb. Riyadhah dalam syariat ini rujukannya ialah ayat Al- Qur’an dan atau hadits Nabi Saw.
Adapun riyadhah dalam tarekat ialah riyadhah dari Syekh Mursyid tarekat atau dari orang- orang yang diberi kewenangan oleh Syekh Mursyid untuk mengijazahkan riyadhah tersebut.
Sumber riyadhah dalam tarekat ialah Syekh Mursyid. Karena Syekh Mursyid ialah tarekat atau jalan menuju Allah, penunjuk jalan dan pintu masuk menuju Allah (Miftahus Shudur, juz 1, hlm. 24).
Guru besar tasawuf yang berpendapat bahwa riyadhah- riyadhah dalam tarekat tidak memiliki sandaran syariat berarti belum memahami adanya sisi batin atau hakekat dalam perjalanan ruhani menuju Allah. “Jalan menuju Allah itu lahir dan batin. Lahirnya ialah syariat. Batinnya ialah hakekat.” (Miftahus Shudur, juz 1, hlm. 21).
Seorang Syekh Mursyid menguasai sisi lahir dan batin dengan baik. Bila kita hanya menilai dari sisi lahir atau syariat saja tentu akan gagal paham.
Riyadhah yang diajarkan seorang Syekh Mursyid mengandung rahasia dan hikmah, namun tidak dijelaskan. Bila diamalkan, nanti juga rahasia dan hikmahnya akan terbuka dengan sendirinya. Dalam bidang filsafat ilmu ada istilah “tidak logis, tapi empiris.” Tidak masuk akal, tidak terjangkau oleh akal, namun terbukti dalam kenyataan. Itulah sisi batin, sisi hakekat yang bila diamalkan akan menjelaskan sendiri pada waktunya. Wallahu ‘alam.
(Rojaya, Ketua Divisi Kajian dan Literasi Tasawuf DPP LDTQN Pontren Suryalaya dan Wakil Dekan Fakultas Dakwah IAILM Suryalaya).