Dzikir Nafi dan Itsbat Sebagai Magnet Rezki ?
Penulis: Rojaya, M.Ag. (Ketua Divisi Kajian dan Literasi Tasawuf DPP LDTQN Pontren Suryalaya)
Apakah dzikir nafi dan itsbat itu magnet rezki? Apakah dzikir tersebut termasuk ikhtiar batin sebagai pelengkap usaha lahir untuk meraih rezki? Ya, begitu menurut syariat. Dari Sahabat Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah Saw bersabda,”Barangsiapa yang membaca la ilaha illa Allah 1000 x dalam keadaan suci (dari najis dan hadats) pada waktu pagi hari (bakda subuh) setiap hari, maka Allah akan memudahkan baginya sebab- sebab rezki” (HR. Tirmidzi).
Al-‘Allamah As- Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al- Maliki dalam Kitab Abwab Al- Faraj menyebutkan banyak manfaat membaca dzikir la ilaha illa Allah, diantaranya ialah membuka 99 pintu rezki.
Habib Abdullah Al- Haddad menulis dalam Kitab Risalatu Adabi Sulukil Murid (hlm. 27),”Menghidupkan (dengan dzikir) bakda shalat subuh memiliki karakter kuat untuk menarik rezki yang bersifat jismani dan menghidupkan waktu bakda shalat ashar memiliki kekhususan yang kuat dalam menarik rezki qolbiyah (seperti ilmu, ketenangan, keharmonisan, kebahagiaan, dsb).”
Dalam tarekat, ibadah dan dzikir hendaknya tujuannya Allah, Maha Pemberi rezki. Tujuan dzikir ialah Allah dan ridha- Nya, tentu bukan berarti tidak mendatangkan rezki, namun meraih rezkinya disertai dengan ridha dan pengenalan terhadap Maha Pemberi rezki, sehingga qolbu dapat bersyukur. Mata memandang nikmat, matahati memandang maha pemberi nikmat.
Bila dzikir nafi dan itsbat meningkat pada wilayah makrifat, maka cirinya ialah musyahadah (memandang Allah dengan matahati). Musyahadah ialah memandang Maha gaib dengan matahati, sedangkan mukasyafah memandang makhluk gaib dengan matahati). Musyahadah disebut juga makrifat, khususnya makrifat sifat, yakni memandang sifat dan asma Allah dalam segala sesuatu. Kadar pandangan mata hati pada sifat Allah dalam memandang makhluk adalah ukuran makrifat seseorang pada Allah. Ada yang sesekali qolbunya makrifat, ada yang qolbunya sering makrifat, ada yang selalu makrifat.
Makrifat tersebut bila tidak dipisahkan dengan syariat, maka akan menjadi hakekat. Namun bila makrifat dengan menjauhi syariat, maka makrifatnya akan terperosok. Itulah mengapa dalam Sirrul Asror disebutkan syariat, tarekat dan makrifat masih mungkin untuk terjebak. Yang pasti aman dan selamat hanya bila sudah mencapai hakikat, yakni makrifat secara batin dan syariat secara lahir.
Kembali pada pertanyaan di atas, apakah dzikir nafi dan itsbat dapat menjadi magnet rezki? Jawabannya secara syariat, benar.
Karenanya dalam Miftahus Shudur disebutkan bahwa di dalam dzikir ada kemenangan, ada permohonan dan di dalam dzikir ada pengabulan hajat (Juz II, hlm. 6). Walaupun itu semua dalam tarekat bukan tujuan. Karena tujuannya hanyalah Allah.
Bila Kita mendatangi undangan seseorang, walau tujuan kita mendoakan, namun saat dihidangkan jamuan, Kita akan diberi hidangan tersebut, tidak dibedakan dengan yang tujuannya benar- benar ingin menikmati hidangan dari tuan rumah. Wallahu ‘alam.
(Rojaya, Ketua Divisi Kajian dan Literasi Tasawuf DPP LDTQN Pontren Suryalaya).